• Breaking News

    BACA BERITANYA TERBARU DISINI

    Sabtu, 15 Juli 2017

    Cerita Novel Musashi Bagian 80, Kapal Perang



    Kapal Perang

     https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJxmSeZMXNFhv4N9BmsvTZNnzp8mIQcAAQZP9wBwxhoW5p2xfKdiZ5Wf39NUL-8tuVE7vIln9vcV3FUfrQkCsYm0Y3hKMjALCAOfAI1NEc7KdyU7XIHUYxNKh7resZErm_KQ1m97Efb34/s1600/Musashi.jpg







    SEGUMPAL awan merah yang tampak seperti pita besar menggantung rendah di atas kaki langit. Di dekat dasar laut yang seperti kaca tak berombak itu ada seekor ikan gurita.

    Sekitar tengah hari, sebuah perahu kecil menambatkan diri di muara Sungai Shikama, jauh dari pandangan orang. Kini, ketika senja melarut, asap tipis naik dari anglo tanah liar di atas geladaknya. Seorang perempuan tua mematah-matahkan kayu dan mengumpankannya ke api.

    "Kau kedinginan?" tanyanya.

    "Tidak," jawab gadis yang terbaring di dasar perahu, di balik sejenis tikar merah. Ia menggeleng lemah, kemudian mengangkat kepalanya dan memandang perempuan itu. "Jangan repot-repot buat saya, Nek. Nenek sendiri mesti hati-hati. Suara Nenek kedengaran parau."

    Osugi meletakkan kuali nasi di atas anglo, untuk membuat bubur. "Tak apa," katanya. "Tapi kau sakit. Kau mesti makan baik-baik, supaya merasa sehat waktu kapal datang."

    Otsu menahan air matanya dan memandang ke tengah laut. Di sana ada beberapa perahu yang sedang menangkap gurita, dan beberapa kapal muatan. Kapal dari Sakai tidak kelihatan.

    "Sudah sore sekarang," kata Osugi. "Orang bilang, kapal datang sebelum petang." Dalam suaranya terasa keluhan.

    Berita keberangkatan kapal Musashi itu tersebar cepat. Ketika berita itu terdengar oleh Jotaro di Himeji, ia mengirim pembawa surat untuk me­nyampaikannya kepada Osugi. Pada gilirannya, Osugi bergegas pergi ke Shippoji, di mana Otsu terbaring sakit akibat pukulan-pukulan perempuan tua itu.

    Sejak malam itu, begitu seringnya Osugi memohon maaf sambil menangis, hingga Otsu yang mendengarnya merasa terbeban. Otsu tidak menganggap Osugi sebagai penyebab sakitnya. Menurutnya, penyakitnya ini penyakit lama yang kambuh lagi, yang dulu menyebabkan ia terkurung beberapa bulan lamanya di rumah Yang Dipertuan Karasumaru di Kyoto. Pagi hari dan malam hari ia banyak batuk, disertai demam sedikit. Berat badannya turun, membuat wajahnya tampak lebih cantik daripada biasanya, tapi kecantikan itu kecantikan yang sangat lembut, yang membuat sedih orang-­orang yang bertemu dan berbicara dengannya.

    Namun matanya masih bersinar. Satu hal, ia merasa senang dengan perubahan yang terjadi pada Osugi. Janda Hon'iden itu akhirnya mengerti bahwa penilaiannya terhadap Otsu dan Musashi tidak benar, dan kini ia seperti orang yang dilahirkan kembali. Sementara itu, Otsu mendapat harapan baru, karena yakin tak lama lagi ia akan bertemu kembali dengan Musashi.

    Osugi mengatakan, "Untuk menebus semua kesengsaraan yang telah kutimbulkan bagimu, aku akan menyembah dan memohon pada Musashi untuk meluruskan semuanya. Aku akan membungkuk. Aku akan minta maaf. Aku akan membujuknya." Ia sampaikan pada seluruh keluarga dan seluruh kampung bahwa pertunangan Matahachi dengan Otsu dibatalkan, lalu ia hancurkan dokumen yang mencatat janji kawin itu. Semenjak itu, ia merasa berkewajiban menyampaikan pada semua orang, bahwa satu-satunya orang yang akan menjadi suami yang baik dan cocok buat Otsu adalah Musashi.

    Karena keadaan di kampung sudah berubah, orang yang paling dikenal Otsu di Miyamoto adalah Osugi. Osugi mewajibkan dirinya melayani gadis itu sampai sehat kembali, dan mendatangi Kuil Shippoji pagi dan petang. Pertanyaan keprihatinan yang selalu diajukannya adalah, "Kau sudah ma­kan? Kau sudah makan obat? Bagaimana perasaanmu?"

    Suatu hari, ia berkata sambil mencucurkan air mata, "Kalau malam itu kau tidak hidup kembali, aku barangkali mau mati di sana juga."

    Sebelumnya perempuan tua itu tak pernah ragu membengkokkan atau menyampaikan kebohongan besar. Salah satu yang terakhir adalah tentang Ogin di Sayo. Sebetulnya tak seorang pun pernah melihat atau mendengar tentang Ogin bertahun-tahun lamanya. Satu-satunya yang diketahui orang adalah bahwa ia sudah kawin dan pindah ke provinsi lain.

    Karena itu, semula Otsu merasa segala pernyataan Osugi itu tak dapat dipercaya. Kendati pun sikap yang ditunjukkannya itu tulus, ada kemung­kinan sesudah beberapa waktu penyesalan itu akan pudar. Tapi hari berganti hari dan minggu berganti minggu, ternyata ia semakin baik dan semakin banyak mencurahkan perhatian pada Otsu

    "Tak pernah aku bermimpi, bahwa di dalam hatinya dia orang yang demikian baik," pikir Otsu akhirnya. Dan karena sikap hangat dan kebaikan yang baru ditemukan Osugi itu diteruskan pada semua orang di sekitarnya, perasaan itu secara luas dirasakan juga oleh keluarga dan orang kampung, sekalipun banyak di antara mereka menyatakan keheranan secara kurang halus, dengan kata-kata seperti, "Menurutmu apa yang sudah masuk dalam kepala perempuan tua jelek itu?"

    Osugi sendiri kagum, betapa baik semua orang terhadapnya sekarang. Biasanya, bahkan orang-orang yang terdekat dengannya pun cenderung mengerut apabila melihat dirinya. Kini mereka tersenyum dan bicara hangat. Demikianlah, akhirnya pada umur setua ini, untuk pertama kalinya ia tahu apa arti dicintai dan dihormati orang lain.

    Seorang kenalan bertanya terus terang, "Apa yang terjadi denganmu? Wajahmu tampak lebih menarik, tiap kali aku melihatmu."

    "Mungkin demikian," pikir Osugi pada hari itu juga, ketika ia melihat dirinya di dalam cermin. Masa lalu telah meninggalkan jejaknya. Ketika ia meninggalkan kampung dulu, rambutnya masih campuran hitam dan putih. Sekarang semuanya sudah putih. Tapi la tak peduli, karena ia percaya bahwa setidaknya, di dalam hatinya sekarang ia sudah bebas dari warna hitam.

    Kapal yang dinaiki Musashi seperti biasa berhenti untuk bermalam di Shikama, untuk menurunkan dan menaikkan muatan.

    Kemarin, sesudah menyampaikan pada Otsu tentang hal ini, Osugi bertanya, "Apa yang akan kaulakukan?"

    "Tentu saya akan ke sana."

    "Kalau begitu, aku juga."

    Otsu bangkit dari tempat tidurnya, dan sejam kemudian mereka sudah dalam perjalanan. Sampai larut petang, mereka berjalan ke Himeji. Selama itu Osugi terus mengurusi Otsu, seakan-akan ia anak kecil.

    Malam itu, di rumah Aoki Tanzaemon disusun rencana untuk meng­hidangkan makan malam di Benteng Himeji, sebagai tanda ucapan selamat bagi Musashi. Diperkirakan, karena pengalaman masa lalunya di benteng itu, ia akan menganggap suatu kehormatan dipestakan dengan cara itu. Bahkan Jotaro pun berpendapat demikian.

    Diputuskan juga sesudah berunding dengan para samurai seangkatan Tanzaemon, bahwa Otsu tak boleh terlihat terang-terangan di depan umum bersama Musashi. Tanzaemon menyampaikan pada Otsu dan Osugi inti persoalan ini, dan menyarankan agar mereka menggunakan perahu saja. Dengan demikian, Otsu dapat hadir tanpa menjadi korban gosip yang me­malukan.

    Laut menggelap, dan warna langit memudar. Bintang-bintang mulai berkelip-kelip. Dekat rumah tukang celup tempat Otsu dulu tinggal, sejak selewat sore tadi sudah menanti sekitar dua puluh samurai Himeji, untuk menyambut Musashi.

    "Barangkali bukan ini harinya," ujar seorang dari mereka.

    "Tidak, jangan kuatir," kata yang lain. "Saya sudah kirim satu orang

    kepada agen Kobayashi, untuk memastikan."

    "Hei, apa bukan itu?"

    "Kelihatannya begitu, jenis layarnya benar."

    Mereka ribut bergerak lebih dekat ke tepi air.

    Jotaro meninggalkan mereka, dan berlari ke perahu kecil di muara. "Otsu! Nek! Kapal sudah kelihatan-kapal Musashi!" teriaknya pada kedua perempuan yang bergembira itu.

    "Betul kau melihatnya? Di mana?" tanya Otsu. Ia sampai hampir jatuh ke laut, ketika berdiri.

    "Hati-hati!" Osugi mengingatkan, sambil mencekalnya dari belakang. Mereka berdiri berdampingan. Mata mereka mencari-cari dalam kegelapan. Berangsur-angsur sebuah titik kecil nun jauh di sana berubah menjadi sebuah layar besar, hitam warnanya dalam cahaya bintang, dan seolah-olah meluncur langsung ke dalam mata mereka.

    "Itu dia!" teriak Jotaro.

    "Cepat ambil dayung buritan" kata Otsu. "Bawa kami ke kapal itu."

    "Tak perlu buru-buru. Seorang samurai dari pantai akan berdayung ke tengah, mengambil Musashi."

    "Kalau begitu, kita mesti pergi sekarang! Kalau nanti dia bersama orang­orang itu, tak ada kesempatan Otsu bicara dengannya."

    "Tak bisa kita berbuat begitu. Mereka semua akan melihat Otsu."

    "Kalian ini terlalu banyak kuatir dengan pendapat para samurai. Itu sebabnya kita tersingkir di perahu kecil ini. Kalau kalian mau tahu, mestinya kita menanti di rumah tukang celup itu."

    "Tidak. Nenek keliru. Nenek tidak tahu bagaimana omongan orang. Tenang saja. Bapak saya dan saya akan mencari jalan membawa dia kemari." Di situ la berhenti untuk berpikir. "Kalau nanti dia mendarat, dia akan pergi ke rumah tukang celup untuk istirahat sebentar. Saya akan me­nemuinya, dan mengatur supaya dia datang kemari menemui kalian. Kalian tunggu saja di sini. Sebentar saya kembali." Ia bergegas ke pantai.

    "Usahakan istirahat sedikit," kata Osugi.

    Otsu dengan patuh membaringkan diri, tapi sukar baginya untuk bernapas.

    "Terganggu batuk lagi, ya?" tanya Osugi lembut. Ia berlutut dan meng­gosok punggung gadis itu. "Jangan kuatir. Tak lama lagi Musashi sampai di situ.

    "Terima kasih, saya baik-baik saja sekarang." Begitu batuknya reda, Otsu membereskan rambutnya, dan mencoba membuat penampilannya tampak lebih baik.

    Tapi ketika waktu terus berlalu dan Musashi tidak juga muncul, Osugi mulai gelisah. Ia tinggalkan Otsu di perahu, dan pergi ke tepi air.

    Begitu Osugi hilang dari pandangan, Otsu menyurukkan kasur dan bantalnya ke balik tikar, kemudian mengikatkan kembali obi-nya dan merapikan kimononya. Detak jantungnya sama sekali tak berbeda dengan yang pernah ia alami ketika ia masih berusia tujuh belas atau delapan belas tahun. Cahaya merah rambu laut yang digantungkan di dekat haluan perahu menembus hatinya dengan kehangatan. Ia menjulurkan lengannya yang putih halus ke atas bibir perahu, ia basahi sisirnya, dan ia sisir rambutnya sekali lagi. Kemudian ia kenakan pupur pada pipinya demikian tipis, sehingga hampir tak terlihat. Pikirnya, samurai pun kadang-kadang masuk kamar rias dan memulas wajahnya yang pucat dengan sedikit pemerah, kalau tiba-tiba ia dipanggil menghadap tuannya, di tengah tidur nyenyak.

    Yang paling meresahkan dirinya adalah apa yang akan ia katakan nanti kepada Musashi. Ia kuatir akan susah bicara, seperti dialaminya ketika dulu bertemu Musashi.  Ia tak ingin mengucapkan sesuatu yang akan menyinggung perasaan Musashi, karena itu ia mesti berhati-hati betul. Musashi sedang dalam perjalanan menghadapi pertarungan. Seluruh negeri membicarakannya.

    Pada saat penting dalam hidupnya ini, Otsu tidak yakin Musashi akan kalah dengan Kojiro. Namun juga belum pasti benar bahwa Musashi akan menang. Hal-hal lain bisa saja terjadi. Kalau hari ini ia melakukan sesuatu yang keliru, dan kemudian Musashi terbunuh, ia akan menyesalinya sepanjang hidup. Tak ada lagi yang tersisa baginya kecuali menangis sampai mati, dan seperti kaisar Cina kuno itu, ia berharap dipersatukan dengan kekasihnya di dunia lain.

    Ia harus mengucapkan apa yang mesti diucapkannya, tak peduli apa yang akan dikatakan atau dilakukan Musashi. la mengerahkan kekuatannya untuk sampai pada kesimpulan ini. Sekarang pertemuan itu sudah dekat, maka detak nadinya berlomba hebat. Karena demikian banyak yang terpikir olehnya, maka kata-kata yang ingin diucapkannya juga tidak terbentuk.

    Osugi tak punya masalah seperti itu. Ia sedang memilih kata-kata yang akan dipergunakannya untuk meminta maaf atas salah pengertian dan den­damnya, untuk menghilangkan beban hatinya, dan untuk mohon peng­ampunan. Sebagai bukti ketulusan hatinya, ia akan mengusahakan agar hidup Otsu dipercayakan pada Musashi.

    Kegelapan hanya sekali-sekali terusik oleh pantulan air. Keadaan sunyi, sampai akhirnya terdengar derap lari Jotaro.

    "Oh, akhirnya kau datang, ya?" kata Osugi yang waktu itu masih berdiri di tepian. "Di mana Musashi?"

    "Maaf, Nek."

    "Maaf? Apa artinya?"

    "Coba dengarkan. Akan saya terangkan semuanya."

    "Aku tak butuh penjelasan. Musashi datang atau tidak?"

    "Tidak datang."

    "Tidak datang?" Suara itu kosong penuh kekecewaan.

    Dengan sangat kikuk, Jotaro menceritakan apa yang telah terjadi. Seorang samurai telah berdayung ke kapal, dan mendapat pemberitahuan bahwa kapal tidak berhenti di sana . Tidak ada penumpang yang hendak turun di Shikama, muatan sudah diangkut sebuah tongkang. Samurai itu minta ber­temu dengan Musashi, dan Musashi datang ke sisi kapal dan bicara dengannya, tapi ia mengatakan tak ada rencana turun. Ia maupun kapten kapal ingin sampai di Kokura selekas-lekasnya.

    Ketika samurai itu tiba kembali di pantai dengan membawa berita tersebut, kapal sudah menuju laut lepas.

    "Kalian bahkan tak dapat melihatnya lagi," kata Jotaro kesal. "Sudah memutar hutan pinus di ujung lain pantai ini. Maaf. Tak ada yang mesti disalahkan."

    "Kenapa kau tidak pergi dengan perahu bersama-sama samurai itu?"

    "Saya tak menduga.... Yah, tapi tak ada yang bisa kita lakukan sekarang. Tak ada gunanya membicarakan itu."

    "Kau benar, tapi ini sungguh sayang! Kita mesti bilang apa pada Otsu nanti? Kau yang mesti mengatakannya, Jotaro, aku sendiri tak sampai hati. Kau bisa sampaikan padanya apa yang terjadi... tapi mula-mula kau mesti bikin dia tenang. Kalau tidak, penyakitnya bisa makin parah."

    Ternyata tak perlu lagi Jotaro menjelaskan. Otsu, yang duduk di belakang tirai itu, sudah mendengar segalanya. Pukulan ombak ke lambung perahu agaknya sudah membuatnya pasrah pada penderitaan.

    "Kalau malam ini aku gagal bertemu dengannya," pikirnya, "akan kutemui dia hari lain, di pantai lain."

    Ia merasa dapat memahami, kenapa Musashi memutuskan untuk tidak meninggalkan kapal. Di seluruh Honshu barat dan Kyushu, Sasaki Kojiro diakui sebagai pemain pedang terbesar. Menantang keunggulannya berarti Musashi bertekad bulat untuk menang. Pikirannya pasti cuma tertuju pada soal itu-soal itu saja. "Tapi alangkah dekatnya dia tadi," keluhnya. Dengan air mata meleleh di pipi, ia tatap layar yang sudah tak kelihatan itu, yang pelan-pelan bergerak berat. Dengan hati sedih ia bersandar pada sandaran perahu.

    Kemudian ia sadar akan kekuatan besar yang berkembang bersama air matanya. Walaupun dirinya rapuh, di dalam dirinya bersemayam himpunan tenaga supramanusia. Memang ia tidak menyadarinya, tapi sesungguhnya ia memiliki kemauan gigih yang membuatnya sanggup bertahan terus menempuh tahun-tahun penuh penyakit dan penderitaan. Darah segar mewarnai pipinya, memberikan kepadanya hidup baru.

    "Nek! Jotaro!"

    Mereka berdua menuruni tepi pantai itu pelan-pelan. Tanya Jotaro, "Ada apa, Otsu?"

    "Aku sudah dengar pembicaraan kalian."

    "Oh?"

    "Ya. Tapi aku takkan menangisinya lagi. Aku akan pergi ke Kokura. Akan kulihat sendiri pertarungan itu ... kita tak dapat begitu saja meng­anggap Musashi pasti menang. Kalau dia kalah, aku ingin mengambil abunya dan membawanya pulang."

    "Tapi kau sedang sakit."

    "Sakit?" Otsu sudah menyingkirkan jauh-jauh pikiran tentang sakit dari kepalanya. Dirinya seolah sudah dipenuhi vitalitas yang mengatasi kelemahan tubuhnya. "Jangan pikirkan soal itu. Aku betul-betul tak apa-apa. Yah, barangkali aku masih sedikit sakit, tapi sebelum aku melihat kesudahan pertarungan itu..."

    "Aku sudah bertekad untuk tidak mati." Itulah kata-kata yang hampir keluar dari bibirnya. Ia tak jadi mengucapkan kata-kata itu, tapi menyibukkan diri membuat persiapan untuk perjalanannya. Setelah siap, ia keluar sendiri dari perahu, walaupun mesti bergayut kuat pada sandaran.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Popular