Prajurit Kiso
BELUM lagi jauh Musashi berlari, seorang musafir sudah berseru kepadanya, "Apa tadi Anda tidak bersama seorang perempuan muda dan anak laki-1aki?”
Musashi berhenti seketika. "Ya," katanya terenyak.
"Apa yang terjadi dengan mereka?"
Agaknya dialah satu-satunya orang yang belum mendengar cerita yang dengan cepat menjadi desas-desus umum sepanjang jalan raya itu. Seorang pemuda mendekati gadis itu dan... menculiknya! Pemuda itu terlihat mencambuki lembu dan membawanya masuk ke sebuah jalan samping di dekat perbatasan. Belum sempat musafir itu selesai mengulang ceritanya. Musashi sudah berangkat.
Dengan kecepatan setinggi-tingginya, ia masih membutuhkan waktu sejam untuk dapat sampai perbatasan yang ditutup pada pukul enam. Bersama tutupnya pintu itu, tutup juga warung-warung teh di kedua sisi jalan. Dengan wajah agak kalut, Musashi mendekati seorang lelaki tua yang sedang menumpuk bangku-bangku di depan warungnya.
"Ada apa, Pak? Ada yang terlupa?"
"Tidak. Saya mencari seorang perempuan muda dan anak lelaki yang beberapa waktu lalu lewat tempat ini."
"Apa gadis yang kelihatan seperti Fugen naik lembu itu?"
"Itu dia!" jawab Musashi tanpa berpikir. "Ada yang bilang, seorang ronin membawanya pergi. Barangkali Anda tahu ke mana perginya?"
"Saya tidak melihat sendiri peristiwa itu, tapi saya dengar mereka meninggalkan jalan utama dekat bukit kuburan-kepala. Artinya menuju Empang Nobu."
Musashi sungguh tak mengerti, siapa yang menculik Otsu, dan kenapa? Nama Matahachi tak pernah masuk dalam pikirannya. Menurut bayangannya, tentunya orang itu ronin gombal, seperti beberapa yang ia jumpai di Nara. Atau barangkali seorang dari bromocorah yang kata orang biasa berkeliaran di hutan sekitar tempat itu. Ia berharap penculik itu sekadar orang brengsek kecil-kecilan, bukan penjahat yang memang usahanya menculik dan menjual perempuan dan kadang-kadang dikenal kejam.
Ia berlari terus mencari Empang Nobu. Sesudah matahari terbenam, ia hampir tak dapat melihat jarak satu kaki ke depan, sekalipun bintang-bintang terang di atas. Jalan mulai mendaki. Ia simpulkan sedang memasuki perbukitan bawah Gunung Koma.
Karena tak melihat apa pun yang menyerupai empang, dan karena takut salah jalan, ia berhenti dan menoleh ke sekitar. Di tengah lautan kegelapan yang luas itu, ia dapat melihat sebuah rumah pertanian yang berdiri sendirian, juga deretan pohon penahan angin, dan gunung yang membayang gelap di atasnya.
Ketika ia dekati, kelihatan rumah itu besar dan kokoh, walaupun rumput liar tumbuh di atas atap lalangnya, dan atap lalang itu sendiri mulai membusuk. Di luar terlihat cahaya entah obor atau api dan di dekat dapur terlihat lembu belang. Ia yakin itulah binatang yang tadi dinaiki Otsu.
Ia mendekat mengendap-endap, dan berusaha terus bersembunyi dalam bayangan. Ketika sudah cukup dekat untuk melihat ke dalam dapur, ia dengar suara keras lelaki yang berasal dari lumbung di sebelah sana timbunan jerami dan kayu bakar.
"Simpan pekerjaanmu itu, Bu," kata orang itu. "Ibu selalu mengeluh penglihatan kurang baik, tapi Ibu terus bekerja dalam gelap."
Di kamar perapian sebelah dapur ada api, dan Musashi mengira mendengar desir roda pintal. Sesaat kemudian bunyi itu berhenti, dan ia dengar orang berjalan ke sana kemari.
Lelaki itu keluar dari lumbung dan menutup pintu di belakangnya. "Saya akan kembali sesudah mencuci kaki," serunya. "Ibu bisa menyiapkan makan malam."
Ia meletakkan sandalnya di atas batu, di tepi kali yang mengalir di belakang dapur. Sementara ia duduk memainkan kakinya di air, lembu itu mendekatkan kepala ke bahunya dan ia membelai hidung lembu itu.
"Ibu," panggilnya, "coba ke sini sebentar. Hari ini aku menemukan barang bagus. Coba tebak? ... Lembu! Lembu yang betul-betul bagus."
Diam-diam Musashi melintasi pintu depan rumah. Sambil merunduk pada batu di bawah jendela samping, ia melihat ke dalam ruangan yang ternyata kamar perapian. Barang pertama yang dilihatnya adalah sebatang lembing yang tergantung pada rak yang menghitam dekat bagian atas dinding. Sebuah senjata bagus yang dipoles dan dirawat dengan penuh kecintaan. Keping-keping emas berkilau redup pada kulit sarungnya. Musashi tak tahu untuk apa barang itu. Lembing itu bukan barang yang biasa ada dalam rumah petani. Para petani dilarang memiliki senjata, sekalipun mereka bisa memilikinya.
Orang itu muncul sebentar dalam terang api luar. Sepintas kilas Musashi tahu ia bukan petani biasa. Matanya terlampau terang, terlampau waspada. Ia mengenakan kimono kerja setinggi lutut dan pembalut kaki yang terpercik lumpur. Wajahnya bulat dan rambutnya yang lebat diikat di belakang dengan dua-tiga potong jerami. Walaupun tubuhnya pendek, tak lebih dari 165 cm, dadanya tebal dan badannya pejal. Kalau ia berjalan, langkahnya pasti dan mantap.
Asap mulai keluar dari jendela. Musashi mengangkat lengan kimono untuk menutup mukanya, tapi terlambat. Ia hirup asap itu sepenuh paruparunya, dan tak bisa lagi menghindari batuk.
"Siapa itu?" seru perempuan tua itu dari dapur. Ia masuk kamar perapian, dan katanya, "Gonnosuke, apa lumbung sudah kaututup? Ada pencuri jewawut di sini. Aku dengar batuknya."
Musashi menyelinap meninggalkan jendela dan menyembunyikan diri di antara pohon-pohon pelindung.
"Di mana?" teriak Gonnosuke, bergegas dari belakang rumah.
Perempuan tua itu muncul di jendela kecil. "Kira-kira di sini. Aku dengar tadi batuknya."
"Apa bukan karena telingamu?"
"Pendengaranku masih baik! Dan aku yakin melihat wajahnya di jendela. Asap api itu yang bikin dia batuk."
Pelan-pelan dan penuh curiga, Gonnosuke maju lima belas atau dua puluh langkah, sambil melihat hati-hati ke kanan dan ke kiri, seakan-akan ia seorang penjaga yang mengawal sebuah benteng. "Barangkali Ibu benar," katanya. "Aku seperti mencium bau manusia."
Mengambil isyarat dari pandangan Gonnosuke, Musashi menunggu kesempatan yang baik. Ada yang tampak mencolok pada postur orang itu, hal yang menyatakan bahwa sebaiknya ia berhati-hati. Tubuh orang itu tampak agak mencondong ke depan, mulai dari pinggangnya. Musashi tak dapat memastikan senjata apa yang dibawanya, tapi ketika ia menoleh, Musashi melihat orang itu memegang tongkat semeter di belakang punggungnya. Senjata itu bukan galah biasa. Melihat kilaunya, senjata itu telah banyak dipakai, dan rupanya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tubuh orang itu. Tak ada keraguan dalam pikiran Musashi bahwa orang itu hidup dengan senjatanya hari demi hari, dan tahu dengan tepat bagaimana menggunakannya.
Musashi memperlihatkan diri, berteriak, "Hei, tak peduli siapa kau, tapi aku datang menjemput teman-temanku!"
Gonnosuke menatapnya tanpa mengatakan sesuatu.
"Kembalikan padaku perempuan dan anak lelaki yang kauculik di jalan raya itu! Kalau mereka tidak cedera, kita hentikan persoalan sampai di sini Tapi kalau cedera, kau yang bertanggung jawab."
Salju yang mencair memenuhi kali-kali di daerah itu menyebabkan angin menusuk dingin, yang entah bagaimana menambah ketenangan waktu itu.
"Kembalikan mereka padaku. Sekarang!" Suara Musashi lebih tajam daripada tusukan angin.
Gonnosuke memegang tongkatnya dengan cara yang dinamakan pegangan terbalik. Rambutnya tegak seperti bulu landak. Ia pun menegakkan diri dan pekiknya, "Bedebah kau! Siapa yang kausebut penculik itu?"
"Kau! Kau tentu melihat anak lelaki dan perempuan itu tak ada pelindungnya, karena itu kau culik mereka dan kau bawa kemari. Keluarkan mereka!"
Tongkat itu menghilang dari sisi Gonnosuke dalam gerakan demikian cepat, hingga Musashi tak dapat melihat di mana akhir tangan orang itu, dan di mana awal senjatanya.
Musashi melompat ke samping. "Jangan lakukan perbuatan yang akan membuatmu menyesal!" katanya memperingatkan, kemudian mundur beberapa langkah.
"Kaupikir siapa kau ini, bajingan gila?" Sambil meludahkan jawabannya, Gonnosuke cepat beraksi lagi, dengan tekad tidak memberikan istirahat sedikit pun pada Musashi. Ketika Musashi beranjak sepuluh langkah, ia serentak menutup jarak itu.
Dua kali Musashi mulai menggerakkan tangan kanannya ke gagang pedangnya, tapi dua kali juga ia berhenti di tengah jalan. Pada detik ia meraba pedangnya, sikunya pasti terbuka. Musashi telah melihat cepatnya gerak tongkat Gonnosuke, dan ia tahu ia takkan sempat menyelesaikan gerakan itu. Ia pun melihat, jika ia membiarkan dirinya menganggap enteng lawannya yang pejal itu, ia akan mengalami kesulitan. Dan kalau ia tidak tinggal tenang, mengambil napas saja pun dapat membahayakannya.
Musashi harus mengukur kekuatan musuhnya, yang waktu itu menunjukkan jurus indah dengan kaki dan tubuhnya, jurus jenis Sempurna Tak-Terpatahkan. Musashi sudah mulai merasa bahwa petani ini memiliki teknik lebih unggul daripada teknik pemain pedang ahli mana pun yang pernah dijumpainya, dan pandangan matanya menunjukkan bahwa ia menguasai pula Jalan yang selama itu terus dicari Musashi.
Tapi hanya sedikit waktu yang dipunyainya untuk menaksir. Pukulan demi pukulan dijatuhkan hanya dalam hitungan detik, sementara kata-kata kutukan mencurah dari mulut Gonnosuke. Kadang-kadang ia menggunakan kedua tangannya, kadang-kadang hanya satu, dalam melakukan pukulan atas kepala, pukulan samping, tusukan dan geseran, dan semua itu dilakukan dengan kecekatan luar biasa. Sebilah pedang jelas terbagi atas mata dan gagangnya, dan hanya punya satu ujung, tapi kedua ujung tongkat dapat dipergunakan secara sama-sama mematikan. Gonnosuke menggunakan tongkat itu sama cekatannya dengan seorang pembuat gula-gula menangani gula-gula. Sekali panjang, sekali pendek, sekali tak tampak, sekali tinggi, dan sekali rendah. Ia kelihatan ada di mana-mana sekaligus.
Dari jendela, perempuan tua itu mendesak anaknya untuk berhati-hati.
"Gonnosuke! Kelihatannya dia bukan samurai biasa!" Tampak perempuan itu ikut terlibat dalam perkelahian anaknya.
"Jangan kuatir!" Karena tahu ibunya memperhatikan, semangat juang Gonnosuke naik setinggi-tingginya.
Saat itu juga Musashi menghindari hantaman ke arah bahunya, dan dengan gerakan yang sama, menyerobot ke arah Gonnosuke dan menangkap pergelangannya. Detik berikutnya petani itu sudah telentang, kakinya menendang-nendang ke udara.
"Tunggu!" pekik si ibu, heboh, sambil merusak kisi-kisi jendela. Rambutnya tegak, ia seperti disambar petir melihat anaknya dijatuhkan.
Pandangan liar pada wajah ibu itu menyebabkan Musashi tidak mengambil langkah logis berikutnya, yaitu melecutkan pedangnya dan menghabisi Gonnosuke. "Baik, aku akan menunggu," teriaknya mengangkangi dada Gonnosuke dan menjepitnya ke tanah.
Gonnosuke berjuang dengan gagah berani untuk membebaskan diri. Kakinya yang tidak dikuasai Musashi terbang ke udara, kemudian menubruk bumi ketika ia melengkungkan punggungnya. Hanya itu yang dapat dilakukan Musashi, supaya Gonnosuke tetap di bawah.
Si ibu datang berlari dari pintu dapur sambil menjerit mencaci maki. "Lihat dirimu itu! Bagaimana mungkin kau jadi macam itu?" Tapi kemudian ia menambahkan, "Jangan menyerah. Aku di sini membantumu."
Karena tadi ia minta Musashi menunggu, Musashi mengira perempuan itu akan berlutut dan mohon padanya agar tidak membunuh anaknya. Tapi sekali tatap, ia tahu bahwa ia salah besar. Perempuan itu memegang lembing yang sudah terhunus di belakang badannya. Musashi melihat kilaunya, dan ia merasa mata perempuan itu menyala menembus punggungnya. "Mau pakai lemparan tipuan, ya? Kaupikir kami cuma petani bodoh?"
Musashi tak dapat membalik untuk menangkis serangan dari belakang. karena Gonnosuke terus menggeliat dan mencoba memaksa Musashi berada pada kedudukan yang menguntungkan ibunya.
"Jangan kuatir, Bu!" katanya. "Akan kuusahakan. Dan jangan terlalu dekat."
"Tenang," kata ibunya mengingatkan. "Kau tak boleh kalah dengan orang macam dia! Ingat nenek moyangmu! Apa yang terjadi dengan darah yang kauwarisi dari Kakumyo Agung, yang berjuang berdampingan dengan Jenderal Kiso?"
"Aku takkan lupa!" pekik Gonnosuke. Baru saja kata-kata itu keluar dari mulutnya, ia berhasil mengangkat kepalanya dan membenamkan giginya ke paha Musashi, dan bersamaan dengan itu melepaskan tongkatnya dan memukul Musashi dengan kedua tangannya. Ibunya memilih saat itu untuk menujukan lembingnya ke punggung Musashi.
"Tunggu!" teriak Musashi.
Kini sampailah mereka pada tahap di mana pemecahan persoalan hanya mungkin dicapai dengan kematian salah seorang dari mereka. Sekiranya Musashi yakin benar bahwa dengan memperoleh kemenangan ia dapat membebaskan Otsu dan Jotaro, ia akan menekan terus. Sekaranglah saat terbaik baginya untuk menghentikan pertempuran dan membicarakan persoalannya. Ia memutar bahu ke arah perempuan tua itu dan memintanya menurunkan lembing.
"Apa yang mesti kulakukan, Nak?"
Gonnosuke masih terpaku di tanah, tapi ia mulai berpikir kembali. Barangkali ronin ini punya alasan untuk menduga bahwa teman-temannya ada di sini. Tak ada gunanya membahayakan jiwa, kalau hanya karena salah paham.
Mereka saling melepaskan cengkeraman, dan dalam beberapa menit saja menjadi jelas, bahwa semua itu cuma kesalahan.
Ketiga orang itu mengundurkan diri ke rumah, ke depan api yang menyala-nyala. Sambil berlutut di dekat perapian, si ibu berkata, "Berbahaya sekali! Bayangkan, tak ada alasan sama sekali buat berkelahi!"
Ketika Gonnosuke bersiap duduk di samping ibunya, si ibu menggelengkan kepala. "Sebelum kau duduk," kata ibunya, "bawa samurai ini melihat-lihat rumah, supaya dia membuktikan sendiri, teman-temannya tak ada di sini." Kemudian kepada Musashi, "Lihatlah baik-baik, dan saksikan sendiri."
"Gagasan bagus juga," kata Gonnosuke setuju. "Mari ikut saya. Periksa rumah ini dari atas sampai bawah. Saya tak suka dicurigai menculik."
Musashi sudah duduk, dan ia menolak tawaran itu.
"Tak perlu. Dari cerita Anda, saya sudah yakin Anda tak ada hubungan dengan penculikan itu. Maafkan saya telah menuduh Anda."
"Sebagian juga kesalahan saya," kata Gonnosuke meminta maaf. "Mestinya saya tanyakan dulu, apa yang Anda bicarakan itu, sebelum naik darah."
Kemudian Musashi bertanya agak ragu-ragu tentang lembu itu. Ia juga menjelaskan bahwa ia yakin benar lembu itulah yang disewanya di Seta.
"Saya kebetulan sekali menemukan lembu itu," jawab Gonnosuke. "Petang tadi, saya ada di Empang Nobu, menjaring ikan lumpur, dan dalam perjalanan pulang saya lihat lembu itu terbenam sebelah kakinya di lumpur. Tempat itu memang berawa-rawa. Makin dia meronta, makin dalam dia terbenam. Dia heboh bukan main, jadi saya tarik dia keluar. Ketika saya tanya-tanyakan ke sekitar, ternyata lembu itu bukan milik siapa-siapa, jadi saya pikir tentunya seorang pencuri sudah mencurinya dan kemudian menelantarkannya.
"Nilai lembu itu sekitar setengah manusia di pertanian, dan lembu ini lembu baik, susunya masih muda." Gonnosuke tertawa. "Padahal saya sudah mengambil kesimpulan, tentunya langit mengirim lembu itu untuk saya, karena saya miskin dan tak dapat melakukan apa pun buat ibu saya tanpa sedikit bantuan tangan gaib. Saya tidak keberatan mengembalikan binatang itu kepada pemiliknya, tapi saya tak tahu siapa pemiliknya."
Musashi melihat bahwa Gonnosuke menyampaikan ceritanya dengan ketulusan yang sederhana, seperti biasa ditunjukkan orang yang dilahirkan dan dibesarkan di desa.
Ibunya menunjukkan sikap simpatik. "Aku yakin ronin ini prihatin dengan nasib teman-temannya." katanya. "Makan malamlah dulu, kemudian bawa dia mencarinya. Kuharap mereka masih di daerah empang itu. Bukit-bukit itu bukan tempat yang tepat buat orang dari daerah lain. Penuh dengan bandit, pencuri segala macam barang, kuda, sayuran, apa saja! Soal ini kelihatannya kerja mereka juga!"
Angin berembus bagai bisikan, kemudian mengencang menjadi siulan keras, dan akhirnya meraung di antara pepohonan, mendatangkan kebinasaan pada tumbuh-tumbuhan kecil.
Ketika angin meneduh dan bintang-bintang di langit diam mengancam, Gonnosuke mengangkat obornya tinggi-tinggi, menanti Musashi menyusulnya.
"Sayang," katanya, "tapi rupanya tak ada yang tahu tentang mereka. Tinggal satu rumah lagi dari tempat ini sampai empang. Tempatnya di belakang hutan di sana itu. Penghuninya pada pokoknya bertani, dan selebihnya berburu. Kalau dia tak dapat menolong kita, tak ada lagi tempat yang dapat kita lihat."
"Terima kasih atas kesediaan ikut bersusah-payah. Kita sudah menengok lebih dari sepuluh rumah, jadi saya kira tak banyak harapan bahwa mereka ada di sekitar daerah ini. Kalau di rumah berikut ini tidak kita temukan apa-apa, kita akhiri saja, dan kita pulang."
Waktu itu lewat tengah malam. Musashi berharap setidaknya dapat menemukan jejak Jotaro, tapi ternyata tak seorang pun melihatnya. Sementara itu, gambaran yang diberikannya pada orang banyak tentang Otsu tidak mendatangkan apa-apa, kecuali pandangan kosong dan perhentian-perhentian lama di desa.
"Kalau jalan yang Anda pikirkan, tidak jadi soal buat saya. Saya dapat berjalan sepanjang malam. Apa perempuan dan anak lelaki itu pembantu Anda? Atau saudara lelaki? Atau saudara perempuan?"
"Mereka orang yang paling dekat dengan saya."
Sebetulnya masing-masing pihak masih ingin bertanya lebih banyak: tentang yang lain, tapi Gonnosuke terdiam, kemudian maju selangkah-dua langkah mendahului dan memimpin Musashi menyusuri jalan setapak menuju Empang Nobu.
Musashi ingin sekali tahu tentang keterampilan Gonnsuke memainkan tongkat dan cara ia memperolehnya, tapi rasa kesopanan mencegahnya bertanya. Ia merasa pertemuannya dengan orang itu akibat kecelakaan dan kecerobohannya sendiri, namun ia merasa sangat bersyukur. Sungguh sayang kalau ia tidak menyaksikan teknik memikat petarung besar ini.
Gonnosuke berhenti, katanya, "Lebih baik Anda tunggu di sini. Orang-orang itu barangkali tidur, dan kita tidak ingin mereka jadi takut. Saya pergi sendiri, melihat apa ada yang dapat saya ketahui."
Ia menuding rumah yang atap lalangnya tampak seperti hampir terkubur di tengah pepohonan. Langkah-langkah larinya diiringi gemeresik pohon bambu. Tak lama kemudian, Musashi mendengarnya mengetuk keras pintu rumah itu.
Beberapa menit kemudian, ia kembali membawa cerita yang memberikan Musashi petunjuk nyata pertama. Ia butuh waktu beberapa lama untuk memberikan pengertian pada suami-istri di rumah itu tentang apa yang ditanyakannya, tapi akhirnya sang istri bercerita kepadanya tentang peristiwa yang terjadi sore itu.
Sesaat sebelum matahari tenggelam, dalam perjalanan pulang berbelanja, perempuan itu melihat seorang anak lelaki berlari menuju Yabuhara dengan tangan dan kaki kotor oleh lumpur. Anak itu membawa pedang kayu panjang dalam obi-nya. Ia hentikan anak itu dan bertanya apa yang terjadi, tapi anak itu balas bertanya kepadanya, di mana kantor wakil shogun. Selanjutnya anak itu mengatakan bahwa seorang jahat telah melarikan teman seperjalanannya. Kepada anak itu, perempuan tersebut menyatakan bahwa ia cuma membuang-buang waktu, karena perwira-perwira shogun takkan melakukan pencarian atas orang yang tidak penting. Jika yang dicari itu orang besar atau penting, atau ada perintah dari atasan, baru mereka akan meneliti setiap gumpal tahi kuda dan setiap butir pasir yang ada. Bagi mereka, rakyat biasa bukan apa-apa. Bagaimanapun, bukan hal luar biasa kalau seorang perempuan diculik atau seorang musafir dihadang oleh para penyamun. Hal-hal seperti itu terjadi pagi, siang, maupun malam.
Ia suruh anak itu pergi lewat Yabuhara, ke tempat bernama Narai. Di sebuah persimpangan jalan yang mudah terlihat di sana, ia akan menemukan rumah seorang pedagang ramuan bumbu masak. Pedagang itu bernama Daizo. Ia akan mau mendengarkan ceritanya, dan kemungkinan sekali akan memberikan bantuan kepadanya. Tidak seperti para pejabat, Daizo tidak hanya bersimpati kepada orang lemah, melainkan juga akan berusaha keras membantu mereka, jika menurut pendapatnya persoalan mereka itu ada nilainya.
Gonnosuke mengakhiri ceritanya dengan mengatakan, "Rasanya anak yang dimaksudnya itu Jotaro. Bagaimana pendapat Anda?"
"Saya yakin," kata Musashi. "Saya kira yang terbaik adalah pergi ke Narai secepat-cepatnya dan menjumpai orang yang namanya Daizo itu. Berkat bantuan Anda, setidaknya saya sudah mendapat gagasan, apa yang mesti saya perbuat."
"Bagaimana kalau Anda menghabiskan sisa malam ini di rumah saya? Anda dapat berangkat pagi hari, sesudah sarapan."
"Boleh?"
"Tentu. Kalau kita menyeberang Empang Nobu, kita dapat sampai di rumah lebih cepat dari separuh waktu yang kita butuhkan untuk kemari. Saya sudah minta pada orang tadi, dan dia bilang kita dapat menggunakan perahunya."
Empang yang terletak di ujung jalan pendek yang menuruni bukit itu tampak seperti kulit genderang raksasa. Empang itu dilingkungi pohonpohon liu lembayung, dan garis tengahnya kira-kira seribu dua ratus atau tiga ratus meter. Bayangan gelap Gunung Koma tercermin di airnya. termasuk langit penuh bintang.
Mereka meluncur tenang melintas tengah empang itu. Musashi memegang obor dan Gonnosuke memainkan galah. Pantulan obor di air yang lembut jauh lebih merah daripada obornya sendiri.
1 komentar:
👍
Posting Komentar