Tanam Pertama
PENGELOLAAN tempat semayam Hosokawa yang indah di Edo, demikian juga pelaksanaan kewajiban-kewajiban perdikan untuk shogun, dipercayakan pada seorang lelaki yang baru berumur dua puluh lebih sedikit—Tadatoshi, anak tertua daimyo Hosokawa Tadaoki. Sang ayah, seorang jenderal ternama yang juga mempunyai nama baik sebagai penyair dan ahli upacara teh, lebih suka tinggal di perdikan Kokura yang besar di Provinsi Buzen, Pulau Kyushu.
Sekalipun Nagaoka Sado dan sejumlah abdi terpercaya lain ditugaskan membantu orang muda itu, tidak berarti bahwa pemuda itu tidak mampu. Ia tidak hanya diterima sebagai teman oleh pengikut-pengikut kuat yang paling dekat dengan shogun, melainkan telah memantapkan diri sebagai pengelola yang berpandangan jauh dan penuh semangat. Sesungguhnya ia lebih cocok dengan suasana perdamaian dan kemakmuran dibandingkan dengan generasi yang lebih tua, yang terdidik dalam peperangan berkepanjangan.
Waktu itu Sado sedang berjalan menuju lapangan kuda. "Apa kau sudah melihat Tuan Muda?" tanyanya pada samurai magang yang datang menghampirinya.
"Saya kira beliau ada di tempat latihan panahan."
Sementara Sado menyusuri jalan setapak yang sempit itu, ia dengar suara bertanya, "Boleh saya bicara dengan Anda?"
Sado berhenti, dan muncullah di hadapannya Iwama Kakubei, seorang pengikut yang disegani orang karena kelihaian dan kepraktisannya. "Apa anda akan bicara dengan Yang Dipertuan?" tanyanya.
"Ya."
"Kalau Anda tidak terburu-buru, ada soal kecil yang ingin saya bicarakan dengan Anda. Bagaimana kalau kita duduk di sana?" Sementara mereka melewati beberapa anak tangga yang menuju sebuah beranda sederhana. Kakubei berkata, "Saya ingin minta pertolongan, kalau Anda ada kesempatan selagi berbicara dengan beliau. Ada satu orang yang ingin saya usulkan kepada Tuan Muda."
"Orang yang ingin mengabdi pada Keluarga Hosokawa?"
"Ya. Saya tahu, macam-macam orang datang pada Anda mengajukan permohonan seperti itu, tapi orang ini lain dari yang lain."
"Apa dia hanya tertarik pada soal keamanan dan penghasilan?"
"Sama sekali tidak. Dia ada hubungan keluarga dengan istri saya. Dia tinggal dengan kami sejak datang dari Iwakuni beberapa tahun lalu, karena itu saya kenal dia benar."
"Iwakuni? Keluarga Kikkawa menguasai Provinsi Suo sebelum Pertempuran Sekigahara. Apa dia salah seorang ronin mereka?"
"Bukan. Dia anak seorang samurai desa. Namanya Sasaki Kojiro. Dia masih muda, tapi terlatih dalam Gaya Tomita dari Kanemaki Jisai, dan dia mempelajari teknik menarik pedang dengan kecepatan kilat dari Yang Dipertuan Katayama Hisayasu dari Hoki. Dia bahkan sudah menciptakan gayanya sendiri, yang disebutnya Ganryu." Kakubei berbicara terus, menguraikan secara terperinci berbagai perbuatan luar biasa dan prestasi Kojiro.
Sado tidak benar-benar mendengarkan. Pikirannya kembali pada kunjungannya yang terakhir ke Tokuganji. Sekalipun hanya sedikit yang ia saksikan dan ia dengar, ia merasa yakin bahwa Musashi adalah orang yang tepat untuk Keluarga Hosokawa, namun ia bermaksud menjumpainya dulu secara langsung sebelum mengajukannya kepada tuannya. Sementara itu satu setengah tahun sudah berlalu, dan ia belum juga memperoleh kesempatan untuk mengunjungi Hotengahara.
Ketika Kakubei selesai bicara, Sado berkata, "Akan saya lakukan apa yang saya bisa," dan meneruskan perjalanan ke tempat latihan panahan.
Tadatoshi sedang sibuk bertanding dengan beberapa pengikut yang seumur dengannya, tapi tak seorang pun dari mereka merupakan tandingan berat baginya. Tembakan-tembakannya tepat mengenai sasaran, dan dilaksanakan dengan gaya yang mulus. Sejumlah abdi menyinggungnya karena sedemikian sungguh-sungguh ia menggeluti panahan. Menurut mereka, pada abad senapan dan lembing sekarang, pedang maupun busur tidak lagi banyak manfaatnya dalam pertarungan yang sebenar-benarnya. Atas pendapat ini, ia hanya menjawab samar-samar, "Anak panah saya ini tertuju pada jiwa."
Abdi-abdi Hosokawa sangat menghormati Tadatoshi, dan mau kiranya bekerja di bawah pemuda ini dengan penuh semangat, sekalipun seandainya ayahnya yang mereka junjung bukanlah orang yang menonjol prestasinya. Pada waktu ini, Sado menyesali janji yang baru saja ia berikan pada Kakubei. Tadatoshi bukan orang yang dapat dengan mudah diusuli calon-calon abdi.
Sambil menghapus keringat dari wajahnya, Tadatoshi berjalan melewati beberapa samurai muda, dengan siapa ia bercakap-cakap dan tertawa. Melihat Sado, ia berseru, "Bagaimana kalau mencoba satu kali, orang tua?"
"Kebiasaan saya, saya hanya bertanding melawan orang-orang dewasa," jawab Sado.
"Jadi, Anda masih mengira kami ini anak-anak kecil, biarpun kami sudah bergelung?"
"Apa Anda sudah lupa Pertempuran Yamazaki? Dan Benteng Nirayama: Saya mendapat pujian karena prestasi saya di medan perang, lho! Disamping itu, yang saya ikuti adalah panahan sejati, bukan..."
"Ha, ha. Maaf saya sudah menyebut hal itu. Tak ada maksud saya supaya Anda memulai soal itu lagi." Yang lain-lain ikut tertawa. Tadatoshi mengeluarkan tangan dari lengan kimononya, dan berubah serius, tanyanya. "Anda datang untuk membicarakan sesuatu?"
Sesudah membicarakan sejumlah soal rutin, akhirnya Sado berkata. "Kakubei mengatakan dia punya samurai yang akan diusulkan pada Anda.
Untuk sesaat mata Tadatoshi memandang jauh. "Saya kira yang dibicarakannya itu Sasaki Kojiro. Sudah beberapa kali nama itu disebutkan."
"Kenapa tidak Anda panggil orang itu dan Anda lihat?"
"Apa dia benar-benar hebat?"
"Apa Anda tak hendak melihat sendiri?"
Tadatoshi mengenakan sarung tangan dan menerima sebatang anak panah dari seorang pembantu. "Akan saya lihat orang Kakubei itu," katanya. "Tapi saya ingin juga melihat ronin yang Anda sebutkan itu, Miyamoto Musashi.
"Ya."
"Oh, jadi Anda masih ingat?"
"Masih. Anda yang rupanya sudah lupa."
"Sama sekali tidak. Tapi karena begini sibuk, tak ada kesempatan saya untuk pergi ke Shimosa."
"Oh, kalau menurut pendapat Anda, Anda sudah menemukan orang yang tepat, Anda mesti meluangkan waktu. Saya heran, Sado, bahwa Anda menunda soal yang begitu penting, sampai ada soal lain yang mengharuskan Anda ke sana. Anda tidak seperti biasanya."
"Maaf. Terlalu banyak orang yang mencari kedudukan. Saya pikir Anda sudah melupakannya. Dan saya kira saya mesti mengemukakannya lagi."
"Memang Anda mesti mengemukakannya lagi. Tak mesti saya menerima usulan orang lain, tapi saya ingin melihat, siapa saja yang menurut Bapak Tua Sado cocok. Mengerti?"
Sado meminta maaf lagi sebelum meninggalkan tempat itu. Ia langsung pulang ke rumahnya sendiri, dan tanpa macam-macam lagi memerintahkan orang memasang pelana kudanya, lalu berangkatlah ia ke Hotengahara.
"Apa ini bukan Hotengahara?"
Sato Genzo, pembantu Sado, menjawab, "Saya kira memang begitu. Ini bukan tempat liar. Di mana-mana ada sawah sekarang. Tempat yang dulu hendak mereka kembangkan itu tentunya lebih dekat pegunungan.
Mereka sudah jauh melewati Tokuganji, dan segera akan sampai jalan raya ke Hitachi. Waktu itu sudah larut sore. Bangau-bangau putih yang berkecipak di tengah sawah menyebabkan air kelihatan seperti tepung. Sepanjang tepi sungai, dan dalam bayangan bukit-bukit kecil, tumbuh berpetak-petak rami dan gandum yang mengombak.
"Lihat ke sana itu, Pak," kata Genzo.
"Ada apa?"
"Rombongan petani."
"Betul juga. Kelihatannya mereka membungkuk satu per satu ke tanah, ya?"
"Kelihatannya seperti upacara agama."
Genzo menyentakkan kendalinya, dan menyeberangi sungai lebih dulu untuk meyakinkan bahwa Sado dapat mengikuti dengan aman.
"Hei, yang ada di sana itu!" seru Genzo.
Petani-petani itu tampak terkejut, kemudian membubarkan diri dari lingkaran dan menghadapi para tamu. Mereka berdiri di depan sebuah pondok kecil, dan Sado melihat bahwa barang yang disembah sebelum itu adalah sebuah tempat suci kecil dari kayu, tak lebih besar dari sangkar burung. Seluruhnya terdapat sekitar lima puluh orang. Rupanya mereka dalam perjalanan pulang kerja, karena semua peralatan sudah mereka cuci.
Seorang pendeta maju ke depan, katanya, "Oh, kalau tak salah, Pak Nagaoka Sado. Sungguh kejutan yang menyenangkan!"
"Dan Anda dari Tokuganji, ya? Saya yakin Anda yang dulu mengantar saya ke desa itu, sesudah serbuan bandit-bandit."
"Betul, apa Bapak datang berkunjung ke kuil?"
"Kali ini tidak. Saya akan langsung kembali. Apa boleh saya bertanya, di mana saya dapat bertemu dengan ronin yang namanya Miyamoto Musashi itu?"
"Dia tak lagi di sini. Dan dia pergi mendadak sekali."
"Pergi mendadak sekali? Kenapa begitu?"
"Suatu hari, bulan lalu, penduduk desa memutuskan untuk berlibur dan merayakan kemajuan yang sudah dicapai di sini. Bapak dapat melihat sendiri, betapa hijaunya sekarang daerah ini. Nah, pagi harinya, Musashi dan anak yang bernama Iori itu lenyap." Pendeta itu menoleh sekeliling, seakan-akan setengah berharap Musashi akan muncul dari langit.
Atas desakan keras dari Sado, pendeta itu bercerita sampai sekecil-kecilnya. Sesudah desa itu memperkuat pertahanannya di bawah pimpinan Musashi, para petani begitu bersyukur ada harapan akan hidup damai, hingga mereka praktis mendewakannya. Bahkan orang-orang yang pernah paling kejam mengejek-ejeknya, datang membantu proyek pembangunan.
Musashi memperlakukan mereka semua dengan adil dan sama rata, pertama-tama dengan meyakinkan mereka bahwa tidak ada gunanya hidup seperti binatang. Kemudian ia mencoba meyakinkan mereka, betapa pentingnya mengerahkan usaha lebih banyak lagi, supaya anak-anak mereka berkesempatan hidup lebih baik. Ia katakan pada mereka, untuk menjadi manusia sejati, mereka harus bekerja demi keturunan mereka.
Dengan empat puluh atau lima puluh orang desa yang setiap hari menyingsingkan lengan baju, di musim gugur mereka berhasil mengendalikan banjir. Datang musim dingin, mereka membajak. Pada musim semi, mereka menimba air dari parit-parit pengairan yang baru, dan menanam benih padi. Awal musim panas, padi tumbuh pesat, sedang di ladang kering, rami dan gandum sudah setinggi satu kaki. Tahun mendatang, panen akan berlipat dua, dan tahun sesudah itu tiga kali lipat.
Orang-orang desa mulai mampir ke pondok Musashi untuk menyatakan hormat dan berterima kasih secara tulus. Kaum perempuan juga datang membawa sayur-sayuran. Pada hari perayaan itu, orang-orang lelaki datang membawa guci-guci besar berisi sake, dan semua ambil bagian dalam tarian suci dengan iringan genderang dan suling.
Ketika penduduk desa berkumpul di sekitarnya, Musashi meyakinkan mereka bahwa yang berjasa bukanlah kekuatannya, tapi kekuatan mereka. "Yang saya lakukan cuma menunjukkan pada kalian, bagaimana menggunakan tenaga yang kalian punyai."
Kemudian ia ajak pendeta ke sini dan ia katakan, sesungguhnya ia prihatin melihat orang-orang desa itu mengandalkan diri pada seorang pengembara seperti dia. "Tanpa saya," katanya, "mereka mesti memiliki keyakinan pada diri sendiri dan menjaga kesetiakawanan." Ia kemudian mengeluarkan patung Kannon yang telah ia pahat sendiri, dan memberikannya kepada pendeta.
Pagi hari sesudah perayaan itu, desa heboh.
"Dia hilang!"
"Tak mungkin!"
"Ya, dia lenyap. Pondok itu kosong."
Karena sangat sedih, tak seorang pun dari para petani pergi ke ladang hari itu. Mendengar itu, pendeta mencela mereka dengan tajam karena sikap mereka yang tak kenal terima kasih. Ia mendesak mereka untuk ingat akan apa yang telah diajarkan kepada mereka, dan secara halus membujuk mereka untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah dimulai.
Kemudian penduduk desa membangun tempat suci kecil dan meletakkan patung Kannon yang mereka hargai itu di dalamnya. Mereka menyatakan hormat kepada Musashi, pagi dan petang, dalam perjalanan pulang-pergi ke sawah.
Sado mengucapkan terima kasih kepada pendeta atas penjelasan itu, tapi menyembunyikan kenyataan bahwa ia sendiri merasa sedih sesedih-sedihnya.
Ketika kudanya membawanya kembali menempuh kabut petang akhir musim semi, terpikir olehnya dengan perasaan tak enak, "Mestinya aku tidak menangguhkan kedatanganku. Aku lalai dalam menjalankan tugas. dan sekarang aku gagal memenuhi permintaan tuanku."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar