• Breaking News

    BACA BERITANYA TERBARU DISINI

    Sabtu, 15 Juli 2017

    Cerita Novel Musashi Bagian 53, Penggosok Jiwa








    Penggosok Jiwa

     https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJxmSeZMXNFhv4N9BmsvTZNnzp8mIQcAAQZP9wBwxhoW5p2xfKdiZ5Wf39NUL-8tuVE7vIln9vcV3FUfrQkCsYm0Y3hKMjALCAOfAI1NEc7KdyU7XIHUYxNKh7resZErm_KQ1m97Efb34/s1600/Musashi.jpg







    "SELAMAT malam," seru Musashi.

    Dalam rumah Zushino Kosuke tak ada hal yang menunjukkan bahwa rumah itu rumah usaha. Di depan tak ada jeruji seperti terdapat di kebanyakan toko, dan tidak ada barang yang dipajang. Musashi berdiri di gang berlantai tanah yang menuju samping kiri rumah. Di sebelah kanannya terdapat bagian lantai yang ditinggikan, ditutup tatami, dan disekat dari kamar di sebelahnya.

    Orang yang tidur di tatami, dengan tangan di atas peti besi, mirip dengan guru Tao yang pernah dilihat Musashi dalam sebuah lukisan. Wajah kurus panjang itu berwarna keabu-abuan, seperti warna tanah liat. Pada wajah itu, Musashi tidak melihat ketajaman otak yang menurutnya biasa dipunyai pandai pedang.

    "Selamat malam," ulang Musashi, sedikit lebih keras.

    Akhirnya suaranya menembus ketumpulan Kosuke, dan tukang itu mengangkat kepalanya pelan sekali, hingga seolah baru terbangun dari tidur berabad-abad lamanya.

    Sambil menghapus ludah dari dagunya dan duduk tegak, tanyanya lesu. "Bisa saya tolong?" Kesan Musashi, orang macam itu bisa membuat pedang atau jiwa jadi lebih tumpul. Namun ia ulurkan juga senjatanya, dan ia jelaskan kenapa ia datang.

    "Coba saya lihat." Bahu Kosuke menegak tangkas. Ia letakkan tangan kiri ke lutut, dan ia ulurkan tangan kanan untuk mengambil pedang, dan bersamaan dengan itu membungkukkan kepala ke arah pedang.

    "Makhluk aneh," pikir Musashi. "Dia hampir tidak mengakui hadirnya seorang manusia, tapi membungkuk sopan pada pedang."

    Sambil menggigit secarik kertas, Kosuke pelan-pelan menghunus pedang itu dari sarungnya. Ia dirikan pedang itu tegak lurus di depannya, dan ia periksa dari gagang sampai ujung. Matanya berkilau-kilau terang, mengingatkan Musashi pada mata kaca dalam patung Budha dari kayu.

    Kosuke memasukkan kembali senjata itu ke dalam sarungnya dan memandang Musashi dengan nada bertanya. "Silakan duduk," katanya sambil mundur memberikan tempat, dan menawarkan bantalan pada Musashi. Musashi melepaskan sandal dan melangkah masuk kamar.

    "Apa pedang ini sudah beberapa angkatan menjadi milik keluarga Anda?"

    "Oh, tidak," kata Musashi. "Pedang ini bukan karya pandai pedang terkenal atau yang setarafnya."

    "Anda sudah menggunakannya dalam pertempuran, atau Anda membawanya untuk tujuan biasa?"

    "Saya belum menggunakannya dalam pertempuran. Tak ada yang khusus dengan pedang ini. Paling-paling yang dapat kita katakan tentangnya, lebih baik daripada tak ada sama sekali."

    "Hm." Sambil memandang langsung mata Musashi, Kosuke bertanya, "Lalu mau digosok bagaimana pedang ini?"

    "Mau digosok bagaimana? Maksud Anda?"

    "Anda menghendaki ditajamkan, supaya dapat memotong dengan baik?"

    "Namanya saja pedang. Makin bagus dapat memotong, makin baik."

    "Saya kira memang begitu," kata Kosuke sependapat, disertai keluhan putus asa.

    "Apa ada yang aneh? Urusan pandai pedang menajamkan pedang supaya dapat memotong dengan baik, kan?" Sambil bicara, Musashi menatap wajah Kosuke dengan sikap ingin tahu.

    Orang yang menyatakan dirinya penggosok jiwa itu menampik senjata Musashi, dan katanya, "Tak ada yang bisa saya lakukan untuk Anda. Bawa pedang ini pada orang lain."

    Aneh sekali orang ini, pikir Musashi. Tak bisa ia menyembunyikan kekesalannya, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Kosuke sendiri hanya mengatupkan bibirnya erat-erat, tak mau memberikan penjelasan.   .

    Selagi mereka masih duduk diam saling pandang, seorang lelaki dari sekitar tempat itu melongokkan kepala ke pintu. "Kosuke, apa kau punya joran? Ada banjir sekarang, dan ikan berlompat-lompatan. Kalau kaupinjami aku joran, kita bagi dua nanti hasilnya."

    Kosuke jelas menganggap orang itu sebagai beban lain lagi yang tak mau ia tanggung. "Pinjam saja di tempat lain," jawabnya parau. "Aku tak percaya manfaat pembunuhan, dan aku tak punya alat pembunuh di rumahku."

    Orang itu pun lekas pergi, sementara Kosuke tampak lebih uring-uringan daripada sebelumnya.

    Orang lain barangkali sudah mundur dan pergi, tapi karena rasa ingin tahunya, Musashi tak juga pergi. Ada yang menarik pada orang ini, bukan akal atau kecerdasannya, tapi kebaikan alamiahnya yang masih asli, seperti kebaikan guci sake Karatsu atau cambung teh Nonko. Seperti halnya barang keramik yang biasanya mengandung cacat akibat kedekatan pada tanah, Kosuke pun memiliki sejenis luka pada pelipisnya yang setengah botak, yang ditutupnya dengan salep.

    Musashi berusaha menyembunyikan rasa tertariknya yang semakin bertambah, katanya, "Kenapa Anda tak mau menggosok pedang saya? Apa mutunya begitu jelek, hingga Anda tak dapat menajamkannya?"

    "Tentu saja bukan. Anda pemiliknya. Anda dan saya tahu, pedang ini pedang Bizen yang betul-betul bagus. Saya juga tahu, Anda ingin menajamkannya untuk tujuan memotong orang."

    "Tapi apa salahnya?"

    "Itulah yang dikatakan mereka semua, apa salahnya minta saya menajamkan pedang, supaya dapat memotong dengan lebih baik? Kalau pedang itu dapat memotong, mereka bahagia."

    "Tapi orang yang membawa pedangnya untuk digosok, dengan sendirinya ingin... "

    "Tunggu dulu." Kosuke mengangkat tangan. "Butuh waktu untuk menjelaskan ini. Pertama, saya ingin Anda melihat sekali lagi tanda di depan toko saya."

    "Tertulis di situ 'jiwa digosok', atau paling tidak, begitulah saya kira. Apa ada cara lain untuk membaca huruf-huruf itu?"

    "Tidak. Anda lihat di situ, tak ada kata yang menyatakan menggosok pedang. Urusan saya menggosok jiwa-jiwa samurai yang datang ke sini, bukan pedangnya. Orang tak mengerti, tapi itulah yang diajarkan pada saya, ketika saya belajar menggosok pedang."

    "Oh, begitu," kata Musashi, meskipun ia belum begitu mengerti.

    "Karena saya mencoba mematuhi ajaran-ajaran guru saya, saya menolak menggosok pedang milik samurai yang kesenangannya membunuh orang."

    "Dalam hal itu, Anda betul. Tapi apa boleh saya mengetahui, siapa guru Anda itu?"

    "Namanya tertulis di papan itu juga. Saya belajar pada Keluarga Hon'ami, di bawah pengawasan Hon'ami Koetsu sendiri." Kosuke membidangkan dadanya dengan bangga ketika mengucapkan nama gurunya itu.

    "Menarik. Kebetulan saya pernah berkenalan dengan guru Anda dan ibunya yang baik sekali, Myoshu." Selanjutnya Musashi menceritakan bagaimana ia berjumpa dengan mereka di ladang dekat Rendaiji, dan kemudian tinggal beberapa hari lamanya di rumah mereka.

    Kosuke kaget, dan memperhatikan Musashi baik-baik sebentar. "Apa kebetulan Anda ini yang bikin heboh besar di Kyoto beberapa tahun lalu, dengan mengalahkan Perguruan Yoshioka di Ichijoji? Miyamoto Musashi namanya, saya yakin."

    "Itu memang nama saya." Wajah Musashi memerah sedikit.

    Kosuke bergerak sedikit ke belakang dan membungkuk hormat, katanya, "Maafkan saya. Mestinya saya tidak menguliahi Anda. Sama sekali saya tak menduga, bahwa saya sedang berbicara dengan Miyamoto Musashi yang terkenal."

    "Tak usah itu dipikirkan lagi. Kata-kata Anda itu mengandung pelajaran. Watak Koetsu tampak dalam pelajaran-pelajaran yang diajarkannya pada murid-muridnya."

    "Saya yakin Anda tahu Keluarga Hon'ami mengabdi kepada para shogun Ashikaga. Dari waktu ke waktu, mereka juga dipanggil untuk menggosok pedang-pedang kaisar. Koetsu selalu mengatakan bahwa pedang Jepang diciptakan bukan untuk membunuh atau melukai orang, tapi untuk mempertahankan kekuasaan kaisar dan melindungi bangsa, untuk menundukkan setan-setan dan mengusir kejahatan. Pedang adalah jiwa samurai. Samurai membawa pedang bukan untuk tujuan lain selain mempertahankan martabatnya sendiri. Pedang adalah peringatan yang selalu hadir bagi penguasa untuk berusaha mengikuti Jalan Hidup. Sudah sewajarnya kalau tukang yang menggosok pedang harus juga menggosok semangat pemain pedang."

    "Benar sekali," kata Musashi mengiakan.

    "Koetsu mengatakan bahwa melihat pedang yang baik, berarti melihat sinar suci, melihat semangat perdamaian dan ketenangan bangsa int. Dia benci menyentuh pedang yang jelek. Berdekatan saja bisa membuatnya muak."

    "Begitu. Maksud Anda, apakah terasa sesuatu yang jahat dalam pedang saya?"

    "Tidak, sama sekali tidak. Saya cuma sedikit kesal. Semenjak datang di Edo, saya sudah menggarap sejumlah senjata, tapi tak ada seorang pun di antara pemiliknya yang punya bayangan tentang makna sejati pedang. Saya kadang-kadang merasa jiwa mereka itu perlu digosok. Yang mereka pikirkan cuma bagaimana menyobek-nyobek orang atau membelah kepalanya, topi baja, dan segalanya itu. Mengesalkan sekali. Itu sebabnya saya memasang papan baru beberapa hari yang lalu. Tapi rupanya tak banyak juga hasilnya."

    "Dan saya pun datang untuk meminta hal yang sama, ya? Saya mengerti perasaan Anda."

    "Yah, itu sudah suatu permulaan. Persoalan dengan Anda mungkin akan sedikit berbeda. Tapi terus terang, ketika melihat pedang Anda, saya sungguh terguncang. Semua torehan dan noda itu diakibatkan oleh daging manusia. Tadinya saya pikir Anda cuma ronin tak berarti juga, yang bangga karena telah melakukan sejumlah pembunuhan tak berujung-pangkal."

    Musashi menundukkan kepala. Kata-kata itu suara Koetsu, yang keluar dari mulut Kosuke. "Saya ucapkan terima kasih atas pelajaran ini," katanya. "Saya sudah membawa pedang sejak masih kanak-kanak, tapi belum pernah saya benar-benar memikirkan semangat yang bersemayam di dalamnya. Di masa depan, saya akan memperhatikan apa yang Anda katakan ini."

    Kosuke tampak puas sekali. "Kalau demikian, akan saya gosokkan pedang Anda. Atau barangkali mesti saya katakan sebagai orang di bidang ini, saya merasa mendapat hak istimewa dapat menggosok jiwa seorang samurai seperti Anda."

    Senja menghilang, dan lampu-lampu telah dinyalakan. Musashi memutuskan sudah waktunya pergi.

    "Tunggu," kata Kosuke. "Apa Anda punya pedang lain, sementara saya menggarap yang ini?"

    "Tidak. Saya cuma punya satu pedang panjang itu."

    "Kalau demikian, bagaimana kalau Anda mengambil gantinya? Saya takut tak ada yang baik sekali di antara pedang yang saya miliki, tapi silakan melihat."

    Ia mengantar Musashi masuk kamar belakang, dan di situ ia keluarkan beberapa bilah pedang dari dalam lemari, dan ia jajarkan di atas tatami. "Anda boleh ambil mana saja di antara semua pedang ini," katanya menawarkan.

    Walaupun dengan rendah hati pandai pedang itu telah mengingkari, tapi sesungguhnya semua senjata itu memiliki mutu sangat bagus. Musashi mengalami kesulitan dalam memilih kumpulan pedang yang memesona itu, tapi akhirnya la pilih satu, dan ia pun segera jatuh cinta kepadanya. Dengan menggenggamnya saja, ia sudah dapat merasakan pengabdian pembuatnya. Ketika ia mencabut pedang itu dari sarungnya, terasa bahwa kesannya itu benar. Pedang itu sungguh hasil karya pertukangan yang indah, yang barangkali berasal dari zaman Yoshino di abad empat belas. Karena sangsi kalau-kalau pedang itu terlalu anggun baginya, dibawanya pedang itu ke dekat cahaya dan diperiksanya, dan ia merasa tangannya enggan melepaskannya lagi.

    "Boleh saya ambil ini?" tanyanya. Tak dapat ia memaksa dirinya menggunakan kata "pinjam".

    "Anda sungguh bermata ahli," ujar Kosuke, sementara ia menyingkirkan pedang-pedang lain.

    Hanya sekali itu dalam hidupnya, Musashi tenggelam dalam ketamakan. Ia tahu, akan sia-sia ia menyebutkan ingin membeli pedang itu. Harganya pasti tidak terjangkau olehnya. Tapi ia tak dapat lagi menahan dirt.

    "Saya kira Anda takkan mau mempertimbangkan menjual pedang ini pada saya, kan?" tanyanya.

    "Kenapa tidak?"

    "Berapa yang Anda minta?"

    "Anda boleh ambil dengan harga pembeliannya."

    "Berapa harga belinya?"

    "Dua puluh keping emas."

    Suatu jumlah yang hampir tak terbayangkan oleh Musashi. "Lebih baik saya kembalikan pedang ini," katanya ragu-ragu.

    "Kenapa?" tanya Kosuke dengan pandangan heran. "Saya pinjamkan ini pada Anda, terserah Anda sampai kapan. Ambillah."

    "Tidak, itu akan bikin saya merasa lebih tidak keruan lagi. Sekarang saja saya sudah begitu menginginkannya. Kalau saya memakainya hanya sementara waktu, nanti berpisah dengannya akan merupakan siksaan buat saya."

    "Apa Anda betul-betul menyukainya?" Kosuke memandang pedang itu, kemudian kepada Musashi. "Baiklah, saya berikan pedang itu pada Anda, seperti semacam jodoh saja. Tapi saya mengharapkan hadiah yang pantas sebagai ganti."

    Musashi jadi bingung, ia sama sekali tak punya apa-apa untuk ditawarkan.

    "Saya mendengar dari Koetsu bahwa Anda suka mengukir patung. Saya merasa mendapat kehormatan, kalau Anda dapat membuatkan saya patung Kannon. Cukuplah itu untuk pembayar pedang."

    Patung Kannon terakhir yang diukir Musashi adalah yang ditinggalkannya di Hotengahara. "Saya tak menyimpan apa-apa sekarang," katanya. "Tapi dalam beberapa hari, saya dapat mengukirnya untuk Anda. Jadi, saya boleh ambil pedang ini?"

    "Tentu. Saya bukannya mengharapkan pembayaran sekarang juga. Dan omong-omong, daripada menginap di penginapan itu, apa tidak lebih baik kalau Anda tinggal dengan kami? Di sini ada satu kamar yang tidak kami gunakan."

    "Oh, itu baik sekali," kata Musashi. "Kalau saya pindah besok, saya dapat langsung mulai membuat patung itu."

    "Silakan melihat kamar itu sekarang," desak Kosuke yang juga senang dan bersemangat.

    Musashi mengikutinya menyusuri gang luar. Di ujung gang itu terdapat tangga yang terdiri atas setengah lusin anak tangga. Terselip di antara lantai pertama dan kedua, tapi tidak termasuk yang pertama atau kedua, terdapat sebuah kamar berukuran delapan tikar. Lewat jendela, Musashi dapat melihat daun-daun pohon aprikot yang sarat oleh embun.

    Kosuke menunjuk atap yang tertutup kulit-kulit tiram, katanya, "Di sana itu bengkel saya."

    Seakan diundang oleh isyarat rahasia, istri pandai pedang datang membawa sake dan makanan kecil. Sesudah kedua orang itu duduk, perbedaan antara tuan rumah dan tamu seakan-akan menguap. Mereka bersantai dengan kaki diselonjorkan, dan saling membuka hati, lupa akan kendali yang biasanya dipaksakan oleh sopan santun. Pembicaraan dengan sendirinya tertuju pada pokok soal yang menjadi kegemaran mereka.

    "Setiap orang bermulut manis tentang pedang," kata Kosuke. "Siapa saja bicara bahwa pedang adalah jiwa samurai. Mereka mengatakan bahwa pedang adalah satu dari tiga kekayaan suci negeri ini. Tetapi cara orang-orang itu memperlakukan pedang sungguh memalukan. Yang saya maksud adalah para samurai dan pendeta, begitu juga orang kota. Berturut-turut saya sudah mengunjungi tempat-tempat suci dan rumah-rumah tua, di mana pernah disimpan koleksi pedang-pedang indah. Bisa saya sampaikan pada Anda, bahwa situasinya sungguh mengejutkan."

    Pipi Kosuke yang pucat itu kini kemerahan. Matanya menyala karena gairah, dan air ludah yang berkumpul di sudut-sudut mulutnya kadang-kadang menyemprot langsung ke wajah teman bicaranya.

    "Hampir tak ada pedang terkenal dari masa lalu yang dipelihara dengan baik. Di Tempat Suci Suwa, Provinsi Shinano, ada lebih dari tiga ratus pedang. Pedang-pedang itu dapat digolongkan pusaka, tapi hanya lima pedang yang saya temukan tidak berkarat. Tempat Suci Omishima terkenal karena koleksi tiga ribu pedang yang berasal dari beberapa ratus tahun silam. Tapi, sesudah tinggal di sana sebulan, saya temukan hanya sepuluh yang dalam keadaan baik. Sungguh memuakkan!" Kosuke menarik napas, melanjutkan, "Soalnya, makin tua dan terkenal pedang itu, makin cenderung pemiliknya berusaha menyimpannya di tempat aman. Tapi akibatnya tak seorang pun dapat menjangkaunya untuk mengurusinya, dan pedang pun makin lama makin berkarat.

    "Para pemilik pedang itu seperti orangtua yang melindungi anak-anaknya dengan penuh perasaan cemburu, hingga anak-anak itu tumbuh menjadi orang-orang tolol. Kalau anak, akan terus ada yang dilahirkan, jadi tak apaapa kalau ada sedikit yang bodoh. Tapi pedang..."

    Ia berhenti untuk menelan ludah, kemudian mengangkat bahunya yang tipis lebih tinggi lagi, dan ujarnya dengan mata berkilau-kilau, "Kita sudah memiliki pedang-pedang terbaik yang pernah ada. Selama berlangsungnya perang saudara, pandai-pandai pedang sudah bertindak sembrono, bahkan ceroboh! Mereka lupa akan teknik, dan sejak itu pedang-pedang mengalami kemerosotan.

    "Satu-satunya yang mesti kita lakukan adalah menjaga dengan lebih baik pedang-pedang masa lalu. Tukang-tukang sekarang boleh saja mencoba meniru pedang lama, tapi mereka takkan dapat menghasilkan pedang yang sama baiknya. Apa ini tidak bikin Anda marah?"

    Sekonyong-konyong ia berdiri, dan katanya, "Coba saja lihat ini." Ia mengeluarkan pedang yang panjang luar biasa, dan ia letakkan untuk diperiksa tamunya. "Ini senjata yang indah sekali, tapi penuh dengan karat yang paling buruk jenisnya."

    Jantung Musashi serasa melompat. Pedang itu, tak sangsi lagi, adalah Galah Pengering milik Sasaki Kojiro. Maka banjir kenangan pun melandanya.

    Sambil mengendalikan emosinya, katanya tenang, "Betul-betul panjang, ya? Tentunya samurai hebat saja yang dapat menggunakannya."

    "Saya pikir juga begitu," kata Kosuke menyetujui. "Tak banyak pedang macam ini." Ia ketuarkan pedang itu dari sarungnya, ia ulurkan bagian belakangnya kepada Musashi, dan ia serahkan pada gagangnya. "Coba lihat," katanya. "Pedang ini hebat sekali karatnya, di sini, dan di sini. Tapi dia tetap menggunakannya."

    "Begitu."

    "Pedang ini hasil kecakapan yang jarang ada. Barangkali ditempa di zaman Kamakura. Butuh kerja keras, tapi barangkali saya bisa merapikannya. Pada pedang-pedang kuno ini, karat hanya merupakan lapisan yang relatif tipis. Kalau pedang ini masih baru, takkan sanggup saya membersihkan kotorannya. Pada pedang-pedang baru, noda karat itu seperti luka jahat. Dia langsung memakan hati logam."

    Musashi membalikkan kedudukan pedang itu, hingga bagian belakangnya mengarah pada Kosuke, dan berkata, "Boleh saya bertanya, apa pemilik pedang ini membawanya sendiri kemari?"

    "Tidak. Saya kebetulan ada urusan di rumah Yang Dipertuan Hosokawa, dan salah seorang abdinya yang sudah tua, Iwama Kakubei, minta saya singgah di rumahnya dalam perjalanan pulang. Saya singgah, dan dia memberikan pedang ini untuk digarap. Katanya pedang ini milik tamunya."

    "Kelengkapannya baik juga," ujar Musashi, sementara matanya masih tertuju pada senjata itu.

    "Ini pedang tempur. Orang itu sampai sekarang biasa menaruhnya di punggung, tapi dia ingin menaruh di pinggang, karena itu saya diminta mencocokkan sarungnya. Orang itu tentunya besar sekali badannya. Kalau tidak, barangkali tangannya terlatih sekali."

    Kosuke sudah mulai terpengaruh sake. Lidahnya mulai terasa sedikit tebal. Musashi memutuskan sudah tiba waktunya untuk pergi, dan ia pun pergi, tanpa banyak upacara lagi.

    Hari ternyata lebih larut dari yang ia duga. Di sekitar tempat itu tak ada lampu. Begitu sampai di penginapan, ia meraba-raba dalam gelap, mencari tangga, dan naik ke tingkat dua. Dua kasur sudah dihamparkan, tapi keduanya kosong. Tidak hadirnya Iori membuatnya merasa tak enak, karena ia menduga anak itu tersesat di jalan-jalan kota besar yang tak dikenalnya ini.

    Ia kembali turun dan membangunkan penjaga malam. "Dia belum pulang?" tanya orang itu, yang rupanya lebih heran daripada Musashi. "Saya pikir dia bersama Bapak tadi."

    Karena tahu ia cuma akan menatap langit-langit sebelum Iori kembali, Musashi keluar menuju malam yang hitam kelam, dan berdiri melipat tangan di bawah tepian atap.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Popular