• Breaking News

    BACA BERITANYA TERBARU DISINI

    Rabu, 12 Juli 2017

    Cerita Novel Musashi Bagian 33, Minuman Susu


     
    Minuman Susu


     https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJxmSeZMXNFhv4N9BmsvTZNnzp8mIQcAAQZP9wBwxhoW5p2xfKdiZ5Wf39NUL-8tuVE7vIln9vcV3FUfrQkCsYm0Y3hKMjALCAOfAI1NEc7KdyU7XIHUYxNKh7resZErm_KQ1m97Efb34/s1600/Musashi.jpg






    JALAN yang menuruni lereng Gunung Hiei berakhir di Provinsi Omi, di suatu tempat di seberang Miidera.

    Musashi menuntun lembu itu dengan tambang. Sambil menoleh ia berkata lembut, "Kalau Nenek mau, kita bisa istirahat. Rasanya kita tidak tergesa-gesa." Tapi setidak-tidaknya mereka sudah berjalan, demikian pikirnya. Semula Osugi menolak mentah-mentah naik binatang itu, karena tidak terbiasa naik lembu. Terpaksa Musashi mengerahkan segala kecerdikannya untuk meyakinkan perempuan itu. Alasan yang akhirnya dapat diterima Osugi adalah bahwa ia tidak dapat terus-terusan tinggal di benteng tempat hidup membujang bagi para pendeta itu.

    Dengan wajah menelungkup ke leher lembu, Osugi merintih kesakitan dan tiap kali menyesuaikan kedudukannya. Setiap kali Musashi menunjukkan perhatian kepadanya, ia mengingatkan diri akan dendamnya dan diam-diam menunjukkan kebenciannya karena dirawat oleh musuh bebuyutannya ini.

    Walaupun Musashi sadar benar bahwa tidak ada alasan lain bagi Osugi untuk hidup, kecuali membalas dendam kepadanya, ia tidak dapat menganggap perempuan tua itu sebagai musuh sejati. Tak seorang pun pernah demikian banyak menimbulkan kesulitan atau rasa malu kepadanya, bahkan juga musuh-musuhnya yang lebih kuat, selain Osugi. Tipu daya Osugi pernah membawanya ke tepi bencana di desanya sendiri. Karena Osugi juga, Musashi diejek-ejek dan dicaci maki orang di Kiyomizudera. Berkali-kali perempuan itu menjegal dan menggagalkan rencananya. Berulang kali juga, seperti tadi malam, Musashi menyumpahinya dan hampir saja menyerah pada dorongan hati untuk memotong perempuan itu menjadi dua.

    Namun Musashi tidak sampai hati menjatuhkan tangan padanya, terutama sekarang, ketika perempuan itu sedang sakit dan kehilangan semangat yang biasa dipunyainya. Anehnya, diamnya lidah jahat perempuan itu justru membuat Musashi tertekan. Ia ingin melihat perempuan itu kembali sehat, sekalipun hal itu akan berarti lebih banyak kesulitan baginya.

    "Berkendaraan macam begitu, mestinya memang tak nyaman," kata Musashi. "Cobalah tahan sedikit lagi. Kalau kita nanti sampai diOtsu, saya cari akal lain."

    Pemandangan ke arah timur laut bagus sekali. Danau Biwa terhampar tenang di bawah mereka, Gunung Ibuki di seberangnya, sedangkan puncak-puncak Echizen menjulang di kejauhan. Di sisi danau itu, Musashi dapat melihat Delapan Pemandangan Karasaki yang terkenal itu di Desa Seta.

    "Mari kita berhenti sebentar," kata Musashi. "Nenek akan merasa lebih enak kalau turun dan berbaring di bawah beberapa menit." Ia tambatkan binatang itu ke sebatang pohon, ia angkat perempuan itu, dan ia turunkan.

    Dengan menunduk, Osugi menjulurkan tangannya ke samping dan mengerang. Wajahnya panas karena demam dan rambutnya kusut masai.

    "Nenek tak ingin air?" tanya Musashi untuk kesekian kalinya, sambil menggosok punggung Osugi. "Nenek juga mesti makan." Tapi dengan keras Osugi menggeleng. "Nenek belum minum setetes air pun sejak tadi malam," kata Musashi lagi. "Kalau Nenek terus begini, Nenek akan lebih menyusahkan diri sendiri. Saya ingin mencari obat buat Nenek, tapi tak ada rumah di sekitar sini. Oh ya, bagaimana kalau Nenek makan separuh makanan saya?"

    "Memuakkan!"

    "Ha?"

    "Lebih baik aku mati di ladang dan dimakan burung-burung. Tak bakal aku begitu rendah, sampai mau menerima makanan dari musuh!" Osugi mengibaskan tangan Musashi dan punggungnya dan mencengkeram rerumputan.

    Musashi bertanya-tanya dalam hati, apakah perempuan itu akan pernah bisa mengatasi salah pengertian yang mendasar di antara mereka. Maka diperlakukannya perempuan itu semesra ia memperlakukan ibunya sendiri. dan dengan sabar Musashi menenangkannya tiap kali perempuan itu menyerangnya.

    "Nenek kan tahu sendiri, Nenek tak ingin mati. Nenek mesti hidup. Apa Nenek tak ingin melihat Matahachi mencapai sukses?"

    Osugi meringis dan menggeram, "Apa hubungannya denganmu? Tak lama lagi Matahachi akan maju tanpa pertolonganmu."

    "Saya yakin. Tapi Nenek mesti sembuh, supaya Nenek sendiri dapat mendorongnya."

    "Munafik!" jerit perempuan itu. "Menghabiskan waktu saja kalau kau pikir dapat menjilatku supaya aku melupakan kebencianku padamu."

    Karena sadar bahwa apa pun yang dikatakannya akan disalahartikan, maka Musashi berdiri dan pergi. Ia memilih tempat di belakang batu, dan di situ ia makan gumpal-gumpal nasi berisi empleng kacang manis berwarna gelap yang dibungkus satu-satu dengan daun ek. Separuhnya tidak ia makan.

    Karena mendengar suara-suara orang, Musashi memandang ke sekitar batu dan melihat seorang perempuan desa sedang berbicara dengan Osugi.

    Perempuan itu mengenakan hakama seperti biasa dipakai perempuan Ohara, dan rambutnya terurai di bahu. Dengan suara nyaring, perempuan itu berkata, "Di tempat saya ada perempuan sakit. Sudah lebih ringan keadaannya sekarang, tapi dia akan sembuh lebih cepat lagi kalau saya memberinya susu. Boleh saya memerah lembu ini?"

    Osugi mengangkat muka dan memandang perempuan itu dengan nada bertanya-tanya. "Di tempat asalku tidak banyak lembu. Apa betul-betul engkau bisa memerahnya?"

    Kedua orang itu bercakap-cakap lagi sedikit, sementara perempuan itu berjongkok dan mulai menyemprotkan air susu ke dalam guci sake. Ketika guci sudah penuh, ia berdiri dan memegangnya erat-erat, katanya, "Terima kasih. Saya pergi sekarang."

    "Tunggu!" teriak Osugi dengan suara serak. Ia mengulurkan tangan dan menoleh ke sekitar, untuk memastikan bahwa Musashi tidak memperhatikan. "Berikan dulu sedikit susu itu padaku. Satu-dua hirupan saja cukup."

    Perempuan itu memandang heran ketika Osugi meletakkan guci ke bibir, memejamkan mata, dan mereguk susu dengan serakahnya, hingga susu mengucur ke dagunya.

    Selesai minum, Osugi bergidik, kemudian menyeringai, seolah-olah akan muntah. "Memualkan sekali rasanya!" cibirnya. "Tapi siapa tahu bisa bikin aku sembuh? Mengerikan sekali rasanya, lebih busuk daripada obat."

    "Ada apa? Apa Ibu sakit?"

    "Ah, tidak begitu parah. Masuk angin dan sedikit demam." Ia cepat berdiri, seakan semua penyakitnya telah hilang, dan sesudah sekali lagi meyakinkan diri bahwa Musashi tidak melihatnya, ia mendekati perempuan itu dan bertanya dengan suara rendah, "Kalau aku ikuti jalan ini, sampai ke mana aku?"

    "Sampai di atas Miidera."

    "Itu di Otsu, kan? Apa ada jalan lain yang bisa kuambil?"

    "Ya, ada, tapi ke mana Ibu mau pergi?"

    "Ke mana saja. Aku cuma mau lepas dari bajingan itu!"

    "Kira-kira delapan atau sembilan ratus meter mengikuti jalan ini, ada jalan setapak ke utara. Kalau Ibu ikuti saja jalan itu, Ibu akan sampai di antara Sakamoto dan Otsu."

    "Kalau kau ketemu orang lelaki mencariku," kata Osugi mencuri-curi, "jangan katakan kau melihatku." Ia pergi dengan ributnya, seperti belalang sembah pincang yang terburu-buru, sampai-sampai tersenggol olehnya perempuan itu dengan kikuknya.

    Musashi mendecap dan keluar dari balik batu. "Kukira engkau tinggal sekitar tempat ini," katanya bersahabat. "Suamimu petani, penebang kayu, atau yang semacam itu?"

    Perempuan itu gemetar ketakutan, tapi menjawab, "Tidak. Saya dari penginapan di atas celah itu."

    "Oh, lebih baik lagi. Kalau kau kuberi uang, mau kau lari mengerjakan suruhanku?"

    "Dengan senang hati, tapi begini, di penginapan saya ada orang sakit."

    "Aku bisa membawa susu itu pulang untukmu dan menantimu di sana. Bagaimana? Kalau kau pergi sekarang, engkau bisa kembali sebelum gelap."

    "Kalau begitu, saya kira bisa, tapi..."

    "Tak perlu kuatir! Aku bukan bajingan seperti dikatakan perempuan tua itu tadi. Aku cuma mau menolongnya. Kalau dia bisa jalan sendiri, tak ada alasan menguatirkan dia. Sekarang akan kutulis surat. Kuminta kau menyampaikannya ke rumah Yang Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro. Tempatnva di bagian utara kota."

    Dengan kuas yang dikeluarkannya dari kantong tulisnya, Musashi cepat menuliskan kata-kata yang sudah ingin sekali ditulisnya kepada Otsu selama ia menyembuhkan diri di Mudoji. Selesai mempercayakan surat itu kepada perempuan tersebut, ia menaiki lembunya dan berangkat. Diulang-ulangnya kata-kata yang telah ditulisnya, dan menduga-duga bagaimana perasaan Otsu sewaktu membacanya. "Padahal semula kupikir aku takkan pernah melihatnya lagi," gumamnya, tiba-tiba tersadar kembali.

    "Melihat kondisi badannya yang lemah," demikian renungnya, "dia bisa terbaring sakit lagi di tempat tidur. Tapi kalau dia menerima suratku, pasti dia bangun dan datang secepatnya. Jotaro juga."

    Ia biarkan lembu itu berjalan seenaknya. Sekali-sekali ia berhenti, memberikan hewan itu kesempatan merumput. Surat kepada Otsu itu sederhana. tapi ia cukup senang juga: "Di Jembatan Hanada engkaulah yang menanti. Kali ini biarlah aku yang menanti. Aku sudah mendahului. Akan kunanti engkau di Otsu, di Jembatan Kara, Desa Seta. Kalau nanti kita berkumpul lagi, kita akan bicara tentang banyak hal." Ia mencoba memberikan nada puitis kepada pesan itu sendiri, seraya merenungkan kata-kata "bicara tentang banyak hal".

    Sampai di penginapan ia turun dari lembu, dan sambil memegang air susu dengan kedua tangan, panggilnya, "Ada orang di sini?"

    Sebagaimana biasa pada bangunan tepi jalan jenis ini, di situ terdapat tempat terbuka di bawah ujung atap depan, untuk para musafir yang berhenti untuk minum teh atau makan makanan kecil. Di dalam terdapat ruang teh yang sebagian merupakan dapur. Kamar-kamar tamu ada di belakang. Seorang perempuan tua sedang memasukkan kayu ke dalam tungku tanah. Di atas tungku ada dandang kayu.

    Ketika Musashi mengambil tempat duduk di bangku depan, perempuan itu datang menuangkan secangkir teh suam-suam kuku untuknya. Musashi kemudian memberikan keterangan dan menyerahkan guci itu kepadanya.

    "Apa ini?" tanya perempuan itu sambil menatap Musashi ragu-ragu.

    Karena menduga perempuan itu tuli, Musashi mengulangi ucapannya.

    "Susu, Anda bilang susu? Untuk apa?" Masih dengan sikap heran menoleh ke dalam penginapan dan serunya, "Pak, apa Bapak bisa keluar sebentar? Saya tak mengerti, urusan apa ini."

    "Apa?" Seorang lelaki berjalan seenaknya lewat sudut penginapan dan bertanya, "Ada apa?"

    Si perempuan menyorongkan guci ke tangan orang itu, tapi orang itu tidak melihat ataupun mendengarkan apa yang dikatakannya. Matanya lekat pada Musashi, dan pada wajahnya tergambar kesan tak percaya. Musashi sendiri terkejut, teriaknya, "Matahachi!"

    "Takezo!"

    Kedua orang itu bergegas saling mendekati, dan baru berhenti ketika akan bertubrukan. Musashi mengulurkan tangannya, dan Matahachi berbuat demikian juga, hingga guci terjatuh.

    "Berapa tahun!"

    "Sejak Sekigahara."

    "Jadi, sudah..."

    "Lima tahun. Ya, tentunya. Umurku sudah dua puluh dua sekarang."

    Selagi keduanya saling dekap, bau manis susu dari guci yang pecah menyelimuti mereka, membangkitkan kembali kenangan akan masa-masa mereka berdua masih bayi di dalam gendongan.

    "Kau jadi terkenal sekali, Takezo. Tapi... mestinya aku tak boleh memanggilmu Takezo sekarang. Akan kupanggil engkau Musashi, seperti semua orang lain. Aku sudah mendengar cerita keberhasilanmu di pohon pinus lebar itu... dan tentang beberapa hal yang sudah kaulakukan sebelum itu."

    "Jangan bikin aku malu. Aku masih amatir. Hanya saja dunia ini rupanya penuh dengan orang-orang yang tidak sebaik diriku. Omong-omong, apa kau tinggal di sini?"

    "Ya, aku di sini sekitar sepuluh hari. Aku tinggalkan Kyoto dengan maksud pergi ke Edo, tapi ada sesuatu yang menghalangi."

    "Ada yang bilang, di sini ada orang sakit. Yah, tak bisa aku berbuat apaapa soal itu sekarang, tapi sebetulnya itulah sebabnya aku membawa susu itu tadi."

    "Sakit? O ya... itu teman perjalananku."

    "Sayang sekali. Tapi biar bagaimana, aku senang ketemu kau. Berita terakhir darimu adalah surat yang dibawa Jotaro itu, ketika aku dalam perjalanan ke Nara."

    Matahachi menundukkan kepala, dengan harapan Musashi takkan menyebut-nyebut ramalan penuh bualan yang ia buat waktu itu.

    Musashi meletakkan tangan ke bahu Matahachi. Terpikir olehnya alangkah senang bertemu lagi dengan temannya ini, dan alangkah ingin ia berbicara panjang-lebar dengannya.

    "Siapa yang berjalan denganmu itu?" tanyanya polos.

    "Ah, bukan siapa-siapa, bukan orang yang menarik bagimu. Cuma..."

    "Tak apa. Mari kita mencari tempat buat berbicara."

    Ketika mereka berjalan meninggalkan penginapan, Musashi bertanya. "Bagaimana penghidupanmu?"

    "Maksudmu pekerjaan?"

    "Ya."

    "Aku tak punya bakat atau keterampilan khusus, karena itu sukar buatku mendapat kedudukan pada daimyo. Tak dapat aku mengatakan sedang melakukan sesuatu yang khusus."

    "Maksudmu, kau bermalas-malasan saja bertahun-tahun ini?" tanya Musashi, yang samar-samar sudah menduga apa yang sebenarnya terjadi.

    "Sudahlah. Mengatakan hal-hal seperti itu cuma membangkitkan kembali segala macam kenangan tak enak." Rupanya pikiran Matahachi melayang ke masa mereka berada dalam bayangan Gunung Ibuki. "Kesalahan besar yang kulakukan adalah bergaul dengan Oko itu."

    "Mari kita duduk," kata Musashi sambil bersila di rumput. Ia merasa jengkel, kenapa Matahachi bersikeras menganggap dirinya lebih rendah? Dan kenapa ia menyalahkan orang lain untuk segala kesulitannya? "Kau ini menyalahkan semuanya pada Oko," katanya tegas, "tapi apa itu cara bicara seorang dewasa? Tak seorang pun dapat menciptakan hidup yang berguna buatmu, kecuali dirimu sendiri."

    "Aku mengaku salah, tapi... bagaimana aku dapat menerangkannya? Rupanya aku tak mampu mengubah nasibku sendiri."

    "Pada zaman seperti sekarang ini, kau takkan sampai ke mana-mana kalau kau berpikir seperti itu. Pergilah ke Edo kalau mau, tapi sesampainva di sana, kau akan bertemu orang-orang dari seluruh negeri ini, yang masing-masing haus akan uang dan kedudukan. Kau takkan punya nama kalau cuma melakukan apa yang dilakukan orang lain. Kau mesti membedakan dirimu dari yang lain, dengan caramu sendiri."

    "Ketika masih muda, mestinya aku belajar main pedang."

    "Kebetulan sekarang kau menyebut itu. Aku ragu-ragu, apakah patut kau menjadi pemain pedang. Biar bagaimana, kau baru mulai. Barangkali kau perlu memikirkan kemungkinan menjadi sarjana. Kukira itulah jalan terbaik buatmu mencari kedudukan pada seorang daimyo."

    "Jangan kuatir, aku pasti akan berbuat sesuatu." Matahachi mencabut selembar rumput dan menyelipkannya ke antara giginya. Perasaan malu menindasnya. Sungguh memalukan, menyadari akibat dari bermalas-malasan lima tahun lamanya itu. Tadinya ia selalu dapat menepiskan cerita-cerita yang didengarnya tentang Musashi dengan cukup gampang. Tapi sesudah berhadapan benar-benar seperti ini, jelas kelihatan perbedaan besar di antara mereka. Di depan Musashi yang perkasa, sukar Matahachi mengenang kembali bahwa dahulu mereka berdua teman karib. Bahkan sifat muka Musashi pun terasa menekan. Rasa iri maupun semangat bersaing tak dapat  menghilangkan perihnya menyadari ketidakbecusannya sendiri.

    "Besarkan hatimu!" kata Musashi. Tapi bahkan ketika menepuk bahu Matahachi pun, ia dapat merasa temannya itu lemah. "Yang sudah, sudahlah. Lupakan masa lalu," desaknya. "Kalaupun sudah kauhamburkan lima tahun yang lalu itu, apa salahnya? Yang penting, kau mulai untuk lima tahun berikutnya. Lima tahun yang lalu itu, dengan caranya sendiri, sudah memberikan pelajaran berharga."

    "Tahun-tahun yang sungguh brengsek."

    "Oh, ya, aku lupa. Aku baru meninggalkan ibumu tadi."

    "Kau ketemu ibuku?"

    "Ya. Perlu kukatakan, aku sungguh tak mengerti kenapa kau tidak lahir dengan banyak kekuatan dan keuletan." Dan ia juga tak dapat mengerti, kenapa Osugi memiliki anak seperti itu, anak yang begitu enggan bekerja dan begitu mengasihani diri sendiri. Ia ingin mengguncang temannya itu, mengingatkannya, betapa beruntung ia memiliki ibu. Sambil menatap Matahachi, ia bertanya pada diri sendiri, bagaimana meredakan murka Osugi. Dan jawabannya pun datang segera kalau Matahachi sendiri sudah berhasil....

    "Matahachi," katanya khidmat. "Memiliki ibu seperti ibumu itu, apa tidak ingin kau mencoba melakukan sesuatu untuk menyenangkannya? Sebagai orang yang tak punya orangtua, terpaksa aku berpendapat bahwa kau tidak cukup menunjukkan rasa syukur. Bukannya karena kau tidak cukup menunjukkan rasa hormat. Tapi biarpun dikaruniai bekal terbaik yang mungkin dimiliki seseorang, rupanya kau menganggapnya tak lebih dari kotoran. Kalau aku punya ibu seperti ibumu, aku pasti jauh lebih ingin memperbaiki diriku dan melakukan sesuatu yang betul-betul berguna, semata-mata karena akan ada orang yang bisa kuajak berbagi kebahagiaan. Tak seorang pun merasa lebih gembira dengan sukses seorang manusia daripada orangtuanya sendiri.

    "Mungkin kedengarannya aku cuma menyemburkan nasihat hampa. Tapi dari seorang pengembara seperti diriku, bukan itu soalnya. Sukar bagiku menyatakan padamu, betapa sepi rasaku apabila aku menjumpai pemandangan indah, kemudian tiba-tiba aku sadar, tak ada orang lain yang bisa kuajak menikmatinya."

    Musashi berhenti untuk mengatur napas, dan memegang tangan temannya. "Kau tahu sendiri, apa yang kukatakan ini benar. Kau tahu aku bicara sebagai teman lama, sebagai orang yang datang dari desa yang sama. Mari kita mencoba menangkap kembali semangat yang pernah kita miliki ketika kita berangkat ke Sekigahara. Sekarang tidak ada lagi perang, tapi perjuangan untuk tetap hidup di dunia yang damai tidak kurang sukarnya. Kau mesti berjuang, mesti memiliki rencana. Kalau kau mau mencoba, aku mau berbuat segalanya untuk membantumu."

    Air mata Matahachi jatuh ke tangan mereka yang saling genggam. Walaupun kata-kata Musashi serupa dengan khotbah-khotbah ibunya yang membosankan, ia betul-betul tergerak oleh perhatian temannya.

    "Kau benar," katanya sambil menghapus air matanya. "Terima kasih. Akan kulakukan apa yang kaukatakan itu. Aku akan menjadi orang baru sejak sekarang. Aku sependapat, aku bukan jenis orang yang akan berhasil menjadi pemain pedang. Aku akan pergi ke Edo dan mencari seorang guru. Kemudian aku akan belajar giat. Aku bersumpah akan melakukan itu."

    "Aku sendiri akan membuka mata, mencari guru yang baik, juga majikan yang baik tempat kau bisa bekerja. Kau bahkan bisa bekerja dan belajar sekaligus."

    "Oh, itu bisa seperti mulai hidup lagi. Tapi ada satu hal yang menggangguku."

    "Ya? Seperti kukatakan tadi, aku akan berusaha membantumu sebisaku. Setidaknya itulah yang dapat kulakukan untuk menebus apa yang telah membuat ibumu begitu marah."

    "Aduh, tapi memalukan juga ini. Kau tahu, teman jalanku itu seorang perempuan. Dia... oh, tak dapat aku menyebutkannya."

    "Ayo, bicaralah seperti lelaki!"

    "Kau jangan marah. Dia orang yang kau kenal."

    "Siapa?"

    "Akemi."

    Musashi terkejut, dan pikirnya, "Tak mungkin lagi dia memungut perempuan yang lebih gawat dari itu." Tapi sebelum sempat mengucapkan kata-kata itu, ia sudah menahan diri.

    Benar, secara seksual Akemi tidak sebejat ibunya, setidaknya belum, tetapi ia sudah mengarah ke sana-seperti burung yang terbang membawa obor kehancuran. Disamping peristiwa dengan Seijuro, Musashi sangat curiga ada apa-apa juga antara perempuan itu dengan Kojiro. Ia heran nasib jahat apa yang telah mengantar Matahachi kepada perempuan-perempuan seperti Oko dan anaknya.

    Matahachi salah menafsirkan diamnya Musashi sebagai tanda cemburu. "Kau marah, ya? Aku menceritakan ini dengan jujur padamu karena kupikir sebaiknya aku tidak menyembunyikannya."

    "Orang tolol! Yang kukuatirkan itu kau! Apa kau sudah terkutuk sejak lahir, atau kau sengaja meninggalkan jalanmu buat mencari nasib buruk. Kupikir kau sudah mengambil pelajaran dari Oko."

    Menjawab pertanyaan Musashi itu, Matahachi bercerita bagaimana ia dan Akemi sampai dapat bersama-sama. "Barangkali aku kena hukum karena meninggalkan Ibu," simpulnya. "Akemi sakit kaki ketika jatuh ke dalam ngarai, dan kaki itu semakin buruk keadaannya, jadi..."

    "Oh, jadi Bapak ada di sini!" kata perempuan tua dari penginapan itu dalam logat setempat. Ia sudah tak tentu tingkahnya dan pikun. Dengan tangan di belakang, sambil memandang ke langit, seakan-akan sedang memerikn cuaca, ia berkata, "Perempuan yang sakit itu tidak dengan Bapak," tambahnya. Nada bicaranya tidak jelas, apakah ia bertanya atau memberi kabar.

    Dengan wajah sedikit merah, Matahachi berkata, "Akemi? Kenapa dia?"

    "Dia tak ada di tempat tidur."

    "Betul?"

    "Beberapa waktu lalu dia masih ada, tapi sekarang tak ada."

    Walaupun indra keenam Musashi sudah tahu apa yang terjadi, ia hanya mengatakan, "Lebih baik kita lihat."

    Tilam Akemi masih terhampar di lantai, tapi kamar itu kosong.

    Matahachi memaki-maki dan sia-sia mengelilingi kamar. Dengan wajah merah padam ia berkata. "Tak ada obi, tak ada uang! Sisir dan peniti saja tak ada! Gila dia! Kenapa sih dia... meninggalkan aku macam ini!"

    Perempuan tua itu berdiri di pintu masuk. "Brengsek," katanya, seakan pada diri sendiri. "Saya barangkali tak boleh mengatakannya, tapi gadis itu tidak sakit. Dia cuma pura-pura, supaya dapat tinggal di tempat tidur. Saya memang tua, tapi saya dapat mengenali hal-hal seperti itu."

    Matahachi berlari ke luar, dan berdiri menatap jalan putih yang membelok sepanjang sisi bukit. Lembu yang berbaring di bawah pohon persik memecahkan kesunyian dengan lenguhnya yang panjang mengantuk. Kembang persik mulai menua warnanya dan berjatuhan.

    "Matahachi," kata Musashi, "kenapa kau berdiri bermuram durja? Mari kita doakan dia menemukan tempat menetap dan menempuh hidup damai, dan biarlah saja demikian."

    Seekor kupu-kupu kuning terlontar tinggi ke udara oleh angin pusaran, dan akhirnya terjatuh di ujung karang.

    "Aku senang sekali dengan janji yang kauberikan itu," kata Musashi. "Apa bukan sekarang waktunya bertindak, yaitu kau betul-betul mencoba menggembleng dirimu?"

    "Ya, itu yang mesti kulakukan, rasanya," gumam Matahachi tanpa semangat, sambil menggigit bibir bawahnya agar tidak menggeletar.

    Musashi memutarnya agar tidak lagi memandang jalan kosong. "Dengar," katanya riang. "Jalanmu sekarang terbuka. Ke mana pun Akemi pergi, itu tak cocok untukmu. Sekarang pergilah, sebelum terlambat. Ambillah jalan yang berada di antara Sakamoto dan Otsu. Kau masih dapat menjumpai ibumu sebelum malam. Kalau nanti kautemukan, jangan lepaskan lagi dia."

    Untuk menekankan kata-katanya, Musashi mengambil sandal dan pembalut kaki Matahachi, kemudian ia masuk penginapan dan kembali dengan barang-barang milik Matahachi yang lain.

    "Kau punya uang?" tanyanya. "Aku sendiri tak punya banyak, tapi kau bisa pakai sebagian. Kalau menurutmu Edo cocok buatmu, aku akan pergi ke sana denganmu. Malam ini aku ada di Jembatan Kara di Seta. Sesudah kau menemukan ibumu, cari aku di sana. Kuharap kau membawa ibumu."

    Sesudah Matahachi berangkat, Musashi beristirahat menanti turunnya senja dan jawaban atas suratnya. Ia membaringkan diri di bangku di belakang ruang teh, lalu memejamkan mata, dan segera bermimpi tentang dua kupu-kupu yang mengapung di udara, sambil bersenang-senang di antara cabang-cabang pohon yang saling berjalin. Seekor di antara kupukupu itu dikenalinya—Otsu!

    Ketika ia terbangun, cahaya matahari yang condong sudah mencapai dinding belakang ruang teh. Ia mendengar seorang lelaki berkata, "Dari segi mana pun, penampilan mereka betul-betul brengsek."

    "Maksudmu orang-orang Yoshioka?"

    "Betul."

    "Orang terlalu menghormati perguruan itu karena nama baik Kempo. Rupanya di bidang apa pun, cuma angkatan pertama itu yang besar artinya. Angkatan berikut sudah tidak semarak, dan pada angkatan ketiga semuanya berantakan. Jarang kita melihat kepala angkatan keempat dikubur di samping pendirinya."

    "Oh, aku bermaksud dikubur di samping buyutku."

    "Tapi kau kan cuma seorang pembelah batu? Yang kubicarakan ini orang-orang terkenal. Kalau kaupikir omonganku ini salah, coba lihat apa yang terjadi dengan ahli waris Hideyoshi."

    Para pembelah batu itu bekerja di lubang galian di dalam lembah, dan. sekitar pukul tiga sore mereka datang ke penginapan untuk minum teh. Sebelumnya, seorang dari mereka yang tinggal dekat Ichijoji menyatakan bahwa ia melihat pertempuran itu dari permulaan sampai penghabisan. Sesudah berlusin kali menyampaikan cerita itu, sekarang ia dapat bercerita dengan kefasihan yang menggetarkan, dan dengan pandainya ia membunga-bungai kenyataan dan meniru-nirukan gerak-gerik Musashi.

    Sementara para pembelah batu asyik mendengarkan ceritanya, empat orang lain datang dan mengambil tempat duduk di depan: Sasaki Kojiro dan tiga samurai dari Gunung Hiei. Wajah cemberut mereka membuat para pekerja merasa tak enak, karena itu mereka mengangkat cangkir teh dan mengundurkan diri ke dalam. Tapi ketika kisah jadi semakin seru. mulailah mereka tertawa-tawa dan berkomentar, dan sering sekali mereka mengulang-ulang nama Musashi dengan penuh kekaguman.

    Kojiro sampai pada batas kesabarannya, dan ia berseru keras, "Hei kalian yang di sana!"

    "Ya, Tuan," jawab mereka serentak, dan dengan sendirinya menundukkan kepala.

    "Apa yang terjadi di sini? Kamu!" Kojiro menudingkan kipasnya yang berkerangka baja pada orang itu. "Kau bicara seperti orang yang tahu banyak. Coba ke sini! Yang lain-lain juga! Takkan kuapa-apakan."

    Ketika mereka berjalan pelan kembali ke luar, Kojiro melanjutkan, "Dari tadi aku mendengarmu menyanyikan pujian kepada Miyamoto Musashi„ dan sekarang aku sudah bosan. Yang kau ceritakan itu omong kosong."

    Orang pun memandang bertanya-tanya dan berbisik-bisik keheranan.

    "Kenapa kauanggap Musashi pemain pedang besar? Hei kau... kau melihat pertempuran itu, tapi percayalah, aku Sasaki Kojiro, juga melihatnya. Sebagai saksi resmi, aku memperhatikan setiap bagian kecilnya. Kemudian aku pergi ke Gunung Hiei dan memberikan kuliah pada murid pendeta, tentang apa yang sudah kulihat. Lebih dari itu, atas undangan beberapa sarjana ulung, aku mengunjungi beberapa kuil cabang dan memberikan kuliah lebih banyak lagi.

    "Nah, tidak seperti aku, kalian semua tidak tahu apa-apa tentang permainan pedang." Nada menggurui menjalari suara Kojiro. "Kalian hanya melihat siapa menang dan siapa kalah, kemudian kalian menggabungkan diri memuji Miyamoto Musashi, seolah-olah dia pemain pedang terbesar yang pernah hidup.

    "Biasanya aku tak mau bersusah-susah menyangkal ocehan orang awam, tapi aku merasa perlu melakukannya sekarang, karena pandangan-pandangan kalian yang keliru itu merugikan masyarakat luas. Lebih dari itu, aku mau menunjukkan salahnya pikiran kalian, untuk kepentingan para sarjana terkemuka yang menyertaiku hari ini. Bersihkan telinga kalian dan dengarkan baik-baik. Akan kuceritakan apa yang sebenarnya terjadi di pohon pinus lebar itu, dan manusia macam apa Musashi itu."

    Suara-suara tunduk terdengar di antara hadirin yang terperangkap di situ.

    "Pertama-tama," kata Kojiro muluk, "mari kita tinjau apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Musashi—maksudnya yang tersembunyi. Dilihat dari caranya memancing pertarungan terakhir itu, aku hanya dapat menyimpulkan bahwa dia berusaha mati-matian menjual namanya, menciptakan nama baik bagi dirinya. Untuk itu dia memilih Keluarga Yoshioka, perguruan pedang paling terkenal di Kyoto, dan secara licik membuka perkelahian. Keluarga Yoshioka menjadi korban tipu muslihat ini, dan menjadi batu loncatan bagi Musashi menuju kemasyhuran dan keberhasilan.

    "Apa yang dilakukannya itu tidak jujur. Sudah umum diketahui bahwa zaman Yoshioka Kempo sudah lewat, bahwa Perguruan Yoshioka telah merosot. Perguruan itu seperti pohon layu atau orang cacat yang sudah menjelang ajal. Yang dilakukan Musashi sekadar mendorong bangkai kosong itu. Siapa saja dapat melakukan hal itu, tapi tak seorang pun melakukannya. Kenapa? Karena kami yang mengerti Seni Perang sudah tahu bahwa perguruan itu sudah tak ada daya. Kedua, karena kami tak ingin membikin suram nama Kempo yang terhormat. Namun Musashi sengaja memancing insiden, memasang papan tantangan di jalan-jalan Kyoto, menyebarkan desas-desus, dan akhirnya mengadakan pertunjukan besar dengan melakukan hal yang oleh pemain pedang cakap mana pun dapat dilakukan.

    "Tak bisa rasanya aku menyebutkan satu demi satu tipu daya murah dan pengecut yang digunakannya. Kita sebutkan misalnya dia datang terlambat menghadapi pertarungan dengan Yoshioka Seijuro maupun dengan Denshichiro. Dia bukannya menjumpai musuh-musuhnya langsung ke pohon pinus lebar, tapi datang dengan jalan memutar dan menggunakan segala macam muslihat keji.

    "Telah ditetapkan bahwa dia hanya seorang diri melawan banyak orang. Itu benar, tapi itu hanya bagian dari rencana setannya untuk membesarkan namanya. Dia tahu benar bahwa karena dia kalah dalam jumlah, umum akan bersimpati kepadanya. Tapi ketika pertempuran yang sebenarnya terjadi, yang ada tidak lebih dari permainan kanak-kanak. Ini dapat kuceritakan pada kalian, karena aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Musashi berhasil sesaat menyelamatkan nyawanya dengan tipu daya licik. kemudian ketika kesempatan lari datang, dia lari. Memang, aku harus, mengakui sampai batas tertentu dia memperlihatkan semacam kekuatan besar. Tapi itu tidak membuatnya menjadi seorang pemain pedang ahli. Tidak sama sekali! Hak kemasyhuran terbesar yang dipunyai Musashi adalah kemampuannya untuk lari kencang. Dalam lari cepat, dia tak punya tandingan."

    Kata-kata itu sekarang membanjir keluar dari mulut Kojiro, seperti air meluap dari bendungan.

    "Orang biasa berpendapat, sukar bagi pemain pedang yang sendirian bertempur melawan sejumlah besar lawan, tapi sepuluh orang tidak mesti sepuluh kali lebih kuat dari satu orang. Bagi orang yang ahli, jumlah tidak selamanya penting." Kojiro kemudian memberikan kritik profesional tentang pertempuran itu. Tidak sukar mengecilkan prestasi Musashi, karena sekalipun ia memiliki keberanian, setiap pengamat yang berpengetahuan dapat menunjukkan kekurangan-kekurangan dalam penampilannya. Ketika ia akhirnya menyebutkan Genjiro, kata-kata Kojiro pedas dan tajam. Ia mengatakan pembunuhan atas anak itu merupakan kekejian, suatu pelanggaran atas etika permainan pedang yang tidak dapat diampuni dari sudut mana pun.

    "Sekarang baiklah kusampaikan latar belakang Musashi!" teriaknya marah. Kemudian ia mengungkapkan bahwa beberapa hari lalu ia berjumpa dengar Osugi sendiri di Gunung Hiei dan mendengarkan cerita panjang dar, lengkap tentang sifat munafik Musashi. Tanpa memberikan perincian, ia menguraikan berbagai pengalaman pahit yang diderita oleh "wanita tua yang manis" itu. Ia mengakhiri cerita itu dengan mengatakan, "Sungguh aku bergidik memikirkan bahwa ada orang-orang yang berteriak memuji-muji bangsat. Akibatnya terhadap moral masyarakat sungguh mengerikan, kalaian renungkan hal itu. Dan inilah sebabnya aku bicara begini panjang. Aku tak punya hubungan dengan Keluarga Yoshioka, dan aku pun tak punya dendam pribadi terhadap Musashi. Aku bicara pada kalian secara adil tidak berat sebelah, sebagai orang yang setia kepada Jalan Pedang, sebagai orang yang bertekad secara sepantasnya mengikuti jalan itu! Aku telah menyampaikan kebenaran kepada kalian. Ingatlah itu!"

    Ia terdiam, lalu memuaskan dahaganya dengan secangkir teh lalu:menoleh kepada teman-temannya, dan katanya pelan sekali, "Oh, matahari sudah hampir terbenam. Kalau Anda sekalian tidak segera berangkat, bisa-bisa sesudah gelap pun Anda belum sampai Miidera."

    Para samurai dari kuil itu bangkit untuk berangkat.

    "Jaga diri Anda," kata seorang dari mereka.

    "Mudah-mudahan kita bertemu lagi, kalau Anda kembali ke Kyoto."

    Para pembelah batu mendapat kesempatan pergi, dan seperti tawanan yang dibebaskan pengadilan, mereka bergegas kembali ke lembah yang kini terselimut bayang-bayang keunguan dan bergema oleh nyanyian burung bulbul.

    Kojiro memperhatikan kepergian mereka, kemudian berseru ke dalam penginapan, "Saya letakkan uang teh di atas meja ya, apa Ibu punya sumbu bedil?"

    Perempuan itu sedang berjongkok di depan tungku tanah, menyiapkan rnakan malam. "Sumbu?" tanyanya. "Ada satu ikat tergantung di sudut belakang sana. Ambil sebanyak Tuan mau."

    Kojiro melangkah ke sudut. Ketika ia sedang menarik dua-tiga di antaranya dari ikatan, sumbu-sumbu yang lain jatuh ke bangku di bawah. Dan ketika ia membungkuk akan mengambilnya, terlihat olehnya dua kaki terentang di atas bangku. Pelan-pelan matanya menjalar dari kaki itu ke rubuh, dan kemudian ke wajah orang tersebut. Guncangan yang diperolehnya waktu itu sungguh seperti pukulan keras pada jaringan saraf simpatis.

    Musashi menatap langsung kepadanya.

    Kojiro meloncat mundur selangkah.

    "Ya, ya," kata Musashi sambil menyeringai lebar. Tanpa terburu-buru ia berdiri dan pergi ke sisi Kojiro. Di situ ia berdiri tenang, wajahnya tampak riang dan maklum.

    Kojiro mencoba tersenyum membalas, tapi otot-otot wajahnya menolak runduk. Seketika ia sadar bahwa Musashi tentunya sudah mendengar setiap patah kata yang diucapkannya, karena itu rasa malunya pun semakin tak tertanggungkan lagi. Ia merasa Musashi sekarang menertawakannya. Sebentar kemudian ia sudah memperoleh kembali rasa percaya dirinya, tapi selama masa peralihan yang singkat itu, sikap bingungnya tak dapat diragukan lagi.

    "Terus terang, Musashi, aku tak mengharapkan melihatmu di sini," katanya.

    "Senang melihatmu lagi."

    "Ya, ya, betul." Baru diucapkan pun kata-kata itu sudah disesalinya, namun ia tak dapat berbuat lain, dan lanjutnya, "Mesti kukatakan, kau hetul-betul sudah membuat tenar namamu sejak terakhir kita bertemu. Sukar dipercaya bahwa seorang manusia dapat berkelahi seperti yang kaulakukan itu. Izinkan aku mengucapkan selamat. Kau bahkan tetap kelihatan biasa-biasa saja."

    Dengan sisa senyum di bibirnya, Musashi berkata dengan sikap sopan dilebih-lebihkan, "Terima kasih atas kesediaanmu menjadi saksi hari itu. Dan terima kasih juga atas kritik yang baru saja kau berikan atas penampilanku. Tidak sering kita dapat melihat diri sendiri menurut pandangan orang lain. Aku sangat berutang budi padamu atas komentarmu. Percayalah. aku takkan lupa."

    Sekalipun dalam nada tenang dan tanpa dendam, pernyataan terakhir itu membuat bulu roma Kojiro tegak. Ia memahami kata-kata itu sebagaimana adanya, suatu tantangan yang mesti dilayani di masa depan.

    Kedua orang itu, yang sama-sama angkuh, sama-sama keras kepala, dan sama-sama yakin akan kebenarannya sendiri, cepat atau lambat pasti akan bertumbukan. Musashi siap menanti, tapi ketika ia mengatakan, "Aku takkan lupa," sebenarnya ia cuma menyampaikan kebenaran belaka. Ia sudah menganggap kemenangannya yang paling baru itu sebagai batu pengukur dalam kariernya sebagai pemain pedang, suatu titik tinggi dalam perjuangannya menyempurnakan diri. Fitnah-fitnah Kojiro itu takkan di­biarkan terus-terusan tanpa tantangan.

    Sekalipun Kojiro membumbui pidatonya untuk membuai para pendengarnya, sesunggahnya pendapatnya sendiri tentang peristiwa itu sama dengan yang telah dilukiskannya, dan tidak berbeda dengan yang sudah ia kemukakan. Dan ia tidak sangsi sama sekali mengenai ketepatan penilaiannya terhadap Musashi.

    "Aku senang mendengarmu mengatakan itu," kata Kojiro. "Dan aku takkan ingin kau melupakannya. Aku juga takkan lupa." Musashi masih tersenyum ketika ia mengangguk setuju.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Popular