Begitu Gurunya, Begitu Pula Muridnya
DALAM perjalanan singkat kembali ke gubuk itu, Sannosuke terus mengoceh tentang impian-impian masa depannya.
Tapi malam itu, ketika Musashi mengatakan bahwa ia harus siap mengucapkan selamat tinggal kepada satu-satunya rumah yang pernah dikenalnva itu, ia jadi sedih. Mereka tetap jaga sampai larut malam, dan Sannosuke dengan mata berkaca-kaca dan dengan suara lirih bercerita kepada Musashi tentang orangtua dan kakek-kakeknya.
Pagi hari, ketika mereka bersiap keluar, Musashi menyatakan bahwa sejak saat itu ia akan menyebut Sannosuke dengan nama Iori. "Kalau kau ingin menjadi samurai," jelasnya, "sudah sewajarnya kau mengambil nama kakekmu." Anak itu belum cukup dewasa untuk mendapat upacara akil-balig, yaitu ketika seorang anak memperoleh nama dewasa. Tapi, menurut pendapat Musashi, menggunakan nama kakeknya akan menyemangati anak itu.
Kemudian, ketika anak itu kelihatan masih ingin berlama-lama di dalam rumah, Musashi berkata tenang, tapi mantap, "Iori, ayo cepat. Di sini tak ada yang kauperlukan. Kau tidak membutuhkan sisa-sisa masa lalu."
Iori berlari ke luar rumah, memakai kimono yang sedikit menutupi pahanya, mengenakan sandal jerami tukang kuda, dan membawa bungkus kain berisi bekal makanan yang terdiri atas jewawut campur nasi. Ia tampak seperti kodok kecil, tapi slap dan ingin sekali menempuh hidup baru.
"Pilih satu pohon yang jauh dari rumah, dan ikatkan kuda itu," perintah Musashi.
"Bapak bisa naik sekarang."
"Kerjakan perintahku."
"Baik, Pak."
Musashi merasakan sikap sopan itu. Suatu tanda kecil, tapi menggembirakan, bahwa anak itu bersedia memilih jalan samurai sebagai ganti omongan teledor kaum tani.
Iori mengikatkan kuda, dan kembali ke tempat Musashi berdiri di bawah tepian atap gubuk tua itu, seraya memandang dataran di sekitar. "Apa yang ditunggu?" tanya anak itu dalam hati.
Sambil meletakkan tangan ke kepala Iori, kata Musashi, "Inilah tempatmu dilahirkan, dan tempatmu memperoleh tekad untuk menang."
Iori mengangguk.
"Daripada mengabdi kepada tuan kedua, kakekmu menarik diri dari golongan prajurit. Ayahmu, yang setia pada harapan terakhir kakekmu, merasa puas dengan hanya menjadi petani. Kematiannya membuatmu seorang diri di dunia ini, karena itu sudah tiba waktunya bagimu untuk berdiri di atas kaki sendiri."
"Ya, Pak."
"Kau mesti menjadi orang besar!"
"Akan saya coba." Air mata merebak di matanya.
"Selama tiga generasi, rumah ini meneduhi keluargamu dari angin dan hujan. Ucapkan terima kasih kepadanya, kemudian ucapkan selamat tinggal untuk selama-lamanya, dan jangan menyesal."
Musashi masuk ke dalam, dan membakar pondok itu. Ketika ia keluar, Iori menatap dengan mata berkaca-kaca.
"Kalau kita tinggalkan rumah ini berdiri," kata Musashi, "cuma akan menjadi tempat persembunyian penyamun atau pencuri. Kubakar dia agar orang-orang macam itu tidak menodai kenangan mengenai ayah dan akekmu."
"Saya berterima kasih."
Gubuk itu berubah menjadi onggokan api, kemudian runtuh.
"Mari kita pergi," kata Iori, yang tidak lagi berminat pada sisa-sisa masa lalu.
"Belum."
"Tapi tak ada lagi yang mesti kita lakukan di sini, kan?"
Musashi tertawa. "Kita membangun rumah baru di atas bukit kecil di sana itu."
"Rumah baru? Buat apa? Bapak baru saja membakar yang lama."
"Itu milik ayah dan kakekmu. Yang kita bangun itu akan menjadi milik kita."
"Maksud Bapak, kita akan tinggal di situ?"
"Betul."
"Kita tak akan pergi ke mana-mana, berlatih, dan mendisiplinkan diri?"
"Akan kita lakukan itu di situ."
"Apa yang dapat kita latih di situ?"
"Menjadi pemain pedang, menjadi samurai. Kita akan mendisiplinkan semangat kita, dan kerja keras mengubah diri kita menjadi manusia sejati. Ayo ikut aku, dan bawa kapak itu." Ia menunjuk rumpun rumput tempat ia meletakkan alat-alat pertanian.
Sambil memanggul kapak, Iori mengikuti Musashi menuju bukit kecil. Di sana tumbuh beberapa pohon berangan, pinus, dan kriptomeria.
Sesudah membuka baju sampai pinggang, Musashi mengambil kapak dan pergi bekerja. Segera kemudian ia betul-betul membikin hujan dari remah-remah kayu mentah.
Iori memperhatikan dan berpikir, "Barangkali dia akan membangun dojo. Atau apa kami akan berlatih di lapangan terbuka?"
Satu pohon tumbang, kemudian yang lain lagi. Keringat mengucur dari pipi Musashi yang merah sehat, membasuh kelesuan dan kesepian beberapa tahun yang lewat itu.
Ia menyusun rencana ini ketika berdiri di dekat makam baru petani, di atas kuburan kecil itu. "Aku akan meletakkan pedang sementara waktu, demikian diputuskannya, "dan sebagai gantinya, bekerja dengan cangkul.Zen, kaligrafi, seni minum teh, melukis, dan mengukir patung-semua itu bermanfaat untuk menyempurnakan ilmu pedang seseorang. Apakah menggarap ladang tidak dapat juga memberikan sumbangan kepada latihannya? Bukankah petak tanah luas ini, yang menanti garapan tangan manusia merupakan ruang latihan yang sempurna? Dengan mengubah tanah datar yang tidak ramah menjadi tanah pertanian, ia dapat memajukan kesejahteraan generasi masa depan.
Selama ini ia menempuh hidup seperti pendeta pengemis Zen boleh dikatakan hidup atas prinsip menerima, yaitu tergantung pada makanan, peneduh, dan sumbangan orang lain. Ia ingin mengadakan perubahan radikal, karena sudah lama ia menduga bahwa hanya mereka yang benar-benar menanam padi dan sayuran sendiri, dapat benar-benar memahami betapa suci dan bernilai keduanya itu. Mereka yang belum pernah menanam itu, seperti pendeta yang tidak mempraktekkan apa yang mereka khotbahkan. atau pemain pedang yang belajar teknik-teknik perkelahian, tapi tak tahu apa-apa tentang Jalan Samurai.
Waktu masih kanak-kanak, ia sering dibawa ibunya ke ladang, dan di sana bekerja bersama petani penyewa dan orang-orang desa. Tetapi tujuan yang hendak dicapainya sekarang lebih dari sekadar menghasilkan makanan untuk makannya sehari-hari. Ia mencari makanan yang berfaedah untuk jiwanya. Ia ingin mempelajari arti bekerja untuk hidup, dan bukan sekadar meminta. Ia juga ingin menanamkan jalan pikirannya kepada orang-orang di daerah itu. Menurut penglihatannya, menyerahkan tanah itu kepada rumput liar dan widuri, dan membiarkannya ditimpa badai dan banjir berarti menurunkan hidup melarat dari generasi yang satu kepada generasi yang lain, tanpa membuka mata terhadap kemampuan mereka sendiri dan kemampuan tanah sekitar mereka.
"Iori," panggilnya, "ambil tali, dan ikat balok ini. Kemudian seret ke tepi sungai."
Ketika perintah sudah dilaksanakan, Musashi menyandarkan kapaknya ke sebuah pohon dan menghapus keringat di dahinya dengan siku. Kemudian ia turun dan mengupas kulit pohon itu dengan kapak. Gelap turun, dan mereka menyalakan api unggun dengan serpih-serpih kayu, serta membuat potongan-potongan kayu untuk bantal.
"Pekerjaan menarik, ya?" kata Musashi.
Dengan penuh kejujuran, Iori menjawab, "Saya pikir sama sekali tak menarik. Tak perlu saya menjadi murid Bapak, kalau cuma untuk belajar mengerjakan ini."
"Lama-lama kau akan suka."
Bersamaan dengan perginya musim gugur, bunvi-bunyi serangga pun menghilang. Dedaunan menjadi layu dan berjacuhan. Musashi dan Iori selesai mengerjakan pondok mereka, dan kini memusatkan perhatian pada tugas menyiapkan tanah untuk ditanami.
Pada suatu hari, ketika sedang mengamati tanah itu, tiba-tiba terpikir oleh Musashi bahwa suasana tanah itu seperti diagram keresahan sosial yang telah berlangsung seabad, sesudah Perang Onin. Tanpa pikiran-pikiran itu pun, sesungguhnya keadaan tanah tidaklah membesarkan hati.
Musashi tidak tahu bahwa Hotengahara sudah berabad-abad lamanya tertimbun abu gunung berapi berkali-kali dari Gunung Fuji, dan Sungai Tone sudah berulang-ulang membanjiri dataran itu. Apabila cuaca cerah, tanah itu kering sekali, tapi apabila turun hujan lebat, air memahat saluran-saluran baru, dan sekaligus mengangkut sejumlah besar lumpur dan bebatuan. Tidak ada alur pokok yang dapat secara alamiah menjadi curahan alur-alur kecil. Yang ada cuma lembah lebar yang tidak memiliki kemampuan untuk mengairi atau mengeringkan daerah itu secara menyeluruh. Kebutuhan yang paling mendesak adalah mengendalikan air itu.
Dan makin ia memperhatikan, makin sering ia bertanya pada diri sendiri, kenapa daerah itu tidak berkembang. "Pekerjaan ini takkan mudah," pikirnya, tergugah oleh tantangan yang dihadapkan tanah itu kepadanya. Menggabungkan air dan tanah untuk menciptakan ladang-ladang produktif tidak banyak bedanya dengan memimpin manusia lelaki dan perempuan demikian rupa, hingga peradaban bisa berkembang pesat. Bagi Musashi, tujuannya ini sesuai benar dengan cita-citanya dalam permainan pedang.
Mulailah ia melihat Jalan Pedang secara baru. Setahun-dua tahun yang lalu, ia hanya ingin menaklukkan semua saingannya, tapi sekarang ia tidak lagi puas pada jalan pikiran yang mengatakan bahwa pedang ada di dunia untuk tujuan memberi kekuasaan atas orang lain. Merobohkan orang, membuktikan kejayaan kepada mereka, memamerkan batas kekuatan dirisemua itu makin terasa sia-sia olehnya. Ia ingin menaklukkan dirinya sendiri, membuat hidup itu sendiri takluk kepadanya, mendorong orang lain untuk hidup, dan bukan untuk mati. Jalan Pedang tidak boleh dipergunakan semata-mata untuk menyempurnakan diri. Ia harus menjadi sumber kekuatan untuk menguasai orang banyak, dan memimpin mereka ke arah perdamaian dan kebahagiaan.
Ia sadar bahwa cita-citanya yang agung tidak lagi sekadar impian, dan cita-cita itu akan tetap ada selama la masih belum memiliki kekuasaan politik untuk melaksanakannya. Tetapi di tanah gurun ini ia tidak membutuhkan pangkat atau kekuasaan. Dan ia menceburkan diri dalam perjuangan itu dengan penuh kegembiraan dan semangat.
Hari-hari datang dan pergi; tanggul-tanggul kayu dicabut, batu kerikil disaring, tanah garapan diratakan, tanah dan batu dibuat tanggul. Musashi dan Iori bekerja dari sebelum fajar sampai sesudah bintang-bintang bersinar terang di langit.
Kerja keras mereka yang tak kenal lelah itu memikat perhatian. Orang-orang desa yang lewat sering kali berhenti, memperhatikan, dan memberi komentar.
"Menurut mereka, apa yang mereka kerjakan itu?"
"Bagaimana mereka bisa hidup di tempat macam itu?"
"Apa anak lelaki itu bukan anak si tua San'emon?"
Semua orang tertawa, tapi tidak semua berlalu demikian saja. Satu orang datang dengan bekal kebaikan hati semata-mata, dan katanya, "Saya tak suka mengatakan ini, tapi saya kira Anda membuang-buang waktu saja. Tulang punggung Anda bisa patah membuat ladang di sini. Satu kali saja datang badai, dalam semalam akan habis semuanya."
Ketika beberapa hari kemudian ia lihat mereka masih saja mengerjakannya, ia rupanya sedikit tersinggung. "Baiklah, Anda saya beri tahu: yang Anda lakukan di sini cuma membuat lubang-lubang air, dan itu tak ada gunanya."
Beberapa hari kemudian, ia menyimpulkan bahwa samurai yang aneh itu tak punya otak. "Orang-orang tolol!" teriaknya muak.
Hari berikutnya, datang satu rombongan untuk mengejek-ejek.
"Kalau memang ada yang bisa tumbuh di sini, kita tidak akan mandi keringat di bawah matahari panas, mengerjakan ladang kita sendiri, seperti orang-orang malang itu. Lebih baik kita tinggal di rumah, main suling."
"Dan tidak bakal ada bencana kelaparan."
"Kalian sia-sia saja mencangkul."
"Otak kalian seperti setumpukan rabuk."
Sambil mencangkul, Musashi terus menatap tanah, dan menyeringai. Iori merasa kurang senang, sekalipun sebelum itu Musashi sudah memarahinya karena menanggapi omongan para petani itu secara sungguh-sungguh. "Tapi, Pak," demikian ia mencebil, "yang mereka katakan yang itu-itu juga!"
"Jangan perhatikan."
"Saya tak tahan!" teriak anak itu sambil mengambil sebuah batu untuk dilemparkan kepada orang-orang yang mengejeknya. Mata Musashi membelalak, mencegahnya berbuat sesuatu. "Coba pikir apa ada gunanya? Kalau kau tidak berlaku sopan, tak akan kau kuterima jadi murid."
Telinga Iori terbakar mendengar omelan itu, tapi ia bukannya membuang batu tersebut, melainkan mengutuk dan melemparkannya ke sebuah batu besar. Batu itu pecah menjadi dua, hingga timbul bunga-bunga api darinya. Iori melemparkan cangkulnya dan menangis. Musashi mengabaikan saja, walaupun sesungguhnya tergugah juga hatinya. "Dia seorang diri di dunia ini, seperti aku," pikirnya.
Seolah bersimpati pada kesedihan anak itu, angin senja bertiup di atas dataran, menggerakkan segala bentuk kehidupan, langit menggelap, dan titik-titik hujan turun.
"Ayo, Iori, masuk!" panggil Musashi. "Kelihatannya akan datang angin topan." Dengan tergesa-gesa ia mengumpulkan peralatannya, dan berlari menuju rumah. Begitu ia sampai di dalam, hujan turun dengan derasnya.
"Iori!" teriaknya heran, karena ternyata anak itu tidak masuk bersamanya. Ia pergi ke jendela dan melayangkan pandang ke arah ladang. Hujan memercik ke wajahnya, dari ambang jendela. Kilat membelah udara, menyambar bumi. Ketika memejamkan mata dan menutupi telinga, ia bisa merasakan kekuatan halilintar itu.
Di tengah angin dan hujan, Musashi seolah melihat pohon kriptomeria di Kuil Shippoji itu, dan mendengar suara garang Takuan. Ia merasa bahwa apa pun yang telah ia capai semenjak itu, ia berutang budi pada keduanya. Ia ingin memiliki kekuatan agung yang dimiliki pohon itu, juga hasrat dingin tak tergoyahkan yang dimiliki Takuan. Kalau ia dapat menunjukkan sikap kepada Iori sebagaimana sikap kriptomeria tua itu kepadanya, ia merasa telah berhasil membayar kembali sebagian utangnya kepada biarawan itu.
"Iori! ... Iori!"
Tidak ada jawaban. Yang ada hanya halilintar dan hujan yang menghantam atap.
"Ke mana pula perginya?" tanyanya pada diri sendiri, tapi ia masih enggan pergi ke luar.
Ketika kemudian hujan mereda menjadi gerimis, barulah ia keluar. Ternyata Iori belum beranjak satu inci pun dari tempatnya. Dengan pakaian masih melekat pada tubuhnya, dan wajah masih cemberut marah, ia agak mirip dengan pengejut burung. Bagaimana mungkin seorang anak bersikap demikian kepala batu?
"Goblok!" umpat Musashi. "Balik sana ke rumah! Basah kuyup macam itu tak baik buatmu. Cepat, sebelum sungai-sungai itu naik! Bisa-bisa kau tidak kembali."
Iori menoleh, seakan berusaha menemukan asal suara Musashi, kemudian mulai tertawa. "Bapak kuatir? Hujan macam ini tak lama. Lihat, awan sudah bubar."
Musashi tak menduga bakal menerima pelajaran dari muridnya, karena itu agak kesal juga ia, padahal Iori sendiri tidak memikirkan lagi soal itu. "Marilah," kata anak itu sambil memungut cangkulnya. "Kita masih dapat bekerja sedikit lagi, sebelum matahari tenggelam."
Lima hari berikutnya, burung bulbul dan jagal bersahut-sahutan di bawah langit biru tak berawan. Retak-retak besar bermunculan di tanah, dan petak-petak kecil terbentuk di sekitar akar-akar mendong. Pada hari keenam, serangkaian awan hitam kecil-kecil muncul di kaki langit, dan dengan cepat menyebar di keluasan langit, sampai seluruh dataran tampak seolah terkena gerhana.
Iori mengamati langit itu sebentar, kemudian katanya dengan nada kuatir, "Kali ini benar-benar." Bahkan ketika ia masih berbicara, angin hitam sudah memusar di sekitar mereka. Dedaunan bergetar dan burungburung kecil berjatuhan ke tanah, seakan dijatuhkan oleh gerombolan pemburu yang diam tak terlihat.
"Hujan sebentar lagi?" tanya Musashi.
"Kalau langit begini, tidak cuma sebentar. Lebih baik saya pergi ke desa, dan Bapak lebih baik mengumpulkan alat-alat dan masuk rumah selekas-lekasnya." Sebelum Musashi dapat bertanya kenapa demikian, Iori sudah berangkat melintasi dataran, dan segera kemudian sudah tenggelam di lautan rumput yang tinggi.
Sekali lagi, penilaian Iori tentang cuaca itu tepat. Hujan deras yang tiba-tiba turun itu mengembangkan irama khasnya sendiri, dipacu oleh angin ribut menggila, yang menyebabkan Musashi buru-buru mencari peneduh. Untuk sesaat lamanya, hujan turun dalam kederasan tak terbayangkan, lalu tiba-tiba berhenti, dan akhirnya mulai lagi dengan lebih hebat. Malam tiba, tapi badai tak juga mereda. Kelihatannya langit mengubah seluruh bumi menjadi samudra. Beberapa kali Musashi merasa kuatir angin akan menyingkapkan atap. Lantai rumah sudah kotor oleh strap yang tercerabut dari sisi bawah atap itu.
Pagi tiba, kelabu dan tanpa bentuk. Tidak ada tanda-tanda di mana Iori berada. Musashi berdiri dekat jendela. Hatinya serasa terbang. Ia tak dapat melakukan sesuatu. Di sana-sini kelihatan sebatang pohon atau rumput-rumput. Di luar itu hanyalah lautan paya berlumpur. Untunglah pondok itu masih berada di atas permukaan air, tapi di tempat bantaran sungai yang biasanya kering, di bawah sana, sekarang menderas arus air yang menggelandang segalanya.
Karena tak tahu benar, apakah Iori barangkali sudah jatuh ke air dar, tenggelam, Musashi merasa waktu berjalan sangat lambat, sampai akhirnya dirasanya ia mendengar suara Iori memanggil, "Sensei! Sini!" Anak itu ada di seberang sungai, sedang mengendarai sapi kebiri. Sebuah bungkusan besar terikat di punggungnya.
Musashi memandang dengan cemas ketika Iori dengan sapinya langsung masuk aliran lumpur yang seakan-akan hendak mengisapnya itu.
Ketika sampai di tepi, ia guncangkan badannya untuk mengusir rasa dingin dan basah, tapi dengan tenang ia tuntun sapi itu ke samping pondok.
"Kau pergi ke mana?" tanya Musashi. Dalam suaranya ada nada marah, tapi sekaligus juga lega.
"Ke desa, tentu saja. Saya membawa banyak makanan. Badai ini sama dengan hujan setengah tahun, dan kalau nanti berhenti, kita akan terperangkap air banjir."
Bungkusan jerami mereka bawa ke dalam rumah, kemudian Iori membuka talinya dan mengeluarkan isinya satu per satu dari bungkusan kertas minyak. "Ini buah berangan... buncis miju-miju... ikan asin.... Kita takkan kehabisan makanan, biarpun sebulan-dua bulan kita menunggu turunnya air."
Mata Musashi berkaca-kaca oleh rasa terima kasih, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Terlampau malu ia tidak memikirkan semua itu. Bagaimana mungkin ia memimpin umat manusia, kalau ia tak bisa mengurusi masalah hidup-matinya sendiri? Kalau tidak karena jasa Iori, barangkali sekarang ia akan kelaparan. Sebaliknya, karena dibesarkan di daerah pertanian terpencil, anak itu sudah tahu menimbun perbekalan semenjak ia berumur dua tahun.
Musashi sungguh heran bahwa orang-orang desa mau menyediakan semua makanan itu. Mereka tak mungkin memilikinya dalam jumlah terlampau banyak. Ketika akhirnya ia dapat berbicara dan mengemukakan soal itu, Iori menjawab, "Saya gadaikan kantong uang saya, dan saya pinjam dari Tokuganji."
"Apa itu Tokuganji?"
"Itu kuil, sekitar dua mil dari sini. Ayah saya bilang, dalam kantong itu ada sedikit emas bubuk. Dia bilang, kalau saya mengalami kesulitan, saya mesti menggunakannya sedikit-sedikit. Kemarin, ketika cuaca buruk, saya ingat ucapannya itu." Iori memperlihatkan senyum kemenangan.
"Apa kantong itu bukan tanda mata dari ayahmu?"
"Ya. Sesudah rumah tua itu dibakar, satu-satunya barang yang masih tinggal adalah kantong itu dan pedang." Ia meraba gagang senjata pendek itu dalam obi-nya. Biarpun ujung pedang itu tidak memperlihatkan tanda tangan pembuatnya, Musashi sudah melihat ketika memeriksa pedang itu sebelumnya, bahwa pedang itu baik sekali mutunya. la juga merasa bahwa kantong warisan itu memiliki arti lebih besar dari sekadar emas urai di dalamnya.
"Kau jangan menyerahkan tanda mata pada orang lain. Hari-hari ini akan kuambil kembali kantong itu, tapi sesudah itu kau mesti janji takkan melepaskannya lagi."
"Baik, Pak."
"Di mana kau menginap?"
"Pendeta bilang, lebih baik saya tunggu di sana sampai pagi."
"Kau sudah makan?"
"Belum. Tapi Bapak belum juga, kan?" "Belum, tapi tak ada kayu api, kan?"
"Oh, banyak." Ia menunjuk ke ruangan di bawah pondok, dan sekali lagi Musashi mengagumi akal sehat anak itu. Dalam lingkungan seperti ini, kemampuan hidup tergantung pada wawasan ke depan, dan kesalahan kecil berarti hidup atau mati.
Ketika mereka selesai makan, Iori mengeluarkan buku. Kemudian, sambil berlutut sopan di depan gurunya, katanya, "Sambil menunggu turunnya air dan kita bisa kerja lagi, saya minta Bapak mengajari saya membaca dan menulis."
Musashi setuju. Pada hari berlangsungnya badai yang demikian suram, itulah cara yang baik untuk memanfaatkan waktu. Buku itu adalah satu jilid Bunga Rampai Kong-Hu-Cu. Iori mengatakan buku itu dihadiahkan orang kepadanya di kuil.
"Kau betul-betul ingin belajar?"
"Ya."
"Apa kau sudah banyak membaca?"
"Belum, baru sedikit."
"Siapa yang mengajarmu?"
"Ayah saya."
"Apa yang sudah kaubaca?"
"Ajaran Kecil."
"Kau senang membaca itu?"
"Ya, senang sekali," katanya bersemangat, dan matanya berbinar-binar.
"Baik, kalau begitu. Akan kuajarkan apa yang kutahu. Di kemudian hari, kau dapat menemukan orang yang lebih terpelajar untuk mengajarimu hal-hal yang tak kuketahui."
Mereka menggunakan sisa hari itu untuk belajar. Anak itu membaca keras, dan Musashi sekali-sekali menghentikannya, untuk membetulkan kesalahan atau menjelaskan kata-kata yang tidak ia mengerti. Mereka duduk memusatkan perhatian, sama sekali tak menghiraukan badai yang bertiup.
Banjir besar itu berlangsung dua hari lagi, dan selama itu tidak kelihatan tanah di mana pun.
Hari berikutnya masih juga turun hujan. Dengan gembira Iori mcengeluarkan bukunya lagi, katanya, "Kita mulai lagi?"
"Tidak hari ini. Cukup sudah kau membaca."
"Kenapa?"
"Kalau kau cuma membaca, kamu tidak melihat kenyataan di sekitarmu. Bagaimana kalau kau libur sehari dan bermain? Aku juga mau bersantai."
"Tapi saya tak bisa keluar."
"Kalau begitu, lakukan seperti yang kulakukan," kata Musashi sambil menelentang dan menyilangkan kedua tangan di bawah kepala. "Apa saya mesti berbaring?"
"Lakukan saja yang kausukai. Berbaring, berdiri, duduk-mana saja yang enak."
"Sesudah itu?
"Aku akan bercerita."
"Oh, senang sekali," kata Iori sambil menjatuhkan diri pada perutnya dan menggerak-gerakkan kakinya ke udara. "Cerita apa itu?"
"Sebentar," kata Musashi, mengingat-ingat dongeng yang disukainya ketika masih kecil. Ia pilih pertempuran antara Genji dan Heike. Semua anak lelaki menyukainya.
Iori ternyata bukan perkecualian. Ketika Musashi sampai pada bagian tentang bagaimana Genji dikalahkan dan Heike mengambil alih negeri, wajah anak itu menjadi suram. Terpaksa ia mengedip-ngedipkan mata agar tidak menangisi nasib sedih Nyonya Tokiwa. Tetapi semangatnya naik, ketika ia mendengar bagaimana Minamoto no Yoshitsune belajar ilmu pedang pada "setan-setan berhidung panjang" di Gunung Kurama, dan kemudian melarikan diri dari Kyoto.
"Saya suka Yoshitsune," katanya sambil duduk. "Apa betul di Gunung Kurama ada setan-setan itu?"
"Mungkin. Paling tidak, di dunia ini ada orang-orang yang bisa disebut setan. Tetapi yang mengajar Yoshitsune itu bukan setan betulan." "Lalu apa mereka itu?"
"Mereka itu pengikut setia Genji yang kalah. Mereka tak bisa keluar terang-terangan sementara Heike memegang kekuasaan, karena itu mereka bersembunyi di pegunungan, sampai kesempatan datang."
"Seperti kakek saya?"
"Betul, cuma kakekmu menunggu sepanjang hidupnya, dan kesempatan itu tak pernah datang. Sesudah Yoshitsune besar, para pengikut Genji yang setia dan pernah merawatnya di masa kecil, mendapat kesempatan yang mereka idam-idamkan."
"Saya akan dapat kesempatan mencapai idam-idaman kakek saya, kan?"
"Hmm. Ya, kupikir mungkin saja itu. Ya, memang kupikir begitu." Ditariknya Iori, diangkatnya, dan diseimbangkannya di atas tangan dan kakinya, seperti bola. "Sekarang cobalah menjadi orang besar!" Musashi tertawa.
Iori terkekeh-kekeh, dan katanya terbata-bata, "Pak... Bapak ini setan juga! Tunggu... saya jatuh nanti." Ia turun dan memijit hidung Musashi.
Hari kesebelas, akhirnya hujan berhenti. Musashi sudah tak sabar ingin berada di luar, tapi minggu berikutnya baru mereka dapat kembali bekerja di bawah matahari terang. Ladang yang dengan bersemangat mereka ukir dari tanah liar kini lenyap tanpa jejak. Sebagai gantinya, tinggal batu-batu karang dan sungai yang tadinya tidak ada. Air rupanya mengejek mereka, seperti halnya orang-orang desa.
Iori, yang tak melihat jalan untuk memperoleh kembali ladang yang sudah hilang itu, menengadah dan katanya, "Tempat ini tak bisa diharapkan. Mari kita cari tanah yang lebih baik di tempat lain."
"Tidak," kata Musashi tegas. "Sesudah air surut, tanah ini akan menjadi tanah pertanian yang baik sekali. Aku sudah memeriksa tempat ini dari setiap sudutnya, sebelum aku memilihnya."
"Bagaimana kalau turun hujan lebat lagi?"
"Akan kita atur supaya air tidak lewat tempat ini. Akan kita buat bendungan dari sini, sampai bukit di sana itu."
"Tapi itu butuh kerja banyak sekali."
"Kau rupanya lupa bahwa ini dojo kita. Satu kaki pun dari tanah ini takkan kulepaskan, sebelum aku melihat gandum tumbuh di atasnya."
Musashi melakukan pekerjaan yang ulet itu sepanjang musim dingin, sampai bulan kedua tahun baru. Ia butuh waktu beberapa minggu kerja keras untuk menggali parit, mengeringkan air, menimbun lumpur untuk pematang, dan kemudian menutupnya dengan batu-batu berat.
Tiga minggu kemudian, segala sesuatu hanyut lagi dibawa air.
"Lihat," kata Iori, "kita membuang-buang tenaga saja untuk sesuatu yang tak mungkin. Apa itu yang namanya Jalan Pedang?" Pertanyaan itu cukup tandas, tapi Musashi tak mau mundur.
Hanya sebulan berlalu, sebelum terjadi bencana berikutnya, berupa hujan salju berat yang dengan cepat diikuti dengan mencairnya es. Setiap kali kembali dari perjalanan ke kuil untuk mencari makanan, Iori berwajah murung, karena orang-orang di sana tanpa kenal ampun menjadikannya bulan-bulanan mengenai kegagalan Musashi. Dan akhirnya Musashi sendiri mulai kehilangan semangat. Dua hari penuh dan masuk hari ketiga ia duduk diam, merenungi dan menatap ladangnya.
Baru kemudian tiba-tiba terpikir olehnya. Tanpa disadarinya, ia telah mencoba menciptakan ladang persegi yang rapi, seperti umum terdapat di bagian-bagian lain Dataran Kanto, padahal daerah ini sesungguhnya tak cocok untuk itu. Di sini, sekalipun pada umumnya tanahnya datar, letak tanahnya agak bervariasi, demikian pula mutu tanah, dan ini dapat menjadi alasan untuk membuat ladang yang tidak teratur bentuknya.
"Bodoh sekali yang sudah kulakukan itu," serunya keras. "Aku mencoba memaksa air mengalir ke tempat yang kukehendaki, dan memaksa lumpur diam di tempat yang menurutku memang tempatnya. Tapi itu tak benar. Bagaimana mungkin? Air adalah air, dan lumpur adalah lumpur, tak dapat aku mengubah hakikat keduanya itu. Yang mesti kulakukan adalah belajar menjadi pelayan air dan pelindung tanah."
Jadi, dengan caranya sendiri ia telah menyerah pada sikap para petani. Tapi hari itu ia berubah menjadi pelayan alam. Ia tidak lagi mencoba memaksakan kemauannya pada alam. Dibiarkannya alam menempuh jalannya sendiri, sementara ia mencari kemungkinan-kemungkinan yang ada di luar jangkauan penghuni lain dataran itu.
Salju turun lagi, dan mencair. Air keruh mengalir pelan di atas dataran. Tapi Musashi telah mengembangkan pendekatan yang baru, sehingga ladangnya pun dapat bertahan.
"Hukum macam itu berlaku juga dalam mengatur orang banyak," katanya pada diri sendiri. Dalam buku catatannya ia menulis, jangan mencoba melawan jalannya alam semesta. Tapi pertama-tama yakinkan dirimu bahwa engkau mengenal jalan alam semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar