Guru yang Ditinggalkan
HUTAN di sekitar Tempat Suci Hirakawa Tenjin itu riuh oleh suara jangkrik. Seekor burung hantu berbunyi, sementara Musashi berjalan dari pintu gerbang ke pendopo rumah Obata.
"Selamat siang," serunya, tetapi salamnya itu memantul kembali, seakan-akan dari gua yang kosong.
Beberapa waktu kemudian, didengarnya langkah-langkah kaki. Samurai muda yang muncul mengenakan dua bilah pedang itu jelas bukan sekadar bawahan yang ditugaskan menerima tamu.
Tanpa repot-repot berlutut, ia bertanya, "Boleh saya tahu nama Anda?" Umurnya tak lebih dari dua puluh empat atau dua puluh lima tahun, tapi ia memberikan kesan sebagai orang yang mesti diperhitungkan.
"Nama saya Miyamoto Musashi. Apakah benar dugaan saya, bahwa ini akademi pengetahuan militer Obata Kagenori?"
"Ya, betul," terdengar jawabannya dengan nada pendek-pendek. Dari tingkah laku samurai itu, jelaslah ia mengharap Musashi akan menjelaskan, bagaimana ia berkelana untuk menyempurnakan pengetahuannya dalam seni perang, dan seterusnya.
"Salah seorang siswa perguruan Anda terluka dalam perkelahian," kata Musashi. "Dia sekarang dirawat oleh penggosok pedang Zushino Kosuke yang, saya yakin, Anda kenal. Saya datang kemari atas permintaan Kosuke."
"Oh, tentunya Shinzo!" Selintas samurai muda itu tampak terkejut, tapi ia dapat memulihkan dirinya kembali dengan cepat. "Maafkan saya. Saya anak tunggal Kagenori, Yogoro. Saya ucapkan terima kasih atas jerih payah Anda datang menyampaikan berita ini kemari. Apakah hidup Shinzo dalam bahaya?"
"Kelihatannya lebih baik tadi pagi, tapi masih terlalu dini baginya untuk dipindahkan. Saya pikir lebih bijaksana kalau dia tinggal sementara waktu di rumah Kosuke."
"Saya mohon Anda menyampaikan terima kasih kami kepada Kosuke."
"Dengan senang hati."
"Sebenarnya, semenjak ayah saya terbaring di tempat tidur, Shinzo menggantikan tempatnya dalam memberikan kuliah, sampai musim gugur lalu, ketika tiba-tiba dia pergi. Seperti Anda lihat, hampir tak ada orang sekarang di sini. Saya menyesal tak dapat menerima Anda sepantasnya."
"Hal itu tak penting. Tapi kalau boleh bertanya, apakah ada perseteruan antara perguruan Anda dan Sasaki Kojiro?"
"Ya. Saya sedang tak ada di rumah ketika permusuhan itu dimulai, karena itu saya tidak tahu detailnya, tetapi rupanya Kojiro menghina ayah saya. Tentu saja murid-murid marah. Mereka memutuskan sendiri untuk menghukum Kojiro, tetapi Kojiro berhasil membunuh beberapa orang di antara mereka. Menurut penilaian saya, Shinzo pergi karena akhirnya dia menyimpulkan bahwa dia sendiri harus membalas dendam."
"Begitu. Kalau demikian, mulai jelas soalnya. Tapi, kalau boleh, saya ingin memberikan sedikit nasihat kepada Anda. Jangan perangi Kojiro. Dia tak dapat dikalahkan dengan teknik-teknik pedang yang biasa, Dan dia lebih tak mempan lagi oleh strategi yang rumit. Sebagai petarung, pembicara, Dan ahli strategi, dia tak ada bandingannya, termasuk di antara ahli-ahli paling besar yang hidup sekarang."
Penilaian ini menimbulkan ledakan api kemarahan di mata Yogoro. Dan melihat ini, Musashi merasa bijaksana kalau ia mengulangi peringatannya. "Biarlah orang angkuh itu berjaya," tambahnya. "Tak ada artinya menentang bencana hanya karena keluhan tak berarti. Jangan layani pikiran yang menyatakan bahwa kekalahan Shinzo mengharuskan Anda mengadakan perhitungan. Kalau Anda berbuat demikian, Anda hanya akan menyusul langkahnya. Dan itu bodoh, bodoh sekali."
Sesudah Musashi tidak kelihatan lagi, Yogoro menyandarkan diri ke dinding dengan tangan terlipat. ia menggerutu pelan, dengan suara sedikit menggeletar, "Keadaan sudah begini parah. Shinzo gagal!" Sambil menatap kosong ke langit-langit, ia memikirkan surat Shinzo yang ditinggalkan untuknya. Dalam surat itu, Shinzo mengatakan tujuan kepergiannya adalah membunuh Kojiro, dan kalau tidak berhasil, Yogoro barangkali takkan melihatnya lagi dalam keadaan hidup.
Sekarang Shinzo ternyata tidak mati, tapi itu tidak menyebabkan kekalahannya terasa kurang hina. Karena perguruan terpaksa menangguhkan kegiatannya, orang banyak pada umumnya menyimpulkan bahwa Kojiro benar—akademi Obata adalah perguruan para pengecut, atau paling tidak untuk kaum teoretikus yang tak punya kemampuan praktis. Hal ini telah menyebabkan perginya sejumlah murid. Lain-lainnya, yang merasa prihatin dengan penyakit Kagenori atau merosotnya Gaya Koshu, telah beralih pada Naganuma yang menjadi saingan mereka. Hanya dua-tiga orang yang masih tinggal.
Yogoro memutuskan untuk tidak menyampaikan kepada ayahnya berita tentang Shinzo. Agaknya satu-satunya langkah yang dapat diambilnya adalah melayani orang tua itu sebaik-baiknya, sekalipun dokter berpendapat bahwa penyembuhan tidaklah mungkin.
"Yogoro, di mana kau?"
Yogoro tak habis-habisnya merasa kagum, bahwa sekalipun ayahnya itu sudah berada di ambang maut, suaranya terdengar sebagai suara orang yang betul-betul sehat, manakala ia ingin memanggil anaknya.
"Ya." Ia lari ke kamar si sakit, berlutut, dan katanya, "Bapak memanggil?"
Seperti sering dilakukannya apabila lelah berbaring menelentang, Kagenori bertumpu pada sikunya di dekat jendela, dan mengistirahatkan lengannya di bantal. "Siapa samurai yang baru saja keluar dari gerbang?" tanyanya.
"Hh," kata Yogoro, sedikit bingung. "Oh, dia. Bukan orang penting. Cuma suruhan."
"Suruhan dari mana?"
"Yah, rupanya Shinzo mengalami kecelakaan. Samurai itu datang memberitahukan pada kita. Dia mengatakan namanya Miyamoto Musashi."
"Mm. Dia bukan kelahiran Edo, ya?"
"Bukan. Saya dengar dia dari Mimasaka. Seorang ronin. Apa Bapak mengenalnya?"
"Tidak," jawab Kagenori, disertai gelengan keras jenggotnya yang putih jarang. "Tak ingat aku, apa pernah melihat dan mendengar tentang dia. Tapi ada sesuatu yang istimewa pada dirinya. Dalam hidupku, sudah banyak aku bertemu orang hebat, di medan pertempuran maupun dalam kehidupan biasa. Ada yang sangat hebat, dan mereka itu orang-orang yang sangat kuhargai. Tapi orang yang dapat kuanggap samurai murni dalam arti sebenar-benarnya sedikit sekali jumlahnya. Orang itu tadi—Musashi, katamu?—menarik perhatianku. Aku ingin bertemu dengannya, omong-omong sedikit. Coba suruh dia kembali kemari."
"Baik, Pak," jawab Yogoro patuh. Tapi, sebelum bangkit berdiri, ia meneruskan dengan nada sedikit heran. "Menurut Bapak, apa yang istimewa padanya? Bapak hanya melihatnya dari jauh."
"Kau takkan mengerti. Dan pada saat kau mengerti nanti, kau pasti sudah tua dan layu macam aku."
"Tapi tentunya ada apa-apanya."
"Aku mengagumi kewaspadaannya. Dia tak mau ambil risiko, biarpun di depan orang tua yang sudah sakit macam aku. Waktu masuk gerbang, dia berhenti dan melihat ke sekitarnya, ke arah susunan rumah ini, ke arah jendela-jendela, terbuka atau tertutup, ke arah jalan yang menuju halaman semuanya. Dia lakukan semua itu dengan sekali pandang. Tidak ada yang luar biasa dalam hal itu. Siapa pun akan menyimpulkan dia cuma berhenti sebentar sebagai tanda hormat. Aku kagum."
"Kalau demikian, apa Bapak mengira dia samurai sejati?"
"Barangkali. Aku yakin dia orang yang memesona untuk diajak bicara. Coba panggil dia."
"Bapak tidak takut akan jelek akibatnya?" Kagenori sudah demikian bersemangat, dan Yogoro teringat nasihat dokter bahwa ayahnya tak boleh bicara terlalu lama.
"Jangan bebani kepalamu dengan soal kesehatanku. Sudah bertahun-tahun aku menanti bertemu dengan orang macam itu. Aku mempelajari ilmu militer selama ini bukan untuk kuajarkan pada anak-anak. Kuakui, teori-teori ilmu militerku disebut Gaya Koshu, tapi teori-teori itu bukan sekadar kelanjutan dari rumus-rumus yang dipakai oleh para Prajurit Koshu ternama. Gagasan-gagasanku berlainan dengan gagasan Takeda Shingen, Uesugi Kenshin, Oda Nobunaga, ataupun jenderal-jenderal lain yang berjuang untuk menguasai negeri ini. Tujuan ilmu militer sudah berubah sejak itu. Teoriku tertuju ke arah pencapaian perdamaian dan kemantapan. Kau tahu sebagian dart hal-hal ini, tapi persoalannya adalah pada siapa aku dapat mempercayakan gagasan ini."
Yogoro terdiam.
"Anakku, banyak hat yang ingin kusampaikan padamu, tapi kau masih belum matang, terlalu belum matang untuk mengenali nilai-nilai menonjol pada orang yang baru saja kaujumpai tadi."
Yogoro menundukkan matanya, tetapi menerima kecaman itu dengan diam.
"Memang aku cenderung membenarkan semua yang kau lakukan, tapi melihatmu belum matang, tak ada kesangsian dalam hatiku. Kau belum menjadi orang yang dapat meneruskan kerjaku, karena itu aku harus mencari orang yang tepat dan mempercayakan masa depanmu kepadanya. Selama ini aku menanti datangnya orang yang tepat itu. Ingat, apabila bunga sakura jatuh berguguran, dia serahkan tugas pada angin untuk menyebarkan tepung sarinya."
"Bapak jangan jatuh dulu. Bapak harus terus hidup."
Orang tua itu menatap, dan mengangkat kepalanya. "Bicara macam itu membuktikan bahwa kau masih kanak-kanak! Sekarang pergilah, kejar samurai itu!"
"Baik, Pak!"
"Jangan desak dia. Katakan saja apa yang kukatakan padamu, dan bawa dia kemari."
"Baik, Pak!"
Yogoro berangkat dengan berlari. Begitu sampai di luar, mula-mula ia mencoba menempuh arah yang menurut penglihatannya diambil oleh Musashi. Kemudian ia periksa seluruh pekarangan tempat suci, bahkan ia berlari ke luar, ke jalan utama lewat Kojimachi, tapi sia-sia.
Namun ia tidak terlalu gelisah, karena sesungguhnya ia tidak begitu yakin akan keunggulan Musashi sebagaimana diungkapkan ayahnya, dan ia pun tidak merasa berterima kasih atas peringatan Musashi. Kata-kata tentang kemampuan luar biasa Kojiro, tentang bodohnya "menanggung risiko bencana hanya untuk keluhan tak berarti" itu tak sanggup ia terima. Seakan-akan kunjungan Musashi itu hanya untuk menyanyikan pujian kepada Kojiro.
Selagi mendengarkan kata-kata ayahnya dengan sikap tunduk tadi, ia sudah berpikir sendiri, "Aku tak semuda dan sementah yang dikira ayahku." Kenyataannya waktu itu ia betul-betul tak peduli dengan pendapat Musashi.
Kedua, mereka hampir sebaya. Sekalipun misalnya bakat Musashi luar biasa, toh apa-apa yang diketahui dan bisa dilakukan Musashi ada batasnya. Di masa lalu, Yogoro pernah pergi setahun, dua tahun, atau bahkan tiga tahun, untuk menempuh hidup sebagai shugyosha pertapa. Ia pernah tinggal dan belajar sebentar di perguruan ahli militer lain, dan ia mempelajari agama Zen di bawah seorang guru yang keras. Namun toh ayahnya mengemukakan hal yang menurut dugaannya hanya pendapat yang dibesar-besarkan tentang nilai seorang ronin yang tak dikenal itu, padahal ayahnya hanya melihat orang itu selintas. Bukan itu saja, ayahnya bahkan menyarankan agar ia mengambil Musashi sebagi model.
"Lebih baik aku kembali," pikirnya sedih. "Kukira tak ada cara untuk meyakinkan orang tua bahwa anaknya sudah bukan anak kecil lagi." Ia ingin sekali suatu hari nanti Kagenori memperhatikannya dan tiba-tiba menyadari bahwa anaknya sudah dewasa dan sekaligus seorang samurai yang berani. Ia sangat sedih bahwa mungkin ayahnya sudah meninggal sebelum datangnya hari itu.
"Hei, Yogoro! Ini Yogoro, kan?"
Yogoro memutar tumitnya, dan melihat bahwa kata-kata itu diucapkan oleh Nakatogawa Handayu, seorang samurai dari Keluarga Hosokawa.
Akhir-akhir ini mereka tidak pernah bertemu, tetapi Handayu pernah mengikuti kuliah Kagenori secara teratur.
"Bagaimana dengan kesehatan guru kita yang terhormat? Tugas-tugas resmi menyibukkan saya, hingga tak ada waktu untuk berkunjung."
"Hampir sama saja keadaannya, terima kasih."
"Hei, saya dengar Hojo Shinzo menyerang Sasaki Kojiro, dan dikalahkan."
"Kau sudah mendengar?"
"Ya, orang-orang membicarakan hal itu tadi pagi, di rumah Yang Dipertuan Hosokawa."
"Kejadiannya baru tadi malam."
"Kojiro adalah tamu Iwama Kakubei. Kakubei tentunya sudah menyebarkan berita itu. Bahkan Yang Dipertuan Tadatoshi mengetahuinya."
Yogoro terlalu muda, hingga tidak bisa masa bodoh saja mendengarkan kata-kata itu, tapi ia segan memperlihatkan kemarahan karena dorongan yang tak terkendalikan. Maka ia tinggalkan Handayu selekas-lekasnya, dan bergegas pulang. Pikirannya sudah bulat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar