• Breaking News

    BACA BERITANYA TERBARU DISINI

    Sabtu, 15 Juli 2017

    Cerita Novel Musashi Bagian 67, Penjaga Setan




    Penjaga Setan

     https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJxmSeZMXNFhv4N9BmsvTZNnzp8mIQcAAQZP9wBwxhoW5p2xfKdiZ5Wf39NUL-8tuVE7vIln9vcV3FUfrQkCsYm0Y3hKMjALCAOfAI1NEc7KdyU7XIHUYxNKh7resZErm_KQ1m97Efb34/s1600/Musashi.jpg



    ANJING-ANJING Mitsumine adalah jenis binatang liar. Kata orang, mereka hasil persilangan antara anjing yang didatangkan oleh kaum imigran Korea lebih dari seribu tahun lalu, dengan anjing liar dari Pegunungan Chichibu. Tingkat hidup anjing-anjing itu hanya selangkah terpisah dari tingkat binatang liar lain, dan mereka mengembara di lereng gunung, dan memangsa binatang liar lain di daerah itu. Tapi karena anjing-anjing itu dianggap utusan dewata dan dikatakan orang sebagai "penjaga" dewata, sering kali para pemuja membawa pulang gambaran mereka itu dalam bentuk cetakan atau pahatan, sebagai jimat keberuntungan.

    Anjing hitam yang membuntuti Musashi bersama lelaki itu ukurannya sebesar anak sapi.

    Ketika Musashi masuk Kannon'in, orang itu menoleh, katanya, "Jalan sini," dan memberi isyarat dengan tangannya yang tidak memegang tali.

    Anjing itu menggeram, menyentakkan tali pengikatnya yang berupa seutas tali tebal, dan mulai mendengus.

    Sambil memukulkan tali itu ke punggung anjing, orang itu berkata, "Sst! Tenang, Kuro!"

    Orang itu sekitar lima puluh tahun umurnya, tubuhnya pejal, tapi gemulai. Seperti anjingnya, ia tidak begitu jinak, tapi ia berpakaian rapi. Disamping memakai kimono yang tampak seperti jubah pendeta atau pakaian resmi samurai, ia mengenakan juga obi datar dan hakama dari rami. Sandal jeraminya, yang biasa dipakai orang pada pesta-pesta, masih baru talinya.

    "Baiken?" Perempuan itu mundur menghindari anjing.

    "Balik!" perintah Baiken sambil mengetuk kepala anjing itu dengan keras. "Aku senang kau dapat mengenali dia, Oko."

    "Jadi, memang dia?"

    "Tidak sangsi lagi."

    Untuk sesaat mereka berdiri diam, sambil memandang lewat celah awan, ke arah bintang-bintang. Mereka mendengar bunyi musik tarian suci itu, tapi tidak menyimaknya.

    "Apa yang akan kita lakukan?"

    "Akan kupikirkan."

    "Kita tak boleh melewatkan kesempatan kali ini lolos sia-sia." Oko memandang Baiken penuh harapan. "Apa Toji ada di rumah?" tanyanya. "Ya, mabuk oleh sake di pesta itu, dan jatuh tertidur."

    "Bangunkan dia."

    "Kau sendiri bagaimana?"

    "Aku ada pekerjaan. Sesudah keliling, aku datang lagi ke tempatmu."

    Di luar gerbang utama tempat suci itu, Oko mulai menderap. Sebagian besar dari kedua puluh atau tiga puluh rumah itu adalah toko cendera mata atau warung teh. Ada juga beberapa rumah makan kecil. Dari dalam rumah-rumah makan terdengar suara gembira orang-orang yang bersuka ria. Di ujung atap gubuk yang dimasuki Oko, tergantung papan bertuliskan Rumah Istirahat. Di salah satu bangku, di kamar depan yang berlantai tanah, duduk seorang gadis pelayan yang sedang tidur-tidur ayam.

    "Masih tidur?" tanya Oko.

    Gadis yang merasa akan mendapatkan makian itu menggelengkan kepala kuat-kuat.

    "Maksudku bukan kau, tapi suamiku."

    "Oh, ya, masih tidur."

    Sambil mendecap tak senang, Oko menggerutu, "Pesta masih berjalan, dia tidur. Ini satu-satunya warung yang tidak penuh pembeli."

    Di dekat pintu, seorang lelaki dan seorang perempuan tua sedang mengukus nasi dan buncis dengan tungku tanah. Nyala api menjadi satusatunya nada gembira di dalam ruangan yang murung itu.

    Oko mendekati lelaki yang sedang tidur di bangku dekat dinding, menepuk bahunya, dan katanya, "Bangun! Buka matamu buat selingan."

    "Hah?" gumam orang itu sambil menegakkan badan sedikit.

    "Oh, oh!" seru Oko sambil mundur. Kemudian ia tertawa dan katanya, "Maaf, saya kira suami saya."

    Sepotong tikar meluncur jatuh ke lantai. Orang muda bermuka bundar dan bermata besar mengandung tanda tanya itu memungutnya kembali, menutupkannya ke wajahnya, dan membaringkan badan kembali. Kepalanya di atas bantal kayu, dan sandalnya berlepotan lumpur. Di atas meja di dekatnya terletak baki dan mangkuk nasi yang kosong. Di dekat dinding terdapat bungkusan perjalanan, topi anyaman, dan tongkat.

    Sambil kembali mendekati gadis itu, Oko berkata, "Apa dia pembeli?"

    "Ya. Katanya, dia mau masuk kuil bagian dalam pagi-pagi sekali, dan minta tidur di sini."

    "Di mana Toji?"

    "Aku di sini, goblok!" Terdengar suara Toji dari belakang shoji yang koyak. Dengan badan disandarkan di kamar sebelah, dan satu kaki menjulur ke dalam warung, katanya muram, "Kenapa pula mencari-cari orang yang mau tidur sebentar? Ke mana saja kau? Mestinya kau mengurusi warung."

    Tahun-tahun itu lebih banyak mendatangkan kedukaan pada Oko, daripada kepada Toji. Tidak hanya pesona umur mudanya sudah tidak lagi kelihatan, tapi menyelenggarakan Warung Teh Oinu itu menuntut kerja keras lelaki, agar ia dapat menanggung hidup suaminya yang pemalas. Penghasilan Toji dari berburu di musim dingin kecil sekali, dan di luar itu ia hanya sedikit bekerja. Sesudah Musashi membakar persembunyiannya yang berkamar rahasia di Celah Wada itu, semua anak buahnya sudah meninggalkannya.

    Mata Toji yang merah buram sedikit demi sedikit melihat tong air. Ia memaksakan diri berdiri, mendekati tong, dan meneguk penuh seciduk air.

    Oko bersandar pada sebuah bangku dan menolehkan kepala kepadanya. "Masa bodoh pesta itu! Sudah waktunya kau belajar berhenti minum. Beruntung kau tidak ditembus pedang, selagi tak sadar tadi."

    "Hah?"

    "Kukasih tahu sekarang, ada baiknya kau lebih hati-hati."

    "Aku tak mengerti, apa yang kaubicarakan ini."

    "Kau tidak tahu Musashi ada di pesta itu?"

    "Musashi? Miyamoto... Musashi?" Toji jadi sepenuhnya terjaga. Katanya, "Kau sungguh-sungguh? Kalau begitu, lebih baik kau sembunyi di belakang."

    "Jadi, cuma itu yang bisa kaupikirkan... sembunyi?" "Aku tak ingin kejadian di Celah Wada itu terulang lagi."

    "Pengecut. Apa kau tak ingin membalas? Bukan hanya untuk itu, tapi juga untuk membalas perbuatannya terhadap Perguruan Yoshioka? Aku sendiri, aku cuma seorang perempuan."

    "Ya, tapi jangan lupa, waktu itu kita punya banyak orang untuk membantu. Sekarang cuma kita berdua." Toji tidak ikut berada di Ichijoji, tapi ia mendengar bagaimana Musashi berkelahi di sana. Ia tidak berani membayangkan, siapa yang akhirnya mati, kalau mereka berdua berjumpa lagi.

    Sambil mendekat ke samping suaminya, Oko berkata, "Nah, di situlah kau keliru. Ada orang lain lagi di sini, kan? Dia juga membenci Musashi, seperti kau!"

    Toji tahu, yang dimaksud Oko adalah Baiken yang mulai mereka kenal, ketika akhirnya pengembaraan mereka membawa mereka sampai ke Mitsumine.

    Karena tidak ada pertempuran lagi, menjadi bromocorah tidak lagi menguntungkan, karena itu Baiken membuka bengkel besi di Iga, tapi dari sana ia terusir, ketika Yang Dipertuan Todo mengetatkan kekuasaannya atas provinsi itu. Karena bermaksud mencari peruntungan di Edo, ia membubarkan gerombolannya. Dengan diantar seorang teman, ia kemudian menjadi penjaga di gedung harta kuil.

    Sampai sekarang pun, pegunungan yang terletak di antara Provinsi Musashi dan Kai itu masih penuh bandit. Dengan mempekerjakan Baiken sebagai pengawal gedung harta, yang berisi harta keagamaan dan uang tunai hasil sumbangan, berarti para pimpinan kuil memerangi api dengan api. Baiken memiliki kelebihan, karena ia mengenal dengan baik cara-cara kerja para bandit, dan ia sendiri ahli dalam menggunakan senjata rantaibola-sabit. Sebagai penemu Gaya Yaegaki, dapat kiranya ia menarik perhatian seorang daimyo, sekiranya ia bukan saudara Tsujikaze Temma. Bertahun-tahun silam, kedua bersaudara itu telah menteror daerah yang terletak di antara Gunung Ibuki dan daerah Yasugawa. Perubahan zaman tak ada artinya sama sekali bagi Baiken. Menurut jalan pikirannya, kematian Temma di tangan Takezo adalah asal-usul segala kesulitan yang kemudian menimpanya.

    Oko sudah lama menyampaikan pada Baiken tentang dendam mereka terhadap Musashi. Ia membesar-besarkan kebenciannya agar dapat memantapkan persahabatannya dengan orang itu. Baiken menyambutnya dengan memaki, katanya, "Suatu hari nanti..."

    Oko baru saja selesai menyampaikan apa yang dilihatnya kepada Toji. Katanya, ia melihat Musashi di warung teh, kemudian Musashi menghilang di tengah orang banyak. Mengikuti nalurinya, ia pergi ke Kannon'in, dan tiba di sana tepat ketika Musashi dan Iori baru berangkat ke tempat suci bagian luar. Informasi ini segera ia sampaikan pada Baiken.

    "Oh, jadi begitu," kata Toji. Ia kini mulai mendapat keberanian, karena tahu bahwa sekutu yang dapat diandalkan sudah tampil. la tahu, dengan senjata kesayangannya itu, Baiken telah mengalahkan semua pemain pedang dalam pertandingan di tempat suci baru-baru ini. Kalau Baiken menyerang Musashi, kemungkinan besar ia menang. "Dan apa katanya, waktu kausampaikan kepadanya?"

    "Dia akan datang, begitu selesai keliling."

    "Musashi bukan orang bodoh. Kalau kita tidak hati-hati..." Toji bergidik, dan dari mulutnya terdengar suara kasar, tak tertangkap maknanya. Oko mengikuti pandangan matanya ke arah orang yang tidur di bangku. "Siapa itu?" tanya Toji.

    "Cuma pembeli," jawab Oko.

    "Bangunkan dia, dan suruh pergi dari sini!"

    Oko meneruskan perintah itu kepada gadis pelayan. Gadis pelayan pergi ke sudut sana dan mengguncangkan tubuh orang itu, sampai orang itu duduk.

    "Keluar!" kata gadis itu langsung. "Kami mau tutup sekarang."

    Orang itu berdiri, meregangkan badan, dan katanya, "Uh, enak sekali tidur di sini." Sambil tersenyum dan mengedip-ngedipkan mata, ia bergerak capat, namun halus, membungkuskan anyaman tikar ke bahunya, mengenakan caping, dan membenahi letak bungkusannya. Ia kempit tongkatnya, katanya, "Terima kasih banyak." Ia membungkuk dan berjalan cepat ke luar pintu.

    Dari pakaian dan tekanan bicaranya, Oko menilai orang itu bukan petani setempat, tapi kelihatannya tidak berbahaya. "Lucu kelihatannya," katanya. "Aku ingin tahu, apa dia membayar belanjaannya."

    Oko dan Toji sedang menggulung kerai dan memberesi warung, ketika Baiken datang bersama Kuro.

    "Senang saya melihat Anda," kata Toji. "Mari kita masuk kamar belakang."

    Tanpa berkata-kata, Baiken melepaskan sandal dan mengikuti mereka. Sementara itu, anjingnya mengendus-endus mencari remah makanan. Kamar belakang itu hanya berupa ruang tambahan yang sudah rusak. Dindingnya hanya dilapisi adukan kasar, tapi berada di luar jarak pendengaran orang dalam warung.

    Ketika lampu sudah dinyalakan, Baiken berkata, "Tadi malam, di depan panggung tarian, saya dengar Musashi mengatakan pada anak itu, mereka akan pergi ke tempat suci bagian dalam besok pagi. Kemudian saya pergi ke Kannon'in dan mengeceknya."

    Oko dan Toji menelan ludah dan memandang ke luar jendela. Puncak gunung tempat bertenggernya kuil bagian dalam itu membayang kabur, dengan latar belakang langit berbintang.

    Karena tahu siapa yang akan dihadapinya, Baiken punya rencana menyerang dan mengerahkan bala bantuan. Dua pendeta dan para pengawal gedung harta sudah setuju menolong, dan sudah langsung menyiapkan lembingnya. Ada juga satu orang dari Perguruan Yoshioka yang memimpin dojo kecil di tempat suci itu. Baiken memperhitungkan ia dapat mengerahkan barangkali sepuluh bromocorah, orang-orang yang telah dikenalnya di Iga, dan sekarang bekerja di sekitar tempat itu. Toji akan membawa senapannya, sedangkan Baiken akan menggunakan senjata rantai-bola-sabit.

    "Jadi, Anda sudah mempersiapkan semua itu?" tanya Toji tak percaya.

    Baiken menyeringai, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi.



    Bulan yang cuma sepotong kecil, tinggi di atas lembah, tersembunyi di balik kabut tebal. Puncak agung itu masih tertidur. Hanya gemercik dan deru air sungai yang menegaskan ketenangan suasana waktu itu. Segerombolan sosok hitam berdesak-desak di atas jembatan Kosaruzawa.

    "Toji?" bisik Baiken serak.

    "Di sini."

    "Jaga supaya sumbu tetap kering."

    Yang paling mencolok di antara awak yang beraneka ragam itu adalah kedua pendeta berlembing. Mereka menyingsingkan jubah, siap beraksi. Yang lain-lain mengenakan berbagai macam pakaian, tapi semuanya bersepatu, agar dapat bergerak cekatan.

    "Ini sudah semua?"

    "Ya."

    "Berapa semuanya?"

    Mereka menghitung kepala: tiga belas.

    "Bagus," kata Baiken. Dan ia mengulangi perintahnya pada mereka. Mereka mendengarkan tanpa kata-kata, sambil mengangguk sekali-sekali. Setelah mendapat isyarat, mereka bergegas masuk kabut untuk mengambil kedudukan di sepanjang jalan. Di ujung jembatan, mereka melewati tonggak jarak yang berbunyi: Enam Ribu Meter ke Kuil Bagian Dalam.

    Ketika jembatan kosong kembali, serombongan monyet muncul dari persembunyian, melompat dari dahan-dahan, memanjat tumbuhan jalar, dan berkumpul di jalanan. Mereka berlari masuk jembatan, merangkak di bawahnya, dan melemparkan bebatuan ke dalam jurang. Kabut bermain dengan mereka, seolah-olah ikut memeriahkan acara bersenang-senang itu. Sekiranya seorang makhluk Taois yang Baka muncul dan memberikan isyarat, barangkali mereka akan berubah menjadi awan-awan yang terbang dengannya ke surga.

    Salak seekor anjing bergema menembus pegunungan. Monyet-monyet menghilang seperti daun pohon damar diembus angin musim gugur.

    Kuro muncul di jalan, menyeret-nyeret Oko. Akhirnya anjing itu berhasil membebaskan dirinya. Meskipun Oko dapat menangkap kembali tall itu, ia tetap tak dapat memaksa anjing itu kembali. Oko tahu, Toji tak ingin anjing itu membuat bunyi di sekitar tempat itu, karena itu Oko berpikir mungkin ia dapat menyingkirkan Kuro dengan membiarkannya naik ke kuil.

    Ketika kabut yang terns bergerak itu mulai menetap di dalam lembah, seperti salju, ketiga puncak Mitsumine dan gunung-gunung yang lebih kecil di antara Musashino dan Kai bangkit dengan latar belakang langit beserta segala kebesarannya. Jalan yang berkelok-kelok tampak putih, dan burungburung mulai menggelepar-geleparkan sayap mereka, mencicit-cicit menyambut fajar.

    Iori berkata, setengah kepada diri sendiri, "Kenapa begitu?"

    "Apanya yang kenapa?" tanya Musashi.

    "Hari mulai terang, tapi saya tak dapat melihat matahari."

    "Ya, karena kau memandang ke barat."

    "Oh," Iori melontarkan pandangan sekilas ke bulan yang sedang terbenam di belakang puncak-puncak gunung yang jauh itu. "Iori, rupanya banyak temanmu di pegunungan ini."

    "Di mana?"

    "Di sana itu." Musashi tertawa sambil menunjuk kera-kera yang bergerombol di sekitar induknya.

    "Saya mau jadi salah satu dari mereka."

    "Kenapa begitu?"

    "Paling tidak, mereka punya induk."

    Dengan diam mereka mendaki bagian jalan yang terjal, dan masuk ke petak tanah yang agak datar. Musashi melihat rumput di situ habis diinjakinjak sejumlah besar kaki.

    Selesai mengitari gunung sebentar lagi, sampailah mereka di sebuah dataran; di situ mereka menghadap ke timur.

    "Coba lihat," seru Iori sambil menoleh pada Musashi. "Matahari naik."

    "Ya, betul."

    Gunung Kai dan Kozuke menjulang seperti pulau-pulau di tengah lautan awan di bawahnya. Iori berhenti, dan berdiri tak bergerak-gerak, kakinya berimpitan, tangannya di samping badan, dan bibirnya terkatup erat. Dengan sangat terpesona ia menatap benda keemasan yang besar itu, dan membayangkan dirinya sebagai putra matahari. Sekonyong-konyong ia berseru dengan suara sangat keras, "Itu Amaterasu Omikami! Bukan begitu?" Ia memandang Musashi, meminta persetujuan.

    "Betul."

    Anak itu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi di atas kepalanya, dan menyaring cahaya yang berkilauan itu dengan jemarinya. "Darah saya!" serunya. "Warnanya sama dengan darah matahari." Sambil menepukkan tangan, seperti nanti dilakukannya di kuil untuk menyeru dewata, ia menundukkan kepala sebagai tanda sembah tanpa kata, dan pikirnyal "Monyet-monyet itu punya induk. Aku tak punya. Tapi aku punya dewi, sedangkan mereka tak punya apa-apa."

    Ilham itu membuatnya penuh dengan kegembiraan. Seraya berurai air mata, ia serasa mendengar dari sebelah awan-awan itu musik tari-tarian di kuil. Bunyi genderang berdentam-dentam di telinganya, sedangkan lagu tambahan yang dimainkan seruling mengapung mengiringi melodi Tarian Iwato. Kaki Iori menangkap iramanya, dan kedua tangannya berayun anggun. Dari bibirnya keluar kata-kata yang baru ia ingat malam sebelumnya.



    "Busur katalpa...

    Setiap kali musim semi datang,

    Ingin aku melihat tarian Beribu dewa,

    Oh, betapa ingin aku melihatnya menari... "



    Tiba-tiba disadarinya bahwa Musashi sudah jauh berjalan di depan, maka ia tinggalkan tarian itu dan berlari mengejarnya.

    Cahaya pagi belum lagi menembus hutan yang kini mereka masuki. Di sekitar kuil bagian dalam ini, pohon-pohon kriptomeria berbaris membentuk lingkaran besar, dan semuanya hampir sama tingginya. Bunga-bunga putih kecil tumbuh di tengah bercak-bercak lumut yang bergayut pada pepohonan itu. Karena mengira pepohonan itu sudah kuno-lima ratus tahun umurnya, atau barangkali bahkan seribu tahun—Iori ingin membungkuk kepadanya. Di sana-sini tampak olehnya pohon mapel berwarna merah cemerlang. Rumpun bambu yang rendah bergaris-garis tumbuh ke tengah jalan, hingga menyempitkan jalan itu menjadi jalan setapak.

    Sekonyong-konyong bumi yang mereka injak seolah berguncang. Sekejap sesudah letusan itu, terdengar jeritan yang melemahkan semangat, diiringi hujan gema yang tajam. Iori menutup telinga dengan tangannya dan menyuruk ke dalam rumpun bambu.

    "Iori! Tetap tiarap!" perintah Musashi dari balik sebatang pohon besar. "Jangan bergerak, biarpun mereka menginjakmu!"

    Cahaya yang hanya remang-remang itu seolah penuh dengan lembing dan pedang. Mendengar teriakan itu, para penyerang semula mengira peluru telah menemukan sasaran, tapi tak seorang pun kelihatan. Karena tidak tahu pasti apa yang terjadi, mereka terpaku.

    Iori berada di pusat lingkaran mata dan pedang terhunus. Di tengah kesunyian mencekam yang berlangsung sesudah itu, ia mulai tak bisa mengendalikan rasa ingin tahunya. Pelan-pelan ia mengangkat kepala ke atas rumpun bambu. Beberapa meter dari tempatnya, tampak sebilah pedang terjulur dari belakang pohon, berkilau oleh sinar matahari.

    Lepas dari segala kendali, Iori berteriak sekuat paru-parunya. "Sensei! Ada orang sembunyi di situ!" Sambil berteriak, ia bangkit berdiri dan berlarl mencari selamat.

    Pedang pun melompat dari balik bayangan, dan bergantung seperti iblis di atas kepalanya. Tapi cuma sesaat. Belati Musashi langsung terbang ke arah kepala pemain pedang itu, dan bersarang di pelipisnya.

    "Ya-a-h!"

    Salah seorang pendeta menyerang Musashi dengan lembingnya. Musashi menangkap lembing itu dan mencengkeramnya erat-erat dengan satu tangan.

    Sekali lagi terdengar jeritan maut, seolah-olah mulut orang itu tersumbat batu karang. Terpikir oleh Musashi, apakah mungkin para penyerangnya saling serang, dan ia menajamkan penglihatannya. Pendeta lain membidikkan lembingnya, lalu menyerbu ke arahnya. Musashi menangkap juga lembingnya dan menguncinya dengan tangan kanan.

    "Serang dia sekarang!" jerit salah seorang pendeta, karena tahu bahwa kedua tangan Musashi terpakai.

    Dengan suara nyaring, teriak Musashi, "Siapa kalian' Sebutkan diri kalian, kalau tidak, aku anggap kalian semua musuh. Sungguh memalukan, menumpahkan darah di tanah suci ini, tapi bagaimana lagi kalau tak ada pilihan lain?"

    Musashi memutar kedua lembing di tangannya, lalu melepaskannya hingga kedua pendeta terlontar ke arah yang berbeda, kemudian ia melecutkan pedangnya, menetak seorang dari mereka sebelum orang itu sempat berhenti terhuyung. Dan ketika Musashi memutar tubuh, ia dapati dirinya berhadapan dengan tiga bilah pedang lain, berbaris di seberang jalan sempit itu. Tanpa beristirahat terlebih dahulu, ia hampiri mereka dengan sikap mengancam, selangkah demi selangkah. Dua orang lagi muncul dan mengambil tempat di samping ketiga orang pertama.

    Musashi maju ke depan, tapi semua lawannya mundur. Waktu itu terlihat sekilas olehnya pendeta pemain lembing lain memperoleh kembali senjatanya, dan sedang mengejar Iori. "Berhenti kau, pembunuh!" pekiknya. Tapi begitu ia membalik untuk menyelamatkan Ion, kelima orang itu melolong menyerang. Musashi menerjang, menyambut mereka. Akibatnya seperti tabrakan antara dua gelombang yang sedang mengamuk, tapi semprotan yang keluar di sini semprotan darah, bukan semprotan air asin. Musashi berpusing dari satu lawan ke lawan lain, dengan kecepatan angin topan. Terdengar dua jeritan yang membekukan darah, kemudian yang ketiga. Mereka jatuh seperti pohon tumbang, masing-masing terpotong di tengah badan. DI tangan kanan Musashi tergenggam pedang panjang, di tangan kirinya pedang pendek.

    Sambil memekik ngeri, kedua orang yang terakhir membalikkan badan dan lari, dikejar oleh Musashi.

    "Ke mana kalian lari?" pekik Musashi sambil membelah kepala salah seorang dari mereka dengan pedang pendek. Percikan darah hitam mengenai mata Musashi. Dengan gerak refleks ia angkat tangan kirinya ke depan, dan pada saat itu juga ia mendengar bunyi logam di belakangnya.

    Ia ayunkan pedang panjang untuk menangkis benda itu, tetapi efeknya ternyata berlainan sekali dengan yang diinginkannya. Ia tercengkeram rasa panik, melihat bola dan rantai membelit pedangnya di dekat pelindung tangan. Ia telah lengah.

    "Musashi!" teriak Baiken. Ia tarik kuat-kuat rantai itu. "Kau sudah lupa padaku?"

    Sesaat Musashi menatapnya, lalu serunya, "Shishido Baiken dari Gunung Suzuka?"

    "Betul. Saudaraku Temma yang memanggilmu dari lembah neraka. Kujamin, kau akan lekas sampai ke sana!"

    Musashi tak dapat membebaskan pedangnya. Sedikit demi sedikit, Baiken meraih rantai dan bergerak mendekat, untuk menggunakan sabit yang setajam pisau cukur itu. Musashi mencari peluang untuk memegang pedang pendeknya, dan sadarlah ia seketika, bahwa kalau tadi ia berkelahi hanya dengan pedang pendek, pasti ia sudah sama sekali tanpa pertahanan sekarang.

    Leher Baiken membengkak sampai hampir sebesar kepalanya. Sambil berteriak genting, ia renggutkan rantai itu sekuat-kuatnya.

    Musashi telah berbuat kesalahan. Ia tahu itu. Rantai-bola-sabit itu adalah senjata yang luar biasa, namun Musashi bukan tak kenal dengannya. Beberapa tahun sebelumnya, ia pernah dibuat kagum, ketika pertama kali melihat senjata neraka itu di tangan istri Baiken. Tapi melihat senjata itu lain sekali dengan menghadapinya.

    Baiken bermegah-megah kini. Ia menyeringai lebar dan jahat. Musashi tahu, tinggal satu kesempatan terbuka baginya: ia harus membebaskan pedang panjangnya. Dan ia mencari saat yang tepat.

    Sambil melolong garang, Baiken melompat dan menyapukan sabitnya ke arah kepala Musashi. Serambut lagi, pasti sabit itu mengenai sasaran. Musashi berhasil melepaskan pedangnya, diiringi geraman keras. Baru saja sabit selesai ditarik, bola sudah datang mendesing di udara. Kemudian ganti sabit, bola, sabit....

    Menghindari sabit berarti menempatkan diri langsung di arah gerak bola. Musashi tak dapat mendekat untuk melakukan pukulan. Dengan kalut ia bertanya pada diri sendiri, berapa lama ia dapat bertahan dengan cara demikian. "Jadi, begini ini rupanya?" tanyanya. Pertanyaan itu adalah pertanyaan sadar, tapi karena ketegangan yang makin meningkat, tubuhnya jadi sukar dikendalikan, dan reaksinya jadi bersifat psikologis semata. Tidak hanya otot-ototnya, melainkan juga kulitnya kini hanya berkelahi secara naluriah. la begitu ketat memusatkan perhatian, hingga aliran keringat berminyak itu terhenti. Seluruh bulu tubuhnya tegak.

    Terlambat sudah untuk lari ke balik pohon. Kalau sekarang ia lari ke sana, barangkali ia akan bertemu dengan musuh lain.

    Terdengar olehnya suara teriakan yang jelas dan sayu, dan ia pun berpikir, "Hah? Iori?" la ingin melihat, walaupun dalam hatinya ia sudah merelakan anak itu.

    "Mati kau! Bajingan!" Teriakan itu datang dari belakang Musashi. Kemudian, "Musashi, kenapa begitu lama? Saya sedang membereskan kutu di belakang ini."

    Musashi tidak mengenali suara itu, tapi kini ia merasa dapat memusatkan perhatian pada Baiken.

    Bagi Baiken, faktor terpenting adalah jarak dengan lawan. Keunggulannya terletak dalam memanfaatkan panjangnya rantai. Kalau Musashi dapat bergerak satu kaki saja ke luar jangkauan rantai, atau menghampiri satu kaki saja lebih dekat, Baiken akan mengalami kesulitan. Ia harus berusaha sebaik-baiknya agar Musashi tidak melakukan kedua hat itu.

    Musashi kagum akan teknik rahasia orang itu, tapi sambil kagum, tibatiba terpikir olehnya bahwa itulah prinsip dua pedang. Rantai menjadi panjang, bola berfungsi sebagai pedang kanan, sabit pedang kiri.

    "Ya! Tentu!" serunya penuh kemenangan. "Itulah dia Gaya Yaegaki!" Dan dengan keyakinan akan menang, ia melompat mundur, membuat jarak dua meter dengan musuhnya. Ia pindahkan pedangnya ke tangan kanan, lalu ia lontarkan lurus ke depan, seperti anak panah.

    Baiken berkelit dan pedang pun melesat, menghunjam ke akar sebatang pohon, tak jauh dari situ. Tapi ketika la berkelit, rantai membelit tubuhnya.

    Belum lagi ia sempat berteriak, Musashi sudah mengempaskan seluruh berat tubuhnya ke atasnya. Baiken mengulurkan tangan sampai sejauh gagang pedangnya, tapi Musashi mematahkan usahanya dengan tetakan tajam ke atas pergelangannya. Sebagai kelanjutan gerakan tersebut, ia tarik senjata itu hingga membelah tubuh Baiken, seperti kilat membelah pohon. Sambil menurunkan pedang, ia berkelit sedikit.

    "Sayang," pikir Musashi. Menurut cerita orang kemudian, ia bahkan mengeluh iba, ketika penemu Gaya Yaegaki itu mengembuskan napas terakhir.

    "Irisan karatake," terdengar suara kagum. "Langsung menyusur tubuh. Tak beda dengan bambu dibelah. Ini pertama kali saya lihat."

    Musashi menoleh, katanya, "Oh, kalau tak salah... Gonnosuke dari Kiso. Apa kerja Anda di sini?"

    "Lama tak jumpa, ya? Tentunya Dewa Mitsumine yang sudah mengatur, dan barangkali dengan bantuan ibu saya, yang sudah banyak mengajar saya sebelum meninggal."

    Mereka mulai mengobrol, tapi tiba-tiba Musashi berhenti bicara dan berseru, "Iori!"

    "Dia baik-baik saja. Saya selamatkan dia dari si pendeta babi itu, kemudian saya suruh naik pohon."

    Iori, yang memperhatikan mereka dari cabang tinggi itu, hendak mulai berbicara, tapi tiba-tiba ia memayungi matanya dan memandang ke arah dataran kecil di ujung hutan. Kuro, yang terikat pada sebatang pohon, telah berhasil menggigit lengan kimono Oko. Oko mati-matian menyentakkannya. Dalam sekejap mata lengan kimono itu sobek, dan Oko lari.

    Satu-satunya orang yang selamat, yaitu pendeta kedua itu, berjalan terpincang-pincang bertongkatkan lembing. Darah mengalir dari luka di kepalanya. Anjing yang barangkali sudah menggila oleh bau darah itu mulai ribut luar biasa. Sejenak suaranya terpantul ke sana kemari, tapi kemudian tali itu putus, dan anjing itu pun mengejar Oko. Sampai di dekat pendeta, si pendeta mengangkat lembing dan membidik kepala anjing itu. Kena lehernya, dan binatang itu lari masuk hutan.

    "Perempuan itu lari," teriak Iori.

    "Tak apa-apa. Kau boleh turun sekarang."

    "Ada pendeta yang luka di sana. Apa tidak ditangkap?"

    "Lupakan. Tak ada lagi artinya."

    "Perempuan itu barangkali orang dari Warung Teh Oinu itu," kata Gonnosuke. Ia menjelaskan alasan kedatangannya, juga peristiwa kebetulan yang memungkinkan ia datang membantu Musashi.

    Dengan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya, Musashi berkata, "Anda membunuh orang yang menembakkan senapan itu?"

    "Tidak," kata Gonnosuke, tersenyum. "Bukan saya, tapi tongkat saya. Saya tahu biasanya Anda dapat melayani orang-orang macam itu, tapi karena mereka mulai menggunakan senapan, terpaksa saya bertindak. Jadi, saya datang kemari mendahului mereka dan menyelinap ke belakang orang itu, ketika hari masih gelap."

    Mereka memeriksa mayat-mayat itu. Tujuh orang terbunuh dengan tongkat, hanya lima yang dengan pedang. Musashi berkata, "Yang saya lakukan tadi tak lain dari mempertahankan diri. Daerah ini termasuk tempat suci. Saya rasa, saya mesti menjelaskan segala sesuatunya kepada pejabat pemerintah yang bertugas. Kemudian dia dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan membereskan peristiwa ini."

    Dalam perjalanan turun gunung, mereka berpapasan dengan kesatuan pejabat bersenjata di jembatan Kosaruzawa. Musashi menyampaikan laporannya. Kapten yang bertugas itu mendengarkan, agaknya dengan perasaan heran, namun ia perintahkan juga mengikat Musashi.

    Musashi jadi terkejut, dan ia bertanya kenapa ia ditindak, padahal ia bermaksud melaporkan hal itu pada mereka.

    "Jalan!" perintah kapten itu.

    Musashi marah, karena diperlakukan sebagai penjahat biasa, tapi masih ada hal lain yang mengejutkan. Di bawah sana ternyata ada lebih banyak lagi pejabat. Ketika mereka sampai di kota, orang yang mengawalnya tak kurang jumlahnya dari seratus orang.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Popular