Serangga-Serangga Mendengung
Kojiro duduk di kamar belakang rumah kecil yang dipinjamkan Kakubei. Ia mengamati Galah Pengering. Sesudah peristiwa dengan Hojo Shinzo, ia minta Kakubei mendesak tukang gosok pedang itu untuk mengembalikan senjatanya. Senjatanya kembali pagi itu.
"Pasti takkan digosok," pikir Kojiro, tapi ternyata pedang itu sudah digarap dengan saksama dan penuh perhatian, melebihi harapannya yang paling tinggi. Dari logam biru hitam, yang mengombak seperti aliran sungai dalam, sekarang muncul sinar putih cemerlang, cahaya abad-abad yang lewat, noda-noda karat seperti cacat lepra sudah hilang. Pola tempaan yang berombak antara mata pedang dan garis punggung pedang, yang selama itu penuh noda darah, kini indah cemerlang seperti bulan berkabut mengambang di langit.
"Seperti melihatnya pertama kali," pikir Kojiro dengan kagum. Karena tak dapat melepaskan pandang dari pedang itu, tidak didengarnya tamu berseru dari depan rumah,
"Kau di rumah?... Kojiro?"
Bagian bukit itu diberi nama Tsukinomisaki, karena indahnya pemandangan di sana waktu bulan naik. Dari ruang duduknya, Kojiro dapat melihat hamparan teluk dari Shiba sampai Shinagawa. Di seberang teluk, awan-awan berbusa muncul sampai setinggi matanya. Pada waktu itu, warna putih pada perbukitan yang jauh dan warna biru kehijauan pada air seperti berpadu dengan pedang.
"Kojiro! Apa tak ada orang di sini?" Kali ini suara itu datang dari pintu samping yang dijalari rumput.
Sadar dari lamunannya, Kojiro berteriak, "Siapa itu?" lalu memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya. "Saya di belakang. Kalau mau ketemu saya, masuk saja ke beranda."
"Oh, di sini kau rupanya," kata Osugi, yang lalu berjalan memutar, ke tempat yang memungkinkannya melihat ke dalam rumah.
"Wah, ini kejutan," kata Kojiro dengan hangat. "Apa yang mendorong Nenek keluar pada hari sepanas ini?"
"Tunggu sebentar. Aku mau membasuh kaki. Sesudah itu, kita bicara."
"Sumurnya di sana. Hati-hati, dalam sekali. Hei, Bung, kawani Nenek ini, dan jaga jangan sampai terjerumus." Orang yang dipanggil "Bung" itu anggota rendahan gerombolan Hangawara, yang dikirim untuk mengawal Osugi.
Sesudah membasuh wajahnya yang berkeringat dan mencuci kakinya, Osugi masuk rumah dan bertukar salam sedikit. Melihat bahwa angin menyenangkan bertiup dari teluk, ia memicingkan mata, dan katanya, "Rumah ini bagus dan sejuk. Apa kau tidak takut jadi malas, tinggal di tempat menyenangkan macam ini?"
Kojiro tertawa. "Saya bukan macam Matahachi."
Perempuan itu mengedip-ngedipkan matanya dengan sedih, tapi mengabaikan saja ejekan itu. "Maaf, aku tidak membawa hadiah yang pantas," katanya. "Sebagai gantinya, kuberi kau sutra yang kusalin sendiri." Sambil menyerahkan pada Kojiro buku Sutra tentang Cinta Agung Orangtua, ia menambahkan, "Silakan baca, kalau ada waktu."
Kojiro memandang acuh tak acuh hasil kerja tangan perempuan itu, lalu menoleh pada pengantar Osugi, dan katanya, "Aku jadi teringat. Apa sudah kaupasang papan-papan yang kutulisi itu?"
"Yang minta Musashi keluar dari persembunyian?"
"Ya, itu."
"Dua hari penuh kami habiskan. Sudah kami pasang satu di hampir tiap persimpangan penting."
Osugi berkata, "Kami melihat beberapa dalam perjalanan kemari tadi. Di mana-mana orang berdiri berkerumun dan bergunjing. Aku senang mendengar omongan mereka tentang Musashi."
"Kalau dia tidak menjawab tantangan itu, habis riwayatnya sebagai samurai. Seluruh negeri akan menertawakannya. Dan itu sudah cukup jadi balas dendam Nenek."
"Mana bisa. Ditertawakan orang tidak cukup buat dia. Dia orang yang tak tahu malu. Lagi pula, aku tidak puas kalau dia cuma ditertawakan. Aku ingin dia dihukum tandas."
"Ha, ha," Kojiro tertawa, senang karena kegigihan perempuan itu. "Nenek semakin tua, tapi tak pernah menyerah, ya? Omong-omong, apa ada hal khusus yang terjadi?"
Wanita tua itu membenahi dirinya, lalu menjelaskan bahwa sesudah lebih dari dua tahun hidup dengan Hangawara, ia merasa mesti jalan terus. Tidak baik kalau ia hidup di atas keramahtamahan Yajibei terus-menerus. Disamping itu, ia sudah lelah mengurus kaum bajingan yang jumlahnya serumah itu. Ia sudah melihat satu tempat kecil yang enak untuk disewa, di daerah Kapal Tambang Yoroi.
"Bagaimana pendapatmu?" Wajah Osugi tampak bersungguh-sungguh, mengandung tanda tanya. "Rupanya aku takkan segera dapat menjumpai Musashi. Dan lagi, aku merasa bahwa Matahachi ada di Edo ini. Kupikir aku mesti minta dikirimi uang dari rumah dan tinggal di sini sebentar lagi. Tapi sendirian saja, seperti kukatakan tadi."
Karena tak ada alasan keberatan, Kojiro cepat menyetujui. Hubungannya sendiri dengan pimpinan rumah tangga Hangawara memang semula menghibur dan bermanfaat, namun sekarang sedikit memalukan. Hubungan itu sudah pasti bukan merupakan modal bagi seorang ronin yang mencari majikan. Maka ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pelajaran-pelajaran praktek itu.
Kojiro memanggil salah seorang bawahan Kakubei, dan menyuruhnya mengambilkan semangka dari petak tanah di belakang rumah. Mereka mengobrol sementara semangka itu dipotong dan dihidangkan, tapi tak lama kemudian Kojiro mengantar tamunya ke luar. Tingkah lakunya menunjukkan bahwa ia lebih suka kalau tamunya pulang sebelum matahari tenggelam.
Sesudah tamu-tamu pergi, Kojiro sendiri menyapu kamar-kamarnya dan menyirami halaman dengan air sumur. Pokok bunga terompet dan ubi rambat yang tumbuh di pagar sudah mencapai puncak pagar dan kemball turun ke tanah, mengancam menjerat kaki pasu air dari batu di situ. Bunga-bunga yang putih warnanya itu melambai-lambai ditiup angin petang.
Sampai di kamar, ia kembali membaringkan diri, dan iseng bertanya pada diri sendiri, apakah tuan rumah akan bertugas malam itu di rumah Hosokawa. Lampu yang toh akan mati oleh tiupan angin tidak dinyalakan. Cahaya bulan yang naik di seberang teluk sudah menerangi permukaannya.
Di kaki bukit, seorang samurai muda menerobos pagar makam.
Kakubei hendak mengandangkan kuda yang biasa dinaikinya pulangpergi ke tempat semayam Hosokawa, di toko bunga di kaki bukit Isarago.
Tapi petang itu aneh juga, tidak kelihatan tanda-tanda si tukang bunga, padahal biasanya la segera datang mengurusi binatang itu. Karena tidak melihat tukang bunga itu di dalam toko, Kakubei berjalan memutar ke belakang, dan menambatkan kudanya ke sebatang pohon. Selagi ia melakukan itu, tukang bunga datang berlari dari belakang kuil.
Sambil terengah-engah, ia terima kendali dari tangan Kakubei, dan katanya, "Maaf, Pak. Ada orang asing di makam, mau naik bukit. Saya teriaki, saya katakan tak ada jalan ke sana. Dia menoleh dan memandang saya, marah kelihatannya, kemudian menghilang." Ia berhenti sebentar, kemudian memandang ke arah pepohonan gelap, dan menambahkan dengan sikap kuatir. "Apa menurut Bapak tak mungkin dia pencuri? Orang bilang, banyak rumah daimyo dimasuki pencuri akhir-akhir ini."
Kakubei sudah mendengar desas-desus itu, tapi ia menjawab disertai tawa singkat, "Semua itu cuma omongan, tak lebih dari itu. Kalau orang yang kaulihat itu pencuri, aku berani mengatakan dia cuma pencuri kecil atau salah seorang ronin yang suka mencegat orang di jalan-jalan."
"Tapi kita ini ada di pintu masuk ke Tokaido, dan banyak musafir diserang orang-orang yang sedang melarikan diri ke provinsi-provinsi lain. Saya jadi bingung, kalau melihat orang-orang yang tampaknya mencurigakan pada malam hari."
"Kalau ada apa-apa, lari saja naik ke bukit dan ketuk gerbangku. Orang yang tinggal denganku kesal juga dengan soal itu, dan selalu mengeluh karena tak pernah ada tindakan di sekitar tempat ini."
"Maksud Bapak, Sasaki Kojiro? Dia sudah mendapat nama yang lumayan sebagai pemain pedang di daerah ini."
Kata-kata itu sama sekali tidak mengganggu rasa harga diri Kakubei. la suka pada orang muda, dan tahu benar bahwa menerima pemuda yang punya masa depan sebagai anak didik, dianggap terpuji dan sekaligus bijaksana untuk samurai yang sudah mantap seperti dirinya. Sekiranya terjadi bahaya, tidak ada bukti yang lebih meyakinkan mengenai kesetiaannya daripada kemampuannya menyiapkan pesilat-pesilat hebat bagi tuannya. Dan jika seorang dari mereka kemudian menjadi terkemuka, maka pujian sepantasnya akan diberikan kepada abdi yang telah mengusulkannya. Salah satu keyakinan Kakubei adalah bahwa kepentingan pribadi merupakan ciri yang tak disukai pada seorang pengikut. Namun ia sendiri bersikap realistis. Dalam sebuah perdikan besar, hanya sedikit abdi yang mengingkari kepentingan diri seluruhnya.
Sekalipun ia mendapat kedudukan karena keturunan, Kakubei setia kepada Yang Dipertuan Tadatoshi, sama dengan abdi-abdi lain. Ia bukan macam orang yang akan mencoba mengalahkan orang-orang lain dengan memamerkan kesetiaannya. Untuk pemerintahan rutin, orang-orang semacam dirinya secara keseluruhan jauh lebih memuaskan daripada para penghasut yang berusaha melakukan perbuatan-perbuatan menakjubkan.
"Aku kembali," serunya sewaktu memasuki gerbang rumahnya. Bukit itu sangat terjal, dan ia selalu agak kehabisan napas ketika sampai di tempat itu. Karena ia tinggalkan istrinya di desa, dan rumah itu kebanyakan hanya dihuni lelaki dan sedikit pembantu perempuan, maka sentuhan kewanitaan cenderung tak ada di situ. Namun pada malam hari, apabila tak ada tugas malam, ia merasa bahwa jalan batu dari gerbang merah ke pintu masuk itu menarik hatinya, karena jalan itu telah dibasahi sebelum ia pulang. Tak peduli betapapun larut ia pulang, selalu ada orang datang ke pintu depan untuk menyambutnya.
"Apa Kojiro ada?" tanyanya.
"Sepanjang hari ada di rumah, Tuan," jawab pembantu itu. "Sekarang sedang berbaring di kamarnya, menikmati tiupan angin."
"Bagus. Siapkan sake, dan minta dia menemui aku."
Sementara dilakukan persiapan, Kakubei menanggalkan pakaiannya yang sudah berkeringat, dan bersantai di bak mandi. Sesudah mengenakan kimono tipis, la masuk ruang duduk, di mana Kojiro duduk memainkan kipasnya.
Sake datang, Kakubei menuangkan, katanya, "Kau kupanggil karena hari ini terjadi sesuatu yang membesarkan hati, yang ingin kusampaikan padamu."
"Kabar baik?"
"Sejak aku menyebut namamu di hadapan Yang Dipertuan Tadatoshi, rupanya dia sudah mendengar tentangmu dari sumber-sumber lain juga. Hari ini dia minta aku membawamu menghadap dia segera. Seperti kau tahu, tidak mudah menyiapkan soal ini. Ada berlusin-lusin abdi yang ingin mengusulkan calonnya." Harapannya bahwa Kojiro akan senang sekali mendengar hal itu, tampak jelas dalam nada bicara dan tingkahnya.
Kojiro melekatkan mangkuknya ke bibir dan minum. Ketika bicara, air mukanya tidak berubah, dan ia hanya berkata, "Biar saya tuangkan untuk Anda."
Kakubei jauh dari merasa jengkel. Ia kagum pada pemuda itu, karena kemampuannya menyembunyikan perasaannya. "Artinya aku sudah berhasil melaksanakan apa yang kauminta. Kupikir hal itu perlu kita rayakan. Minum lagi."
Kojiro menekurkan kepalanya sedikit, bergumam, "Saya ucapkan terima kasih atas kebaikan Anda."
"Ah, aku cuma menjalankan tugas," jawab Kakubei rendah hati. "Kalau ada orang yang begitu berkemampuan dan berbakat seperti kau ini, aku wajib mendorong Yang Dipertuan supaya mempertimbangkanmu."
"Saya harap Anda tidak melebih-lebihkan saya. Dan izinkan saya menekankan kembali satu hal. Bukan penghasilan yang menjadi kepentingan saya. Saya hanya berpendapat bahwa Keluarga Hosokawa adalah keluarga yang baik sekali untuk tempat mengabdi seorang samurai. Di situ berturut-turut ada tiga orang terkemuka-Tadatoshi, ayahnya, dan kakeknya, Sansai dan Yusai."
"Jangan kau mengira aku menonjol-nonjolkan dirimu sampai setinggi langit. Tak perlu aku melakukan itu. Nama Sasaki Kojiro sudah dikenal di seluruh ibu kota."
"Bagaimana mungkin saya terkenal, kalau yang saya lakukan cuma menganggur di sini sepanjang hari? Saya tidak merasa diri saya orang terkemuka. Cuma karena di sekitar sini begitu banyak orang-orang palsu."
"Jadi, aku diberitahu dapat membawamu setiap waktu. Kapan kau mau pergi?"
"Kapan saja cocok buat saya."
"Bagaimana kalau besok?"
"Boleh." Wajahnya tidak memperlihatkan hasrat atau keinginan, hanya keyakinan diri yang tenang.
Kakubei lebih terkesan lagi oleh sikap dingin Kojiro, dan ia memilih saat itu untuk bicara apa adanya, "Kau tentunya mengerti, Yang Dipertuan takkan dapat mengambil keputusan akhir sebelum melihatmu. Tapi kau tak perlu kuatir soal itu. Ini cuma prosedur. Aku tidak sangsi. Soalnya cuma kedudukan apa yang akan ditawarkan."
Kojiro meletakkan mangkuknya di meja dan menatap langsung wajah Kakubei. Kemudian, dengan sikap sangat dingin dan menantang, katanya, "Saya sudah mengubah pikiran. Saya minta maaf, sudah demikian banyak menyulitkan Anda." Darah seakan-akan hendak menyembur dari cuping telinganya yang sudah merah terang oleh minuman.
"A-apa?" gagap Kakubei. "Maksudmu, kau melepaskan kesempatan mendapat kedudukan dalam Keluarga Hosokawa?"
"Saya tak suka," jawab tamunya singkat, dan tidak memberikan penjelasan lagi. Rasa harga dirinya menyatakan tak ada alasan baginya untuk menjalani pemeriksaan. Berlusin-lusin daimyo lain akan cepat mengambilnya, tanpa melihatnya, dengan bayaran seribu lima ratus atau bahkan dua ribu lima ratus gantang.
Rasa kecewa penuh tanda tanya yang dialami Kakubei sama sekali tidak menimbulkan kesan padanya. Dan tak menjadi soal pula baginya bahwa ia akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu terima kasih. Sama sekali tanpa tanda-tanda ragu atau sesal, ia selesaikan makannya tanpa kata-kata, kemudian kembali ke kamarnya sendiri.
Sinar bulan jatuh dengan lembutnya ke atas tatami. Sambil meregangkan badan penuh rasa mabuk di lantai, dan sambil berbantalkan tangan, mulailah ia tertawa pelan-pelan pada dirinya, "Orang jujur Kakubei itu. Oh, Kakubei yang baik, tua, dan jujur." Ia tahu tuan rumah itu akan kehilangan akal untuk menjelaskan pada Tadatoshi tentang peralihan sikapnya yang tiba-tiba itu, tapi ia tahu juga bahwa Kakubei takkan lama marah kepadanya, bagaimanapun kasarnya ia bertindak.
Dengan sikap tegas ia telah mengingkari minat akan penghasilan yang ditawarkan, padahal sesungguhnya ia penuh ambisi. Memang la menghendaki penghasilan, bahkan jauh lebih banyak lagi dari itu—ia menginginkan segala kemasyhuran dan keberhasilan yang dapat diraih. Kalau tidak demikian, apa gunanya bertahun-tahun ia bertekun dalam latihan yang sulit.
Perbedaan ambisi Kojiro dengan ambisi orang-orang lain adalah dalam hal besarnya. Ia ingin dikenal di seluruh negeri sebagai orang besar dan berhasil, ingin membawa kemuliaan pada kediamannya di Iwakuni, ingin menikmati setiap keuntungan yang dapat diambilnya karena dilahirkan sebagai manusia. Jalan tercepat untuk menuju kemasyhuran dan kekayaan adalah dengan unggul dalam seni bela diri. Ia beruntung memiliki bakat alamiah dalam permainan pedang. Ia tahu itu, dan tidak sedikit ia menimba rasa puas diri dari hal tersebut. Ia sudah merencanakan jalan hidupnya dengan cerdas, dan dengan tinjauan hebat ke masa depan. Setiap tindakannya diperhitungkan untuk dapat lebih mendekatkannya pada tujuan itu. Menurut jalan pikirannya, Kakubei orang yang naif dan sedikit sentimental, sekalipun lebih senior daripadanya. Ia jatuh tertidur, dan bermimpi tentang masa depannya yang gemilang.
Kemudian, ketika cahaya bulan bergeser satu kaki melintas tatami, suatu suara yang tidak lebih keras dari angin yang berbisik melintasi bambu, mengatakan, "Sekarang!" Satu sosok gelap yang merunduk dikerubuti nyamuk merangkak maju seperti kodok, menuju ujung atap rumah yang tak berpenerangan itu.
Orang misterius yang sebelumnya terlihat di kaki bukit itu maju pelanpelan, diam-diam, sampai mencapai beranda. Di situ ia berhenti dan mengintip ke dalam kamar. Dengan terus merunduk dalam gelap, di luar cahaya bulan, sebetulnya kehadirannya tidak akan diketahui orang sampai kapan pun, asalkan ia sendiri tidak membuat suara.
Kojiro terus mendengkur. Dengung serangga yang lembut, yang sejenak terganggu ketika orang itu mengubah posisinya, terdengar kembali melintasi rumput yang tertutup embun.
Beberapa menit berlalu. Kemudian ketenangan itu dirusak oleh bunyi berdetak, ketika orang itu mencabut pedangnya dan melompat naik ke beranda.
Ia meloncat ke arah Kojiro dan berteriak "Arrgh!", sesaat sebelum ia mengertakkan gigi dan menghantam.
Terdengar desing tajam ketika satu benda hitam panjang pada pergelangan tangannya menghunjam berat; kekuatan asal pukulan itu sendiri memang hebat, namun pedang itu bukan jatuh dari tangannya, melainkan menghunjam ke tatami tempat tubuh Kojiro tadi terbaring.
Seperti ikan yang mengelak menghindari galah yang memukul air, begitulah calon korban itu melejit ke dinding. Dan sekarang ia berdiri menghadapi si penyerbu, satu tangannya memegang Galah Pengering, dan satu lagi memegang sarungnya.
"Siapa kau?" Napas Kojiro terdengar tenang. Ia tak gentar, karena seperti biasa, ia selalu waspada mendengarkan bunyi-bunyi alam, juga jatuhnya titik embun.
"I-ini aku!"
"'Aku' itu tak ada artinya buatku. Aku tahu kau pengecut, menyerang orang yang sedang tidur. Siapa namamu?"
"Aku Yogoro, anak tunggal Obata Kagenori. Kau ambil keuntungan dari ayahku, ketika beliau sakit. Dan kausebarkan desas-desus tentang beliau di seluruh kota."
"Bukan aku yang menyebarkan desas-desus, tapi tukang-tukang sebar desas-desus-penduduk Edo."
"Tapi siapa yang memanas-manasi para murid supaya berkelahi, dan kemudian membunuh mereka?"
"Tak ada kesangsian soal itu, aku yang melakukannya. Namaku Sasaki Kojiro. Bagaimana mungkin aku menghindar, kalau aku lebih baik dari mereka? Aku lebih kuat. Lebih berani. Lebih berpengetahuan dalam Seni Perang."
"Beraninya kau mengatakan itu, padahal kau minta bantuan kepada hama-hama jalanan itu?"
Sambil menggeram dengan rasa muak, Kojiro maju selangkah. "Kalau kau ingin membenciku, ayolah! Tapi orang yang menggunakan dendam pribadi untuk menguji kekuatannya dalam Seni Perang, dia bahkan tak bisa disebut pengecut. Dia lebih jelek dari itu, lebih patut dikasihani, lebih patut ditertawakan. Jadi, sekali lagi terpaksa aku mencabut nyawa seorang Obata. Kau siap?"
Tak ada jawaban.
"Kukatakan, apa kau siap menerima nasibmu?" Ia maju selangkah lagi. Sementara ia berkata-kata, cahaya bulan yang terpantul dari lempeng pedang yang baru digosok itu membutakan mata Yogoro.
Kojiro menatap korbannya, seperti orang kelaparan menatap santapan besar.
Elang
Kakubei menyesal membiarkan dirinya dimanfaatkan secara begitu tak adil, dan ia bersumpah takkan berurusan lagi dengan Kojiro. Namun jauh di dasar hatinya, ia suka pada pemuda itu. Yang tak disukainya adalah terjerat antara majikan dan anak didik itu. Dan ia mulai memikirkan kembali soal tersebut.
"Barangkali reaksi Kojiro menunjukkan bahwa dia memang orang yang luar biasa. Samurai biasa akan melonjak gembira jika mendapat kesempatan menghadap." Semakin ia merenungkan kekesalan yang melanda Kojiro, semakin jiwa merdeka ronin itu menggugah hatinya.
Tiga hari berikutnya, Kakubei bertugas malam. Ia tidak bertemu dengan Kojiro sampai pagi hari keempat. Pada hari itu, ia pergi biasa saja ke kamar pemuda itu.
Sejenak mereka sama-sama terdiam kikuk, tapi kemudian Kakubei berkata, "Aku ingin bicara denganmu sebentar, Kojiro. Kemarin, ketika aku mau pulang, Yang Dipertuan Tadatoshi menanyakanmu. Dia bilang ingin ketemu kau. Bagaimana kalau kau datang ke lapangan panahan dan melihat teknik Hosokawa?"
Kojiro menyeringai tanpa menjawab, dan Kakubei menambahkan, "Aku tak mengerti, kenapa kau berkeras mengira hal itu merendahkan dirimu. Suatu hal biasa kalau kepada seseorang diajukan pertanyaan-pertanyaan, sebelum kepadanya ditawarkan kedudukan resmi."
"Saya tahu, tapi kalau dia menolak saya, lalu bagaimana? Saya akan terbuang, kan? Saya tidak begitu kekurangan uang, hingga mesti menjajakan diri kepada orang yang memberikan tawaran tertinggi."
"Kalau begitu, akulah yang salah. Aku keliru. Yang Dipertuan tidak pernah mengisyaratkan hal seperti itu."
"Lalu jawaban apa yang Anda berikan kepadanya?"
"Aku belum menjawab. Tapi dia kelihatan kurang sabar."
"Ha, ha. Anda rupanya sangat bijaksana, dan sangat berkemauan membantu. Saya kira tidak semestinya saya menyulitkan kedudukan Anda."
"Bagaimana kalau kau memikirkan hal itu sekali lagi, dan pergi menemuinya, sekali saja?"
"Baiklah, kalau itu ada artinya buat Anda," kata Kojiro dengan sikap merendahkan diri, namun Kakubei sudah merasa senang.
"Bagaimana kalau hari lm?"
"Begitu lekas?"
"Ya."
"Kapan?"
"Bagaimana kalau sesudah tengah hari? Waktu itulah beliau berlatih panahan."
"Baiklah, saya akan ke sana."
Kojiro mulai melakukan persiapan teliti untuk pertemuan itu. Dipilihnya kimono dari mutu yang sangat baik, dan hakama-nya terbuat dari kain impor. Di atas kimono ia mengenakan semacam rompi resmi yang terbuat semata-mata dari sutra, tidak berlengan, tapi dengan bahu melebar kaku. Untuk melengkapi dandanan itu, ada beberapa pelayan yang membawakannya zori dan topi anyaman baru.
"Apa ada kuda yang bisa saya pakai?" tanyanya.
"Ya. Kuda cadangan Kakubei yang putih itu ada di toko di kaki bukit." Gagal menemukan si tukang bunga, Kojiro memandang ke arah pekarangan kuil di seberang jalan. Sekelompok orang bergerombol mengitari mayat yang tertutup anyaman buluh. Ia pergi ke sana untuk melihat.
Orang-orang itu sedang membicarakan rencana penguburan dengan pendeta setempat. Si korban tidak punya tanda-tanda pengenal. Tak seorang pun tahu siapa dia. Hanya diketahui bahwa ia masih muda, dan dari golongan samurai. Darah di sekitar luka dalam yang memanjang dari ujung bahunya sampai pinggang sudah kering dan hitam.
"Saya pernah melihat dia sebelum ini. Sekitar empat hari lalu, malam hari," kata tukang bunga. Ia pun terus berbicara dengan bersemangat, sampai akhirnya sebuah tangan memegang bahunya.
Ketika ia menoleh untuk melihat, Kojiro berkata, "Aku diberitahu, kuda Kakubei ada di tempatmu. Coba tolong siapkan."
Sambil membungkuk tergesa-gesa, tanya tukang bunga asal saja, "Bapak mau pergi?" lalu bergegas pergi.
Tukang bunga menuntun kuda kelabu berbintik-bintik itu ke luar
kandang sambil menepuk-nepuknya. "Bagus sekali kuda ini," ujar Kojiro.
"Ya, betul. Binatang bagus."
Begitu Kojiro naik pelana, tukang bunga berseri-seri, katanya, "Cocok sekali!"
Kojiro mengambil uang dari kantung uang dan melemparkannya pada orang itu. "Buat bunga dan setanggi."
"Hah? Buat siapa?"
"Orang yang mati di sana tadi."
Di luar gerbang kuil, Kojiro mendeham lalu meludah, seakan-akan untuk membuang rasa pahit karena memandang mayat itu. Tapi ia merasa seolah-olah pemuda yang telah dirobohkannya dengan Galah Pengering itu menyingkapkan anyaman buluh dan mengikutinya. "Tak ada alasan bagi dia untuk membenciku," katanya pada diri sendiri. Setelah itu ia merasa lebih ringan.
Ketika kuda dan pengendaranya sudah menyusuri jalan raya Takanawa di bawah matahari terik, orang-orang kota dan para samurai menyingkir memberi jalan. Kepala-kepala menoleh dengan perasaan kagum. Bahkan di jalan-jalan kota Edo itu Kojiro tampak mengesankan, dan membuat orang bertanya-tanya, siapakah dia, dan dari mana datangnya.
Di tempat kediaman Hosokawa, ia serahkan kuda kepada seorang pelayan, lalu masuk rumah. Kakubei bergegas menjumpainya. "Kuucapkan terima kasih atas kedatanganmu. Tepat pada waktunya," katanya, seakan-akan Kojiro melakukan sesuatu yang sangat berarti buat dirinya pribadi. "Silakan istirahat sebentar. Akan kusampaikan kepada Yang Dipertuan, engkau ada di sini." Sebelum pergi, ia memerintahkan agar tamunya disajikan air dingin, teh, dan baki tembakau.
Ketika seorang abdi datang untuk mengantarnya ke lapangan panahan, Kojiro menyerahkan Galah Pengering-nya yang tercinta, dan mengikuti abdi itu dengan hanya membawa pedang pendeknya.
Yang dipertuan Tadatoshi memutuskan untuk menembakkan seratus anak panah sehari, selama bulan-bulan musim panas itu. Sejumlah abdi terdekat selalu ada di sana, memperhatikan setiap tembakannya dengan napas ditahan, dan berusaha menunjukkan jasa dengan mengambil kembali anak-anak panah itu.
"Kasih aku handuk," perintah Yang Dipertuan sambil menegakkan busurnya di sampingnya.
Sambil berlutut, Kakubei bertanya, "Boleh saya mengganggu, Pak?" "Ada apa?"
"Sasaki Kojiro ada di sini. Saya berterima kasih, kalau Bapak sudi menjumpainya."
"Sasaki? Oh, ya."
Ia pasangkan anak panah pada tali busur, lalu mengambil jurus terbuka, dan mengangkat tangan yang akan menembak itu di atas kening. Ia, maupun yang lain-lain, tidak menoleh ke arah Kojiro sebelum keseratus tembakan itu dilepaskan.
Sambil mendesah, Tadatoshi berkata, "Air. Aku minta air."
Seorang pesuruh membawa air dari sumur dan menuangkannya ke dalam bak kayu besar dekat kaki Tadatoshi. Bagian atas kimononya dibiarkannya bergantung longgar, kemudian ia menyeka dadanya dan mencuci kakinya. Orang-orang membantunya dengan memegang lengan kimononya, berlari mengambil lebih banyak air, dan menyeka punggungnya. Dalam tingkah laku mereka tidak kelihatan sifat resmi, tak ada yang menunjukkan pada orang luar bahwa mereka itu daimyo dengan pengikutnya.
Kojiro semula menduga bahwa Tadatoshi yang penyair dan estetikus, putra Yang Dipertuan Sansai dan cucu Yang Dipertuan Yusai itu, orang yang berpembawaan aristokrat dan halus, sama dengan orang-orang istana yang anggun di Kyoto. Tetapi keheranannya itu tidak tampak di matanya, sementara ia memperhatikan.
Sambil memasukkan kakinya yang masih basah ke dalam zori, Tadatoshi memandang Kakubei yang menanti di pinggir. Dengan wajah orang yang tiba-tiba teringat akan janjinya, katanya, "O ya, Kakubei, sekarang aku akan menemui orangmu." Sebuah bangku diambil dan diletakkan di keteduhan bayangan sebuah tenda; Tadatoshi duduk di depan panji-panji dengan lambang sebuah lingkaran yang dikitari delapan lingkaran yang lebih kecil, menggambarkan matahari, bulan, dan tujuh planet.
Atas panggilan Kakubei, Kojiro maju dan berlutut di depan Yang Dipertuan Tadatoshi. Sesudah salam resmi dilaksanakan, Tadatoshi mempersilakan Kojiro duduk di bangku, dengan demikian menunjukkan bahwa ia tamu terhormat.
"Terima kasih," kata Kojiro, ketika ia bangkit dan mengambil tempat duduk menghadap Tadatoshi.
"Saya sudah mendengar tentang Anda dari Kakubei. Saya percaya, Anda kelahiran Iwakuni, bukan?"
"Betul, Tuan."
"Yang Dipertuan Kikkawa Hiroie dari Iwakuni terkenal sebagai penguasa bijaksana dan mulia. Apakah nenek moyang Anda abdi beliau?"
"Tidak, kami tidak pernah mengabdi pada Keluarga Kikkawa. Saya tahu bahwa kami ini berasal dari Keluarga Sasaki dari Provinsi Omi. Sesudah jatuhnya Shogun Ashikaga yang terakhir, ayah saya rupanya mengundurkan diri ke kampung ibu saya."
Sesudah melontarkan beberapa pertanyaan lagi mengenai keluarga dan garis keturunan, Yang Dipertuan Tadatoshi bertanya, "Apakah ini pertama kalinya Anda akan mengabdi?"
"Saya belum tahu apakah saya akan mengabdi."
"Kakubei memberitahukan bahwa Anda ingin mengabdi pada Keluarga Hosokawa. Apa alasan-alasan Anda?"
"Saya percaya inilah keluarga yang tepat bagi saya, untuk hidup dan mati."
Tadatoshi kelihatan senang dengan jawaban ini. "Dan gaya perkelahian Anda?"
"Saya menamakannya Gaya Ganryu."
"Ganryu?"
"Itu gaya yang saya temukan sendiri."
"Tentunya ada pendahulunya."
"Saya belajar Gaya Tomita, dan saya mendapat keuntungan dari pelajaranpelajaran Yang Dipertuan Katayama Hisayasu dari Hoki, yang pada hari tuanya mengundurkan diri ke Iwakuni. Saya juga menguasai banyak teknik saya sendiri. Saya biasa berlatih menetak burung layang-layang yang sedang terbang."
"Begitu. Saya kira nama Ganryu itu berasal dari nama sungai di dekat tempat kelahiran Anda?"
"Betul."
"Saya ingin melihat demonstrasinya." Tadatoshi melayangkan pandang ke wajah para samurainya. "Siapa di antara kalian mau melawan orang ini?"
Sejak tadi mereka memperhatikan tanya-jawab itu dengan diam. Menurut pikiran mereka, Kojiro terlalu muda untuk memperoleh nama baik yang sudah dimilikinya itu. Mula-mula semuanya saling pandang, kemudian memandang Kojiro. Sementara itu, pipi Kojiro yang merah menyatakan bahwa ia bersedia menghadapi penantang mana pun.
"Bagaimana kalau kau saja, Okatani?"
"Baik, Pak."
"Kau selalu mengatakan lembing lebih unggul daripada pedang. Sekarang kesempatanmu untuk membuktikan."
"Dengan senang hati, kalau Sasaki mau."
"Tentu," jawab Kojiro sigap. Dalam nada bicaranya yang sopan dan sangat dingin itu terasa nada kejam.
Samurai-samurai yang tadi menyapu pasir di lapangan panahan dan menyingkirkan peralatan, kini berkumpul di belakang majikan mereka. Sekalipun mereka mengenal persenjataan sebagaimana mereka mengenal sumpit, pengalaman mereka terutama adalah di dojo. Kesempatan untuk menyaksikan pertarungan sebenarnya hanya sedikit dalam hidup mereka, dan lebih sedikit lagi kesempatan untuk mengalaminya sendiri. Mereka sependapat bahwa perkelahian satu lawan satu merupakan tantangan lebih besar dibandingkan dengan pergi ke medan pertempuran, di mana kadang-kadang ada kemungkinan untuk beristirahat dan mengambil napas, sementara teman-teman lain berkelahi terus. Dalam pertarungan satu lawan satu, orang hanya dapat mengandalkan diri sendiri, hanya dapat mengandalkan kewaspadaan dan kekuatan sendiri dari awal sampai akhir. la dapat menang, tapi juga dapat terbunuh atau cacat.
Mereka memperhatikan Okatani Goroji dengan khidmat. Di antara para prajurit biasa yang paling rendah pangkatnya pun hanya sedikit yang mahir bermain lembing. Goroji umumnya diakui sebagai yang terbaik. Ia tidak hanya pernah ikut dalam pertempuran, melainkan juga berlatih dengan rajin dan menemukan teknik-teknik sendiri.
"Saya mohon waktu beberapa menit," kata Goroji, membungkuk pada Tadatoshi dan Kojiro, sebelum mengundurkan diri untuk melakukan persiapan. Ia merasa senang hari ini, seperti juga pada hari-hari lain, karena ia mengenakan pakaian dalam yang tak bernoda, sebagai tradisi samurai yang baik, yang memulai setiap hari baru dengan senyuman dan ketidakpastian: mungkin pada petang hari ia sudah menjadi mayat.
Sesudah meminjam sebilah pedang kayu yang panjangnya satu meter, Kojiro memilih medan untuk pertandingan itu. Tubuhnya kelihatan santai dan bebas, lebih-lebih karena ia tidak menyingsingkan hakama-nya yang berlipat-lipat itu. Pemunculannya hebat. Musuh-musuhnya pun terpaksa mengakui hal itu. Dalam sosoknya terasa keberanian seekor burung elang, dan raut mukanya yang tampan begitu penuh keyakinan.
Orang-orang menoleh dengan pandangan kuatir ke arah tirai. Di balik tirai itu, Goroji sedang mencocokkan pakaian dan perlengkapannya.
"Kenapa dia begitu lama?" tanya seseorang.
Goroji dengan tenang sedang melilitkan secarik kain basah pada ujung lembingnya, senjata yang telah dipergunakannya dalam pertempuran dengan hasil sangat bagus. Batangnya tiga meter panjangnya, dan lempeng logamnya yang lonjong dan panjangnya 20-30 sentimeter itu sama dengan sebilah pedang pendek.
"Apa yang Anda lakukan?" seru Kojiro. "Kalau Anda kuatir akan melukai saya, hilangkan kekuatiran itu." Sekali lagi, kata-kata itu cukup sopan, tapi secara tidak langsung menyatakan kesombongan. "Tak apa-apa buat saya, kalaupun tidak dibungkus."
Sambil memandang tajam kepadanya, Goroji berkata, "Anda yakin?"
"Yakin sekali."
Yang Dipertuan Tadatoshi maupun orang-orangnya tidak mengatakan sesuatu, tetapi pandangan mata mereka yang menghunjam itu sudah meminta kepada Goroji untuk lekas bertindak. Kalau orang asing itu ada nyali untuk menantang, apa salahnya menerjangnya?
"Kalau begitu..." Goroji pun membuka pembungkus itu, dan maju memegang tengah gagang lembing. "Saya senang mengikuti kemauan Anda, tapi kalau saya menggunakan lempeng telanjang, saya minta Anda juga menggunakan pedang sungguhan."
"Tapi pedang kayu ini baik sekali."
"Tidak, saya tak setuju Anda pakai pedang itu."
"Anda tentunya tahu sendiri, saya sebagai orang luar tidak berani menggunakan pedang sungguhan di hadapan Yang Dipertuan."
"Tapi..."
Dengan nada tak sabar, Yang Dipertuan Tadatoshi berkata, "Mulai saja, Okatani. Tidak ada yang akan menganggapmu pengecut kerena menuruti kehendak orang ini." Jelas terasa bahwa sikap Kojiro sudah berpengaruh terhadapnya.
Kedua orang yang wajahnya sudah merah karena tekad itu bertukar salam dengan mata. Goroji membuat gerakan pertama dengan melompat ke samping, tapi Kojiro, seperti seekor burung yang menempel pada galah penangkap burung yang berperekat, menyelinap ke bawah lembing dan menghantam langsung dadanya. Karena tak ada waktu untuk menusuk, pemain lembing berpusing ke samping dan mencoba menotok belakang leher Kojiro dengan pangkal senjatanya. Diiringi suara berderak, lembing itu terlempar ke udara, ketika pedang Kojiro menggigit rusuk Goroji yang terbuka oleh kepesatan lembing yang menaik. Goroji meluncur ke sisi, kemudian melompat menghindar, tapi serangan berlanjut terns tanpa henti. Tanpa ada kesempatan menarik napas, ia melompat lagi ke samping, disusul dengan lompatan lain dan lain lagi. Beberapa kali ia dapat mengelak dengan baik, tapi sesudah itu ia seperti burung merpati yang mencoba menangkis serangan burung elang. Diburu oleh pedang yang mengamuk itu, gagang lembing patah menjadi dua. Pada saat itu juga, Goroji mengeluarkan teriakan, seolah jiwanya direnggutkan dari tubuhnya.
Pertempuran singkat itu berakhir. Kojiro berharap menghadapi empat atau lima orang, tapi Tadatoshi mengatakan ia sudah cukup menyaksikan.
Ketika Kakubei pulang malam itu, Kojiro bertanya kepadanya, "Apa terlalu jauh tadi saya melangkah? Maksud saya, di hadapan Yang Dipertuan itu."
"Tidak, itu demonstrasi yang baik sekali." Kakubei merasa kurang tenang. Sekarang, sesudah dapat menilai kemampuan Kojiro sepenuhnya, ia merasa seperti orang yang mendekap burung kecil di dadanya, tapi burung itu ternyata tumbuh menjadi seekor elang.
"Apa Yang Dipertuan Tadatoshi mengatakan sesuatu?"
"Tak ada yang khusus."
"Ayolah, tentunya dia mengatakan sesuatu."
"Tidak, dia meninggalkan lapangan panahan tanpa mengatakan sesuatu."
"Hmm." Kojiro tampak kecewa, tapi katanya, "Ah, tapi tak apalah. Saya mendapat kesan bahwa dia ternyata lebih besar daripada umumnya orang sekelasnya. Terpikir oleh saya, kalau saya mesti mengabdi pada seseorang, pada dialah saya akan mengabdi. Tapi tentu saja saya tak bisa menentukan jalannya peristiwa." Ia tidak mengungkapkan, betapa hati-hati sesungguhnya ia memikirkan situasinya. Sesudah tokoh-tokoh Date, Kuroda, Shimazu, dan Mori, Hosokawa-lah yang punya reputasi paling baik dan kokoh kedudukannya. Ia merasa keadaannya akan terus demikian, selama Yang Dipertuan Sansai masih menguasai perdikan Buzen. Dan cepat atau lambat, Edo dan Osaka akan bertumbukan untuk penghabisan kali. Tak mungkin meramalkan kesudahannya. Seorang samurai yang keliru memilih majikan bisa mudah sekali menjadi ronin kembali, dan seluruh hidupnya dikorbankan demi penghasilan beberapa bulan.
Sehari sesudah pertarungan itu, terdengar kabar bahwa Goroji tetap hidup, sekalipun pinggul atau tulang paha kirinya remuk. Kojiro menerima kabar itu dengan tenang, dan menyatakan pada dirinya sendiri bahwa sekalipun tidak menerima kedudukan, ia sudah tampil cukup baik.
Beberapa hari kemudian, tiba-tiba ia menyatakan akan menjenguk Goroji. Tanpa memberikan penjelasan mengenai kebaikan hati yang mendadak diperlihatkannya itu, ia berangkat berjalan kaki ke rumah Goroji di dekat Jembatan Tokiwa.
Tamu yang tak diduga-duga itu diterima dengan hangat oleh yang luka.
"Pertandingan adalah pertandingan," kata Goroji, tersenyum dengan mata basah. "Saya hanya bisa menyesalkan kekurangterampilan saya. Yang pasti, saya tidak menyimpan perasaan dendam terhadap Anda. Sungguh menyenangkan bahwa Anda datang menengok saya. Terima kasih."
Sesudah Kojiro pergi, Goroji menyatakan pada seorang teman, "Nah, itulah samurai yang kukagumi. Tadinya kupikir dia anak anjing yang congkak, tapi ternyata sikapnya bersahabat dan juga sopan."
Justru ini reaksi yang diharapkan Kojiro. Itu adalah bagian dari rencananya. Tamu-tamu lain kini akan mendengar dirinya dipuji oleh orang yang dikalahkannya sendiri. Ia datang ke rumah Goroji tiap dua-tiga hari sekali, dan berkunjung tiga kali lagi. Pada suatu kali, ia memesankan ikan hidup dari pasar ikan, sebagai hadiah supaya lekas sembuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar