Perkawinan
NUINOSUKE semula pergi ke rumah Magobeinojo, memperlihatkansurat itu dan memberikan penjelasan. Segera kemudian ia berangkat lagi, tanpa minum secangkir teh, lalu berhenti sebentar-sebentar di lima rumah lain.
Dari kantor komisioner di tepi laut ia naik ke darat, mengambil tempat di belakang sebuah pohon, dan mengamati orang-orang yang sejak pagipagi sekali sudah sibuk. Tujuh rombongan samurai sudah berangkat ke Funashima-juru-juru bersih medan, para saksi, dan pengawal-masingmasing rombongan dalam perahu terpisah. Di pantai ada satu perahu kecil lagi yang sudah siap membawa Kojiro. Tadatoshi memerintahkan membuatnya khusus untuk peristiwa itu, dari balok baru, lengkap dengan beberapa sapu air baru dan temali rami yang baru pula.
Orang-orang yang melepas keberangkatan Kojiro berjumlah sekitar seratus orang. Nuinosuke dapat mengenali sebagian dari mereka sebagai teman-teman pemain pedang itu. Banyak lagi yang lain, yang tidak dikenalnya.
Kojiro menghabiskan tehnya, dan keluar dari kantor komisioner dengan disertai para pejabat. Sesudah mempercayakan kuda kesayangannya kepada teman-temannya, ia berjalan melintasi pasir, menuju perahu. Tatsunosuke mengikutinya rapat di belakang. Orang banyak diam-diam menyusun diri dalam dua barisan, dan menyiapkan jalan bagi jagoan mereka. Melihat cara Kojiro berpakaian, banyak di antara mereka membayangkan mereka sendiri yang berangkat menuju pertempuran. Ia mengenakan kimono sutra berlengan sempit warna putih mantap, dengan pola bergambar timbul. Kimono itu ditutupi jubah tanpa lengan, warna merah cemerlang. Hakama-nya terbuat dari kulit warna ungu, dari jenis yang disimpul di bawah lutist, ketat di bagian betis, seperti pembalut kain. Sandal jeraminya tampak dibasahi sedikit, agar tidak licin. Disamping pedang pendek yang selalu dibawanya, ia membawa Galah Pengering yang tidak dipergunakan sejak ia menjadi pejabat pada Keluarga Hosokawa. Wajahnya yang putih dan berpipi penuh tampak tenang dibanding jubahnya yang merah manyala. Hari itu Kojiro tampak megah, hampir-hampir indah.
Nuinosuke bisa melihat bahwa senyum Kojiro tenang dan yakin. Ia menyeringai sekilas-sekilas ke segala jurusan. Ia tampak bahagia dan betul-betul tenteram.
Kojiro melangkah masuk perahu. Tatsunosuke mengikuti. Ada dua awak perahu, seorang di haluan, dan seorang lagi memainkan dayung buritan. Amayumi bertengger di tinju Tatsunosuke.
Begitu meninggalkan pantai, pendayung menggerakkan kedua tangannya dengan tarikan-tarikan sangat pelan, dan perahu kecil itu meluncur pelan ke depan.
Elang pemburu mengepak-ngepakkan sayapnya, terkejut oleh teriakan-teriakan orang-orang yang mengucapkan selamat.
Orang banyak menyebar dalam kelompok-kelmpok kecil, dan pelanpelan bubar sambil mengagumi sikap tenang Kojiro. Mereka berdoa semoga ia memenangkan pertempuran hebat itu.
"Aku harus kembali," pikir Nuinosuke, ketika teringat tanggung jawab untuk mengatur agar Sado berangkat pada waktunya. Ketika ia meninggalkan tempat itu, terlihat olehnya seorang gadis. Tubuh Omitsu tertempel erat ke sebatang pohon, dan ia sedang menangis.
Karena merasa kurang sopan melihatnya, Nuinosuke menghindari pemandangan itu, dan menyelinap diam-diam. Setelah berada di jalan kembali, ia lontarkan pandangan terakhir pada perahu Kojiro, kemudian pada Omitsu. "Tiap orang memiliki kehidupan umum dan kehidupan pribadi," pikirnya. "Di balik segala ingar-bingar itu, seorang perempuan berdiri menangis sehabis-habisnya."
Di perahu, Kojiro meminta elangnya dari Tatsunosuke dan mengulurkan tangan kirinya. Tatsunosuke memindahkan Amayumi ke tinju Kojiro, dan dengan sikap hormat mengundurkan diri.
Pasang air mengalun deras. Hari sungguh sempurna—langit cerah, air jernih—tapi ombak agak tinggi. Setiap kali air berkecipak di atas tepian perahu, elang menggeleparkan bulunya dalam semangat tempur.
Ketika mereka sudah sekitar setengah jalan ke pulau, Kojiro melepaskan ikatan kaki burung dan melontarkannya ke udara, katanya, "Kembali ke benteng."
Seakan sedang berburu seperti biasa, Amayumi menyerang seekor burung laut yang sedang melarikan diri, dan hujan bulu putih pun turun. Tapi, ketika tuannya tidak memanggilnya kembali, burung itu menukik turun ke atas kepulauan, kemudian mengangkasa dan menghilang.
Sesudah melepaskan elang itu, Kojiro mulai melepaskan dirinya dari segala jimat dan tulisan keberuntungan Budha maupun Shinto yang ditaburkan kepadanya oleh para pendukungnya, dan membuang semua itu satu per satu ke luar perahu—bahkan juga jubah dalam dari katun bersulam pepatah Sansekerta yang diberikan oleh bibinya.
"Sekarang aku bisa santai," katanya pelan. Menghadapi situasi hidup atau mati itu, ia tak ingin diganggu oleh kenangan ataupun pribadi-pribadi. Ingatan akan semua orang yang berdoa untuk kemenangannya itu merupakan beban. Harapan-harapan baik mereka kini lebih merupakan penghalang daripada bantuan, betapapun tulusnya harapan itu. Yang penting sekarang adalah dirinya sendiri.
Angin asin membelai wajahnya yang diam. Matanya tertuju pada pohonpohon pinus hijau di Funashima.
Di Shimonoseki, Tarozaemon berjalan melewati barisan gubuk tepi pantai, dan masuk ke dalam tokonya. "Sasuke," panggilnya. "Apa tak ada yang melihat Sasuke?" Sasuke adalah salah seorang pegawai termuda di antara banyak pegawainya, tapi juga yang paling cerdas. Disamping dihargai sebagai pembantu rumah tangga, ia sekali-sekali membantu di toko.
"Selamat pagi," kata manajer Tarozaemon yang muncul dari posnya di kantor pembukuan. "Beberapa menit lalu, Sasuke ada di sini." Dan sambil menoleh pada seorang pembantu muda, katanya, "Cari Sasuke. Cepat!"
Manajer itu mulai melaporkan perkembangan soal-soal usaha pada Tarozaemon, tapi pedagang itu menghentikannya seketika sambil menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan seekor nyamuk sedang mengejarnya. "Yang ingin kuketahui adalah apa ada orang datang kemari mencari Musashi."
"Memang benar, ada orang datang kemari tadi pagi."
"Suruhan dari Nagaoka Sado? Yang itu aku tahu. Ada lagi yang lain?"
Manajer itu menggosok dagunya. "Saya tidak melihatnya sendiri, tapi katanya tadi malam datang satu orang yang tampak kotor dan tajam matanya. Dia pakai tongkat kayu ek panjang, dan minta bertemu 'Sensei Musashi'. Orang-orang mengalami kesulitan mengusir orang itu."
"Ada yang banyak omong! Padahal sudah kukatakan pada mereka, mesti tutup mulut tentang adanya Musashi di sini."
"Saya tahu, dan saya pun mengatakan pada mereka dengan cukup jelas. Tapi memang kita tak bisa berbuat sesuatu dengan anak-anak muda itu. Adanya Musashi di tempat ini membuat mereka merasa penting."
"Bagaimana kalian mengusir orang itu?"
"Sobei mengatakan padanya, dia keliru, karena Musashi tak pernah ada di sini. Akhirnya orang itu pergi, entah percaya atau tidak. Sobei melihat ada dua atau tiga orang menantikan orang itu di luar, seorang di antaranya perempuan."
Sasuke datang berlari-lari dari dermaga. "Bapak memanggil saya?"
"Ya. Aku ingin tahu, apa kau sudah siap. Kau tahu, ini penting sekali."
"Saya tahu, Pak. Saya sudah bangun sejak sebelum matahari terbit. Saya sudah mandi dengan air dingin, dan pakai cawat putih yang baru."
"Bagus. Apa perahu sudah siap, seperti kusebutkan tadi malam?"
"Ya, tak banyak lagi yang mesti dilakukan. Sudah saya pilih yang tercepat dan paling bersih di antara perahu-perahu itu, sudah saya taburkan garam di bagian luar-dalam. Saya siap berangkat, kapan saja Musashi siap."
"Di mana perahu itu?"
"Di pantai, bersama yang lain-lain."
Tarozaemon berpikir, "Lebih baik kita jalankan sekarang. Terlalu banyak orang akan melihat saat Musashi berangkat. Dia tak suka itu. Bawa perahu ke pohon besar pinus Heike itu. Hampir tak ada orang lewat sana."
"Baik, Pak."
Toko yang biasanya amat sibuk itu hampir-hampir sepi. Bingung dan cemas, Tarozaemon keluar ke jalan. Baik di situ maupun di Moji, di pantai seberang, orang-orang libur-mereka yang tampaknya samurai dari beberapa perdikan berdekatan, para ronin, sarjana Kong-Hu-Cu, pandai besi, pandai senjata, pembuat lak, pendeta, macam-macam penduduk kota, dan sejumlah petani dari pedesaan sekitar. Para wanita berbau wangi, mengenakan kerudung dan topi perjalanan lebar. Istri-istri para nelayan menggendong atau menggandeng anak-anaknya. Mereka semua bergerak ke arah yang sama, sia-sia mencoba lebih mendekati pulau itu, sekalipun tak ada tempat yang menguntungkan. Benda paling kecil yang bisa terlihat tak lebih dari sebatang pohon.
"Aku tahu maksud Musashi," pikir Tarozaemon. Tentunya ia tidak tahan ditonton gerombolan pelancong yang hanya menganggap perkelahian itu sebagai tontonan.
Sampai di rumah kembali, ia dapati seluruh tempat itu sudah bersih sekali. Dalam kamar yang menghadap ke pantai, pola-pola ombak berkelap-kelip di langit-langit.
"Ayah dari mana? Sudah lama kucari-cari." Otsuru datang membawa teh.
"Tidak dari mana-mana." Tarozaemon mengangkat cangkir tehnya, dan memandang ke dalamnya sambil merenung.
Otsuru datang kemari untuk tinggal bersama ayah yang dicintainya. Kebetulan, dalam perjalanan dari Sakai, ia berada satu kapal dengan Musashi. Lalu ia tahu mereka berdua sama-sama punya hubungan dengan Iori. Ketika Musashi datang untuk menyatakan hormat kepada Tarozaemon dan mengucapkan terima kasih atas perawatan anak itu, pedagang itu mendesak Musashi tinggal di rumahnya dan memerintahkan Otsuru melayaninya.
Malam sebelum itu, ketika Musashi bercakap-cakap dengan tuan rumah, Otsuru duduk di kamar sebelah, menjahit cawat baru dan kain perut yang menurut Musashi dibutuhkannya pada hari pertarungan. Otsuru sudah menyiapkan pula kimono baru warna hitam. Begitu diperlukan, jelujuran yang dipergunakan melipat lengan dan rok kimono itu dapat segera dilepas.
Terlintas dalam pikiran Tarozaemon, bisa jadi Otsuru jatuh cinta pada Musashi. Tampak pandangan mata anak itu gelisah. Dalam pikirannya tentu ada sesuatu yang serius.
"Otsuru, di mana Musashi? Apa sudah kausediakan makan pagi?"
"Ya. Sudah lama. Tapi, sesudah itu, dia menutup pintu kamarnya."
"Bersiap-siap kukira."
"Tidak, belum."
"Apa yang dia lakukan?"
"Rupanya sedang melukis."
"Sekarang ini?"
"Ya."
"Hmm. Memang kami membicarakan lukisan, dan aku tanya, apa dia mau membuatkan lukisan buatku. Mestinya tak usah aku minta."
"Dia bilang, akan dia siapkan lukisan itu sebelum pergi. Dia juga bikin satu lukisan buat Sasuke."
"Sasuke?" ulang Tarozaemon tak percaya. Ia jadi semakin gelisah. "Apa dia tidak tahu, sekarang sudah terlambat? Kaulihat sendiri itu, semua orang berduyun-duyun di jalan-jalan."
"Kalau melihat wajahnya, kita bisa menduga dia sudah lupa pertarungan itu."
"Sekarang ini bukan waktunya melukis. Katakan sana padanya. Kau mesti tetap sopan, tapi sampaikan padanya, melukis itu dapat dilakukan nanti."
"Tapi kenapa saya? Saya tak bisa..."
"Kenapa tidak?" Dan, kecurigaannya bahwa anaknya telah jatuh cinta jadi lebih kuat. Ayah dan anak berkomunikasi secara diam, namun sempurna. Sambil mengomel dengan nada sayang, "Anak konyol. Kenapa menangis?" ia berdiri, lalu pergi ke kamar Musashi.
Musashi berlutut diam, seakan bersemadi. Di sampingnya terletak kuas, kotak tinta, dan tabung kuas. Satu lukisan sudah diselesaikannya-seekor burung bangau di bawah pohon dedalu. Kertas di hadapannya kini masih kosong. Ia sedang menimbang-nimbang, apa yang akan dilukiskannya. Atau lebih tepat, diam-diam ia sedang mencoba menempatkan diri dalam kerangka pikiran yang benar. Ini penting, sebelum ia dapat membayangkan lukisan itu, atau mengetahui teknik yang akan dipergunakan.
Ia pandang kertas putih itu sebagai alam semesta kehampaan. Satu guratan saja akan menampilkan kehadiran di dalamnya. Sebetulnya ia dapat membangkitkan hujan atau angin sekehendaknya, tapi apa pun yang digambarnya, hatinya akan tertinggal dalam lukisan itu. Jika hatinya ternoda, lukisan akan ternoda pula; kalau hatinya lesu, demikian jugalah jadinya lukisan itu. Kalau ia mencoba memamerkan keterampilan semata, maka niatnya itu takkan dapat disembunyikan. Tubuh manusia melayu, tapi tinta hidup terus. Gambaran hatinya akan terus bernapas, sesudah ia sendiri tiada. Ia sadar bahwa pikirannya menghambat. la hampir memasuki dunia kehampaan, membiarkan hatinya berbicara sendiri, bebas dari egonya, merdeka dari sentuhan pribadi tangannya. Ia mencoba membuat dirinya kosong, dan menanti suasana mulia, saat hatinya dapat berbicara dalam kesatuan dengan alam semesta, tidak mementingkan diri sendiri dan tidak pula terhalangi.
Bunyi-bunyian dari jalan tidak sampai ke kamarnya. Pertarungan hari itu agaknya terpisah sama sekali dari dirinya. Yang ia rasakan hanyalah gerak getar pohon bambu di kebun dalam.
"Boleh saya mengganggu?" Shoji di belakang dirinya terbuka tanpa bunyi, dan Tarozaemon melongok ke dalam. Menyerobot masuk itu terasa salah, hampir-hampir jahat, tapi ia memberanikan diri, katanya, "Saya minta maaf telah mengganggu, padahal kelihatannya Anda demikian menikmati kerja Anda."
"Ah, silakan masuk."
"Sekarang sudah hampir waktunya berangkat."
"Saya tahu."
"Segalanya sudah siap. Semua barang yang Anda butuhkan ada di kamar sebelah."
"Oh, terima kasih banyak."
"Saya minta Anda tidak terlalu mementingkan lukisan itu. Anda dapat menyelesaikannya, bila nanti kembali dari Funashima."
"Ah, tak apa. Saya merasa segar sekali pagi ini. Ini waktu yang baik buat melukis."
"Tapi Anda mesti memikirkan waktu."
"Ya, saya tahu."
"Kapan Anda mau melakukan persiapan, panggil saja. Kami menanti buat membantu."
"Terima kasih banyak."
Tarozaemon hendak meninggalkan tempat itu, tapi Musashi bertanya,
"Jam berapa pasang naik?"
"Pada musim ini, paling rendah antara jam enam dan jam delapan pagi. Mestinya kira-kira sekarang ini naik lagi."
"Terima kasih," kata Musashi sambil lalu, lalu kembali memusatkan perhatian pada kertas putih itu.
Tanpa suara, Tarozaemon menutup shoji dan kembali ke kamar tamu. Ia bermaksud duduk dan menunggu dengan tenang, tapi belum lama ia mulai gelisah lagi. Ia bangkit dan pergi ke beranda. Dari sana kelihatan olehnya arus mengalir melewati selat. Air mulai naik ke darat.
"Ayah."
"Ada apa?"
"Sudah waktunya pergi. Saya taruh sandalnya di pintu masuk halaman."
"Dia belum siap."
"Masih melukis?
"Ya."
"Saya kira tadi Ayah menyuruhnya berhenti dan bersiap-siap."
"Dia tahu jam berapa sekarang."
Sebuah perahu kecil berhenti di pantai, tak jauh dari tempat itu, dan Tarozaemon mendengar namanya dipanggil orang. Nuinosuke yang bertanya, "Apa Musashi belum berangkat?" Ketika Tarozaemon menjawab belum, Nuinosuke cepat mengatakan, "Tolong sampaikan padanya supaya siap dan berangkat secepat-cepatnya. Kojiro sudah berangkat, juga Yang Dipertuan Hosokawa. Majikan saya berangkat dari Kokura sekarang inn."
"Akan saya usahakan."
"Tolonglah! Barangkali kedengarannya seperti kata-kata perempuan, tapi kami ingin kepastian bahwa dia tidak terlambat. Memalukan sekali kalau sampai mendatangkan aib pada diri sendiri sekarang ini." Ia lekas-lekas berdayung pergi, meninggalkan perantara kapal dan anak perempuannya itu marah-marah sendiri di beranda. Mereka menghitung detik demi detik, sambil terus-menerus melayangkan pandang ke arah kamar kecil di belakang, yang tidak memperdengarkan bunyi sedikit pun.
Segera kemudian, perahu lain datang membawa seorang utusan dari Funashima, untuk meminta Musashi lekas datang.
Musashi membuka mata ketika mendengar bunyi shoji dibuka. Tak perlu lagi Otsuru minta izin masuk. Ketika ia sampaikan pada Musashi kedatangan perahu dari Funashima itu, Musashi mengangguk dan tersenyum ramah. "Begitu," katanya, lalu meninggalkan kamar.
Otsuru memandang lantai yang tadi diduduki Musashi. Lembar kertas itu sekarang sudah penuh noda tinta. Semula gambar itu tampak seperti awan yang tidak jelas bentuknya, tapi segera kemudian ia lihat lukisan itu merupakan pemandangan jenis "Tinta patah". Lukisan itu masih basah.
"Tolong berikan lukisan itu pada ayahmu," seru Musashi, mengatasi bunyi kecipak air. "Dan yang lain buat Sasuke."
"Terima kasih. Mestinya tak usah Anda lakukan itu."
"Saya minta maaf, tak ada barang yang lebih baik yang dapat saya sampaikan, sesudah Anda sekalian begitu repot, tapi saya harap ayahmu menerimanya sebagai wasiat."
Otsuru menjawab penuh arti, "Malam nanti, bagaimanapun juga pulanglah, dan duduk dekat api dengan Ayah, seperti tadi malam."
Mendengar gemeresik pakaian di kamar sebelah, Otsuru merasa senang. Akhirnya Musashi berpakaian! Kemudian tidak terdengar apa-apa, dan hal berikut yang ia ketahui adalah Musashi sedang bicara dengan ayahnya. Percakapan itu singkat sekali, hanya beberapa patah kata pendek. Ketika melewati kamar sebelah, ia lihat Musashi sudah melipat rapi pakaian lamanya dan menyimpannya di kotak sudut. Suatu kesepian tak terlukiskan mencekamnya. Ia membungkuk dan membenamkan wajahnya ke kimono yang masih hangat itu.
"Otsuru!" panggil ayahnya. "Apa kerjamu? Dia berangkat!"
"Ya, Ayah." Ia menghapuskan jari-jarinya ke pipi dan kelopak mata, dan berlari ikut ayahnya.
Musashi sudah berada di gerbang halaman yang sengaja ia pilih untuk menghindari pandangan orang. Ayah, anak perempuannya, dan empat atau lima orang lain dari rumah dan toko mengantar hanya sampai gerbang. Otsuru terlalu gugup, hingga tak dapat mengucapkan kata-kata. Ketika mata Musashi tertuju kepadanya, ia membungkuk seperti yang lain-lain.
"Selamat berpisah," kata Musashi. Ia lewati gerbang rendah dari rumput anyam itu, ia tutup, dan katanya, "Jaga diri Anda sekalian." Ketika mereka mengangkat kepala, tampak Musashi sedang berjalan cepat menjauh.
Mereka mengikutinya dengan pandangan mata, tapi Musashi tidak menoleh.
"Saya kira memang begitu mestinya sikap samurai," gumam seseorang. "Dia berangkat begitu saja; tanpa pidato, tanpa ucapan selamat berpisah yang rumit, tanpa apa-apa."
Otsuru segera menghilang. Beberapa detik kemudian, ayahnya mengundurkan diri juga masuk rumah.
Pinus Heike berdiri kokoh pada jarak sekitar dua ratus meter dari pantai. Musashi berjalan ke sana dengan pikiran tenang sepenuhnya. Seluruh pikirannya telah ia tumpahkan ke tinta hitam dalam lukisan pemandangan itu. Ia merasa senang telah melukis tadi, dan ia anggap usahanya berhasil.
Sekarang ke Funashima. Ia berangkat dengan tenang, seakan-akan perjalanan ini sama dengan perjalanan lain. Ia tidak tahu apakah akan pernah kembali, tapi ia sudah tak lagi memikirkan hal itu. Bertahun-tahun lalu, ketika pada umur dua puluh dua ia menghampiri pinus lebar di Ichijoji, ia merasa sangat bersemangat, karena dibayangi perasaan akan terjadinya tragedi. Waktu itu ia mencengkeram pedangnya dengan penuh tekad. Sekarang ini ia tidak merasakan apa-apa.
Bukannya musuh hari ini tidak begitu menakutkan dibanding seratus orang yang ia hadapi waktu itu. Jauh dari itu. Kojiro, yang berkelahi sendirian, merupakan lawan yang lebih hebat daripada pasukan apa pun yang dapat disusun Perguruan Yoshioka untuk melawannya. Tak ada keraguan sedikit pun dalam pikiran Musashi, bahwa ia sedang menghadapi perkelahian demi hidupnya.
"Sensei."
"Musashi!"
Pikiran Musashi jadi terlengah oleh suara-suara itu, dan oleh dua orang yang berlari-lari ke arahnya. Sekejap ia terperangah.
"Gonnosuke!" serunya. "Dan Nenek! Bagaimana kalian berdua bisa ada di sini?"
Kedua orang yang sangat kotor badannya karena perjalanan itu, berlutut di pasir di depannya.
"Kami mesti datang," kata Gonnosuke.
"Kami datang buat melepas kepergianmu," kata Osugi. "Dan aku datang untuk minta maaf padamu."
"Maaf? Pada saya?"
"Ya. Atas segalanya. Aku harus minta kau memaafkan diriku."
Musashi memandang wajah Osugi, penuh tanda tanya. Kata-kata itu terdengar mustahil olehnya. "Kenapa begitu, Nek? Apa yang terjadi?"
Osugi berdiri dengan tangan terkatup, memohon, "Apa yang dapat kukatakan? Aku sudah melakukan begitu banyak hal yang jahat, sampai aku tak bisa berharap minta maaf atas semuanya itu. Semua itu... semua itu kekeliruanku yang mengerikan. Aku dibikin buta oleh cinta kepada anakku, tapi sekarang aku tahu mana yang benar. Maafkan aku."
Musashi memandang Osugi sebentar, kemudian berlutut dan memegang tangan Osugi. Ia tak berani mengangkat mata, takut air mata menggenangi matanya. Melihat perempuan tua itu demikian menyesal, ia pun merasa bersalah. Tapi ia merasa berterima kasih juga. Tangan Osugi gemetar, bahkan tangan Musashi sendiri bergetar sedikit.
Musashi butuh waktu sejenak untuk memulihkan dirinya kembali. "Saya percaya, Nek. Saya mengucapkan terima kasih atas kedatangan Nenek. Sekarang saya dapat menghadapi maut tanpa penyesalan, dan terjun dalam pertarungan dengan semangat yang bebas dan hati tak terusik."
"Jadi, kau memaafkan aku?"
"Tentu saya memaafkan, kalau Nenek mau memaafkan saya atas semua kesulitan yang pernah saya perbuat ketika kecil."
"Tentu, tapi cukuplah denganku. Ada orang lain yang membutuhkan pertolonganmu. Orang yang amat sedih." Ia menoleh, mengajak Musashi melihat.
Di bawah pinus Heike berdiri Otsu yang memandang malu ke arah mereka, wajahnya pucat dan basah karena menantikan perjumpaan.
"Otsu!" pekik Musashi. Dalam sedetik ia sudah langsung berada di depan Otsu. Ia sendiri tak tahu bagaimana kakinya telah membawanya ke sana. Gonnosuke dan Osugi berdiri di tempat. Mereka ingin sekali menghilang tak tahu rimbanya, dan meninggalkan pantai pada kedua pasangan itu saja.
"Otsu, kau datang."
Tidak ada kata-kata yang dapat menjembatani jurang pemisah yang bertahun-tahun lamanya itu, untuk mengungkapkan dunia perasaan yang membludak di dalam diri Musashi.
"Kau kelihatan tidak sehat. Apa kau sakit?" Musashi menggumamkan kata-kata itu, seperti satu baris terpisah dalam sajak yang panjang.
"Sedikit." Dengan mata ditundukkan, Otsu berjuang untuk tetap tenang, agar tidak kehilangan akal. Saar yang barangkali merupakan saat terakhir ini tidak boleh ternoda ataupun tersia-sia.
"Apa cuma masuk angin?" tanya Musashi. "Atau penyakitmu parah? Apa yang sakit? Di mana kau berada beberapa bulan terakhir ini?"
"Aku kembali ke Shippoji musim gugur lalu."
"Pulang?"
"Ya." Otsu langsung memandang Musashi. Matanya jadi sejernih kedalaman samudra, mata yang berjuang menahan air mata. "Tapi sebetulnya tak ada rumah sejati buat seorang yatim-piatu macam aku. Yang ada cuma rumah dalam diriku."
"Jangan bicara macam itu. Lihat itu, Osugi pun kelihatan sudah membuka hatinya untukmu. Aku jadi sangat bahagia. Kau mesti sembuh dari sakitmu dan belajar merasa bahagia. Untukku."
"Aku bahagia sekarang."
"Kau bahagia? Kalau betul, aku juga bahagia... Otsu..." Musashi membungkuk ke arah Otsu. Otsu berdiri kaku, karena sadar akan hadirnya Osugi dan Gonnosuke. Tapi Musashi sudah melupakan mereka. Dipeluknya Otsu dan digosokkannya pipinya ke pipi Otsu.
"Kau begini kurus... begini kurus." Musashi sadar benar bahwa napas Otsu bercampur demam. "Otsu, maafkan aku. Barangkali aku kelihatan tak berhati, tapi sebetulnya tidak, terutama yang menyangkut dirimu."
"Aku... aku tahu."
"Betul? Sungguh?"
"Ya, tapi kumohon ucapkan satu patah kata padaku. Satu patah saja. Katakan, aku istrimu."
"Akan merusak segalanya kalau aku mengatakan apa yang sudah kauketahui."
"Tapi... tapi..." Otsu tersedu-sedu dengan sekujur tubuhnya, tapi dengan ledakan kekuatannya ia tangkap tangan Musashi, dan teriaknya, "Katakan! Katakan aku istrimu sepanjang hidup ini!"
Musashi mengangguk, pelan-pelan, tanpa kata-kata. Kemudian satu-satu ia melepaskan jemari Otsu yang lembut dari tangannya, dan berdiri tegak. "Istri samurai tak boleh menangis dan lemah ketika suaminya pergi berperang. Tertawalah untukku, Otsu. Lepaskan aku dengan senyum. Ini barangkali keberangkatan terakhir suamimu."
Keduanya tahu bahwa saatnya sudah tiba. Untuk sesaat Musashi memandang Otsu dan tersenyum. Kemudian katanya, "Sampai nanti."
"Ya. Sampai nanti." Otsu ingin membalas senyum Musashi, namun hanya berhasil menahan air mata.
"Selamat tinggal." Musashi membalik, dan dengan langkah mantap berjalan menuju tepi air. Sepatah kata perpisahan naik ke tenggorokan Otsu, tapi menolak diucapkan. Air mata menggelegak tak tertahan. Ia tak dapat lagi melihat Musashi.
Angin kencang dan asin mempermainkan cambang Musashi. Kimononya mengepak-ngepak ribut.
"Sasuke! Bawa lebih dekat perahu itu."
Walau sudah menanti lebih dari dua jam, dan tahu Musashi ada di pantai, namun Sasuke dengan hati-hati terus memalingkan pandangan. Sekarang ia memandang Musashi, katanya, "Siap, Pak."
Dengan gerakan kuat dan cepat ia galahkan perahu untuk mendekat. Ketika perahu sudah menyentuh pantai, Musashi melompat ringan ke haluan, dan berangkatlah mereka ke tengah laut.
"Otsu! Berhenti!" Teriakan itu diserukan oleh Jotaro. Otsu berlari langsung ke arah laut, dan Jotaro berlomba mengejarnya. Gonnosuke dan Osugi terkejut dan ikut mengejar.
"Otsu, berhenti! Apa yang kaulakukan?"
"Jangan bodoh begitu."
Mereka berhasil mengejarnya secara bersamaan. Mereka memeluk Otsu, dan menahannya.
"Tidak, tidak!" protes Otsu, menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. "Kalian tak mengerti."
"A-apa yang mau kaulakukan?"
"Biarkan aku duduk, sendiri." Suara Otsu tenang.
Mereka melepaskannya, dan dengan anggun Otsu berjalan ke suatu tempat, beberapa meter jauhnya. Di situ ia berlutut ke pasir, kelihatannya kehabisan tenaga. Namun ia telah menemukan kekuatannya. Ia tegakkan kerahnya. Ia luruskan rambut, lalu membungkuk ke arah perahu kecil Musashi.
"Pergilah tanpa penyesalan."
Osugi berlutut dan membungkuk. Kemudian Gonnosuke. Dan Jotaro. Walau datang dari Himeji yang begitu jauh, Jotaro tak berhasil sempat bicara dengan Musashi, padahal besar sekali hasratnya untuk mengucapkan kata perpisahan. Tapi kekecewaannya terobati, karena ia tahu telah memberikan jatah waktunya kepada Otsu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar