• Breaking News

    BACA BERITANYA TERBARU DISINI

    Sabtu, 15 Juli 2017

    Cerita Novel Musashi Bagian 76, Guru Menulis



    Guru Menulis

     https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJxmSeZMXNFhv4N9BmsvTZNnzp8mIQcAAQZP9wBwxhoW5p2xfKdiZ5Wf39NUL-8tuVE7vIln9vcV3FUfrQkCsYm0Y3hKMjALCAOfAI1NEc7KdyU7XIHUYxNKh7resZErm_KQ1m97Efb34/s1600/Musashi.jpg












    PAPAN nama di pintu masuk jalan sempit, di daerah pedagang ikanOkazaki itu, berbunyi, "Pencerahan Bagi Para Pemuuda. Pelajaran Membaca dan Menulis", dan tertulis di situ nama Muka. Melihat segala sesuatunya, Muka tentunya salah seorang dari banyak ronin yang telah jatuh miskin, namun tulus, dan mencari penghidupan dengan menularkan pendidikan kelas prajurit kepada anak-anak orang kebanyakan.

    Kaligrafi yang kelihatan amatiran itu membuat tersenyum orang-orang yang lewat, tapi Muka mengatakan tidak malu karenanya. Kalau ada orang menyebutkan hal itu, ia selalu menjawab dengan kata-kata yang sama, "Dalam hati, saya masih kanak-kanak. Dan saya belajar bersama anak-anak."

    Jalan itu berakhir pada sebuah rumpun bambu, dan di sebelah rumpun bambu terbentang lapangan pacuan Keluarga Honda. Kalau cuaca terang, lapangan itu selalu diliputi awan debu, karena tentara berkuda sering berlatih dari fajar sampai senja. Garis keturunan yang mereka banggakan adalah garis keturunan prajurit-prajurit Mikawa yang terkenal, suatu tradisi yang telah menghasilkan Tokugawa.

    Muka terbangun dari tidur siang, lalu pergi ke sumur dan menimba air. Kimono warna kelabu gelap yang tak berpinggir, dan topi kelabu yang dikenakannya, lebih cocok untuk orang umur empat puluhan, padahal ia sendiri belum lagi tiga puluh tahun. Habis mencuci muka, ia berjalan ke rumpun bambu, dan di situ ia menebang sebatang bambu besar dengan satu tebasan pedang.

    Ia basuh bambu itu di sumur, lalu kembali masuk rumah. Kerai yang tergantung di satu sisi berfungsi menolak debu dari lapangan pacuan, tapi karena cahaya datang dari arah tersebut, ruangan itu jadi kelihatan lebih kecil dan lebih gelap dari yang sebenarnya. Sebilah papan terletak mendatar di sebuah sudut. Di atasnya tergantung potret tanpa nama dari seorang pendeta Zen. Muka menegakkan potongan bambunya di atas papan, dan melontarkan bunga jalar ke dalam lubangnya.

    "Boleh juga," pikirnya sambil mundur, memeriksa karyanya. Ia duduk di depan meja, mengambil kuas, dan mulai berlatih. Sebagai model, dipergunakannya pedoman huruf-huruf resmi berbentuk persegi dari Ch'u Sui-liang, dan sapuan kaligrafi dari pendeta Kobo Daishi. Jelas kelihatan, ia memperoleh kemajuan mantap selama setahun tinggal di situ, karena huruf-huruf yang ditulisnya sekarang jauh lebih unggul daripada huruf-huruf yang tertulis di papan nama.

    "Boleh saya mengganggu?" tanya wanita dari sebelah rumah, istri orang yang biasa menjual kuas tulis.

    "Silakan," kata Muka.

    "Saya hanya sebentar. Saya heran.... Beberapa menit yang lalu, saya mendengar bunyi keras. Kedengarannya seperti ada barang yang patah. Apa Anda mendengarnya?"

    Muka tertawa. "Itu tadi saya memotong bambu."

    "Oh. Saya begitu kuatir. Saya pikir ada yang terjadi dengan Anda. Suami saya mengatakan samurai yang berkeliaran di sekitar sini mau membunuh Anda."

    "Sekiranya betul begitu, tidak apa. Toh harga saya tidak sampai tiga keping uang tembaga."

    "Lho, Anda tak boleh menyepelekan. Banyak orang terbunuh akibat hal-hal yang menurut ingatan mereka tidak mereka lakukan. Coba Anda pikirkan, alangkah sedih semua gadis itu kalau ada sesuatu menimpa Anda."

    Wanita itu mengundurkan diri, tanpa mengajukan pertanyaan yang sering diajukannya, "Kenapa tidak beristri? Bukan karena Anda tak suka perempuan, kan?" Muka tidak pernah memberikan jawaban yang jelas, sekalipun secara sembrono ucapannya sempat menyiratkan bahwa ia bisa dengan mudah mendapatkan jodoh yang baik. Para tetangga tahu bahwa ia ronin dari Mimasaka, yang suka belajar dan pernah tinggal di Kyoto, di Edo, dan sekitar Edo. Kata orang, ia ingin menetap di Okazaki dan membuka perguruan yang baik. Berhubung ia masih muda, rajin, dan jujur, tidak mengherankan bahwa sejumlah gadis berminat kawin dengannya, juga beberapa orang yang anak-anak gadisnya memenuhi syarat.

    Lingkungan kecil itu memang memikat hati Muka. Penjual kuas dan istrinya memperlakukannya dengan baik. Sang istri mengajarinya memasak, dan kadang-kadang mencuci dan menjahit untuknya. Secara keseluruhan, Muka senang tinggal di lingkungan itu. Semua orang saling mengenal, dan semua orang berusaha membuat hidup mereka menarik. Selalu ada peristiwa yang terjadi, kalau bukan pesta tari-tarian di jalan atau perayaan keagamaan, tentu penguburan atau ada orang sakit yang mesti diurus.

    Malam itu ia melewati rumah penjual kuas, ketika suami-istri itu sedang makan malam. Sambil mendecap, sang istri berkata, "Ke mana dia pergi? Pagi hari dia mengajar anak-anak, sore hari tidur atau belajar. Lalu malam hari pergi. Macam kelelawar saja."

    Di jalan-jalan Okazaki, bunyi seruling bambu bercampur dengan dengung serangga tangkapan yang dikurung dalam sangkar-sangkar kayu, dengan ratapan berirama dari para penyanyi di jalan buntu, dengan teriakan para penjual semangka dan sushi. Di sini tak ada hiruk-pikuk yang menjadi ciri di Edo. Lentera-lentera berkedap-kedip, dan orang-orang bercengkerama di sana-sini, dengan mengenakan kimono musim panas. Dalam udara musim panas itu, segala sesuatu kelihatan santai dan pada tempatnya.

    Ketika Muka lewat, gadis-gadis berbisik.

    "Nah, dia jalan lagi."

    "Huh, dan selalu tidak memperhatikan siapa pun."

    Sebagian gadis-gadis itu membungkuk kepadanya, kemudian menoleh pada sesama teman-teman mereka, dan menduga-duga ke mana arah pergi Muka.

    Muka berjalan lurus, melewati jalan-jalan samping di mana ia bisa membeli jasa para pelacur Okazaki, yang oleh banyak orang dianggap sebagai salah satu daya tank utama di sepanjang jalan raya Tokaido itu. Di ujung barat kota ia berhenti dan meregangkan badan, hingga panas badan keluar dari lengan bajunya. Di hadapannya menderas air Sungai Yahagi dan membentang Jembatan Yahagi yang berelung 208, jembatan terpanjang di Tokaido. Ia berjalan mendekati sosok kurus yang menantinya di tiang pertama.

    "Musashi?"

    Musashi tersenyum pada Matahachi yang mengenakan jubah pendeta. "Apa Guru sudah kembali?" tanyanya.

    "Belum."

    Mereka berjalan berdampingan, menyeberangi jembatan. Di atas bukit yang ditumbuhi pohon pinus, di seberangnya berdiri kuil Zen tua. Karena bukit itu dikenal sebagai Hachijo, kuil itu pun disebut Hachijoji. Mereka mendaki lereng yang gelap, di depan pintu gerbang.

    "Apa kabar?" tanya Musashi. "Melaksanakan Zen mestinya sukar."

    "Betul," jawab Matahachi kesal, sambil menundukkan kepalanya yang bercukur kebiruan. "Aku sudah sering ingin melarikan diri. Kalau mesti mengalami siksaan mental untuk menjadi manusia baik-baik, lebih baik aku menjerat leherku, habis perkara."

    "Oh, jangan mundur karena itu. Kau baru mulai. Pendidikanmu yang sebenarnya belum terjadi, sebelum kau dapat mengimbau Guru dan meyakinkannya untuk menerimamu sebagai murid."

    "Itu memang tidak selamanya mustahil. Aku sudah belajar mendisiplinkan diriku sedikit. Dan tiap kali aku kendur, aku ingat kau. Kalau kau dapat mengatasi kesulitan-kesulitanmu, aku pun dapat."

    "Memang begitu mestinya. Apa pun yang dapat kulakukan, pasti kau juga bisa."

    "Aku teringat Takuan. Kalau bukan karena dia, aku sudah dihukum mati."

    "Kalau kau tahan menghadapi kesulitan, kau akan memperoleh kesenangan yang lebih besar daripada derita," kata Musashi khidmat. "Siang dan malam, jam demi jam, orang dipermainkan oleh ombak derita dan kesenangan berganti-ganti. Kalau mereka mencoba untuk hanya menikmati kesenangan, berarti mereka tidak benar-benar hidup. Dan kesenangan akan lenyap."

    "Aku mulai mengerti."

    "Ingat saja cara orang menguap. Kuap orang yang habis kerja, lain dengan kuap orang malas. Banyak orang mati tanpa mengetahui nikmat yang diberikan oleh menguap."

    "Ya. Aku mendengar pembicaraan seperti itu di kuil."

    "Kuharap tak lama lagi aku bisa membawamu pada Guru. Aku sendiri ingin minta petunjuk darinya. Aku perlu tahu lebih banyak tentang Jalan itu."

    "Menurutmu, kapan dia datang?"

    "Sukar dikatakan. Guru Zen kadang-kadang berkeliaran di seluruh negeri, seperti awan, selama dua atau tiga tahun sekali jalan. Mumpung sudah dating di sini, kau mesti mau menunggu dia, sampai empat-lima tahun, kalau perlu."

    "Kau juga?"

    "Ya. Hidup di lorong belakang, di antara orang-orang miskin dan tulus itu, merupakan latihan baik bagiku. Itu bagian dari pendidikanku. Waktu tidak terbuang sia-sia."

    Musashi meninggalkan Edo, melewati Atsugi. Kemudian, dengan jiwa dilanda kesangsian akan masa depannya, ia menghilang ke tengah Pegunungan Tanzawa, dan dua bulan kemudian muncul kembali dalam keadaan lebih gelisah dan kuyu. Selesai memecahkan satu masalah, ia tercebur ke dalam masalah lain. Kadang-kadang ia demikian tersiksa, hingga seolah-olah pedangnya terarah kepada dirinya.

    Di antara kemungkinan yang dipertimbangkannya adalah memilih jalan yang mudah. Sekiranya ia dapat memaksa dirinya menempuh hidup enak dan biasa saja dengan Otsu, hidupnya akan sederhana. Hampir setiap perdikan akan rela membayarnya dengan gaji cukup untuk hidup, barangkali lima ratus sampai seribu gantang. Tapi kalau ia ajukan hal itu pada dirinya dalam bentuk pertanyaan, jawabannya selamanya tidak. Hidup yang mudah itu penuh dengan batasan. Ia tak dapat tunduk kepada batasan-batasan itu.

    Pada waktu lain, ia merasa seolah tersesat dalam khayal pengecut, khayal hina, seperti setan lapar dalam neraka; kemudian, untuk sesaat, pikirannya menjadi tenang, dan ia mengumbar diri dalam kenikmatan hidup menyendiri yang penuh kebanggaan itu. Di dalam hatinya terus berlangsung perjuangan antara terang dan gelap. Siang-malam ia terhuyung-huyung antara kegembiraan besar dan kesenduan. Ia memikirkan dirinya sebagai pemain pedang, dan ia merasa kecewa. Kalau dipikirkan betapa panjang jalan yang dipelajarinya, dan betapa jauh ia dari kematangan, hatinya pun pedih. Tapi, di lain waktu, hidup di pegunungan itu menggembirakan hatinya, dan pikirannya melayang pada Otsu.

    Turun dari gunung, ia pergi ke Yugyoji di Fujisawa untuk beberapa hari, kemudian ke Kamakura. Di situlah ia berjumpa dengan Matahachi. Matahachi sudah memutuskan untuk tidak kembali menjalani hidup malas, dan ia berada di Kamakura karena banyak kuil Zen di tempat itu, namun ia menanggung rasa hancur yang lebih parah lagi daripada Musashi.

    Musashi mencoba meyakinkannya, "Sekarang ini belum terlalu terlambat. Kalau kau belajar berdisiplin, kau bisa mulai dari awal lagi. Sungguh fatal kalau kau mengatakan pada dirimu bahwa semuanya sudah lewat, dan bahwa dirimu tak berguna."

    Kemudian ia merasa perlu menambahkan, "Terus terang, aku sendiri berhadapan dengan tembok. Ada masanya aku bertanya-tanya, apakah aku punya masa depan. Aku merasa sama sekali kosong. Rasanya seperti terkurung dalam rumah kerang. Aku benci pada diriku. Kukatakan pada diri sendiri, diriku ini sia-sia. Tapi dengan mendera diri sendiri, dan memaksa diri untuk jalan terus, aku berhasil menerobos rumah kerang itu. Lalu jalan baru terbuka di hadapanku.

    "Percayalah, kali ini sedang berlangsung perjuangan yang sesungguhnya dalam diriku. Aku menggelepar-gelepar di dalam rumah kerang, dan tak dapat melakukan sesuatu. Aku turun dari pegunungan karena teringat orang yang menurutku dapat menolongku."

    "Orang itu Pendeta Gudo. "

    Kata Matahachi, "Dia yang menolongmu waktu engkau pertama kali mencari Jalan itu, kan? Apa kau tak bisa mengenalkan aku, dan minta dia menerimaku sebagai murid?"

    Semula Musashi sangsi tentang ketulusan hati Matahachi, tapi sesudah mendengar tentang kesulitan di Edo, ia pun yakin bahwa Matahachi betul-betul bermaksud demikian. Kedua orang itu kemudian mencari keterangan tentang Gudo di sejumlah kuil Zen, tapi hanya sedikit yang dapat mereka ketahui. Musashi tahu bahwa pendeta itu tidak lagi berada di Kuil Myoshinji, Kyoto. Beberapa tahun sebelumnya, ia pergi melakukan perjalanan selama beberapa waktu lamanya di timur dan timur laut. Ia juga tahu bahwa pendeta itu orang yang paling tak menentu tinggalnya. Satu hari ia bisa berada di Kyoto, memberikan kuliah tentang Zen pada Kaisar, dan hari berikutnya mengembara di pedesaan. Gudo diketahui beberapa kali berhenti di Kuil Hachijoji di Okazaki. Seorang pendeta mengatakan mungkin di kuil itulah tempat terbaik untuk menantikannya.

    Musashi dan Matahachi duduk di dalam pondok kecil tempat Matahachi biasa tidur. Musashi sering mengunjunginya di sini, dan mereka bercakapcakap sampai jauh malam. Matahachi tidak diizinkan tidur dalam asrama yang, seperti halnya bangunan-bangunan Kuil Hachijoji lainnya, berupa bangunan kasar, beratap lalang, sebab ia belum resmi diterima sebagai pendeta.

    "Oh, nyamuk-nyamuk ini!" kata Matahachi sambil menyebar-menyebarkan asap dari obat penghalau serangga, kemudian menggosok matanya yang pedih. "Mari kita keluar." Mereka berjalan ke ruang utama dan duduk di serambi. Pekarangan sepi, dan angin sejuk bertiup.

    "Ini mengingatkan aku pada Kuil Shippoji," kata Matahachi dengan suara hampir tidak kedengaran.

    "Ya, kukira begitu," kata Musashi.

    Mereka terdiam. Mereka selalu berbuat demikian pada saat-saat seperti itu. Pikiran tentang rumah selalu menimbulkan kenangan tentang Otsu dan Osugi, atau peristiwa-peristiwa yang tak hendak mereka bicarakan, karena takut mengganggu hubungan mereka sekarang.

    Tapi, beberapa menit kemudian, Matahachi berkata, "Bukit tempat berdirinya Shippoji itu lebih tinggi, ya? Tapi di tempat ini tak ada pohon kriptomeria tua." Di situ ia berhenti, memandang rant muka Musashi sejenak, kemudian katanya malu-malu. "Ada satu permintaan yang sudah lama ingin kuajukan, tapi..."

    "Permintaan apa itu?"

    "Otsu...," Matahachi memulai, tapi seketika itu juga ia terharu, tak bisa berbicara lagi. Ketika merasa sudah dapat mengatasi perasaannya, ia berkata, "Rasanya aku ingin tahu, apa yang sedang dilakukan Otsu sekarang ini, dan apa yang terjadi dengannya. Aku sering memikirkannya hari-hari ini dan dalam hati aku minta maaf atas segala yang pernah kulakukan. Aku malu mesti mengakuinya, tapi di Edo aku memaksanya hidup denganku. Tapi tidak terjadi apa-apa. Dia menolak kusentuh. Kukira, sesudah aku pergi ke Sekigahara, Otsu tentunya seperti kembang yang jatuh. Sekarang dia menjadi bunga yang berkembang di pohon lain, di tanah yang lain juga." Wajah Matahachi memperlihatkan kesungguhan, dan suaranya serius.

    "Takezo... ah, bukan... Musashi. Aku minta, kawinilah Otsu. Kau satu-satunya yang dapat menyelamatkannya. Aku tak pernah dapat memaksa diri mengatakan hal ini, tapi sekarang, sesudah aku mengambil keputusan menjadi murid Gudo, mesti kuakui kenyataan bahwa Otsu bukan milikku. Biarpun begitu, aku menguatirkan dirinya. Tak inginkah engkau mencari dia, dan memberinya kebahagiaan yang memang dia inginkan?"

    Kira-kira pukul tiga pagi waktu itu, ketika Musashi mulai menuruni jalan glinting yang gelap. Tangannya terlipat, kepalanya tertunduk. Katakata Matahachi terngiang di telinganya. Kesedihan mendalam seakan menarik-narik kakinya. Ia dapat membayangkan, betapa Matahachi tersiksa bermalam-malam lamanya, hanya untuk membangkitkan keberanian berbicara seperti itu. Namun bagi Musashi, dilema yang dihadapinya sendiri lebih berat dan menyakitkan.

    Menurut pendapatnya, Matahachi berharap dapat melarikan diri dari nyala panas masa lalu, dan mencari keselamatan yang sejuk dalam pencerahan. Seperti bayi yang baru dilahirkan, ia mencoba menemukan hidup bermakna dalam derita gaib kesedihan dan kebahagiaan.

    Musashi tidak dapat mengatakan, "Tak dapat itu kulakukan." Lebih tak dapat lagi ia mengatakan, "Tak ingin aku mengawini Otsu. Dia tunanganmu. Menyesallah, murnikan hatimu, dan rebut kembali hatinya." Akhirnya ia tidak mengatakan apa pun, karena apa pun yang akan dikatakannya, akan merupakan kebohongan.

    Dan Matahachi memohon dengan sangat, "Hanya kalau aku yakin bahwa Otsu akan terurus, ada gunanya bagiku menjadi murid. Kau yang mendesakku melatih dan mendisiplinkan diri. Kalau kau memang temanku, selamatkan Otsu. Itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diriku."

    Musashi terheran-heran melihat Matahachi menangis tersedu-sedu. Tak diduganya bahwa perasaan Matahachi bisa sedalam itu. Bahkan ketika ia sudah berdiri untuk berangkat, Matahachi mencengkeram lengan bajunya, minta diberi jawaban. "Biar kupikirkan dulu," itulah satu-satunya yang dapat dikatakan Musashi. Sekarang ia mengutuk dirinya karena bersikap pengecut, dan ia sesali ketidakmampuannya.

    Dengan sedih terpikir oleh Musashi, bahwa orang yang tidak menanggung penyakit ini tak mungkin mengenal nyerinya. Soalnya bukan semata-mata menyangkut sikap malas, tapi menyangkut keinginan besar untuk melakukan sesuatu, namun tak bisa. Pikiran dan mata Musashi kini seolah tumpul dan kosong. Sesudah menempuh jalan sejauh mungkin ke satu arah saja, ia merasa dirinya tak berdaya untuk mundur atau mulai menempuh jalan yang baru. Ia seperti terpenjara di suatu tempat yang tak ada jalan keluarnya. Kekecewaan yang dialaminya menimbulkan rasa sangsi, menyalahkan diri, dan air mata.

    Sia-sia ia marah pada diri sendiri, mengingat segala kesalahannya. Justru karena menemukan gejala-gejala awal penyakit itulah, ia berpisah dengan Iori dan Gonnosuke, serta memutuskan ikatan dengan teman-temannya di Edo. Tapi maksudnya untuk menerobos rumah kerang selagi kulit kerang belum terbentuk dengan baik ternyata gagal. Kulit kerang itu masih saja ada, membelenggu dirinya yang kosong, seperti selongsong kulit jangkrik.

    Ia berjalan tanpa kemantapan. Keluasan Sungai Yahagi mulai tampak. dan angin yang bertiup dari sungai terasa sejuk di wajahnya.

    Tiba-tiba ia meloncat ke samping, karena mendengar bunyi desing tajam. Tembakan itu melintas pada jarak dua meter dari dirinya, dan bunyi bedil berkumandang di seberang sungai. Jarak antara peluru dan bunyi itu sejauh dua tarikan napas, dan Musashi menyimpulkan bahwa senapan itu ditembakkan dari jarak jauh. Ia melompat ke bawah jembatan dan bergayut ke tiang, seperti kelelawar.

    Beberapa menit berlalu, kemudian tiga lelaki berlarian menuruni Bukit Hachijo, seperti buah pohon pinus ditiup angin. Di dekat ujung jembatan, mereka berhenti dan mulai mencari mayat. Karena yakin tembakannya mengena, si penembak membuang sumbunya. Pakaiannya lebih gelap dibanding kedua orang yang lain, dan ia mengenakan topeng, hanya matanya yang tampak.

    Langit menjadi cerah sedikit, dan hiasan kuningan pda gagang senapan memantulkan cahaya lembut.

    Tak dapat Musashi membayangkan, siapa gerangan orang di Okazaki yang menghendaki kematiannya. Memang tidak kurang musuhnya. Dalam pertempuran-pertempuran yang pernah dialaminya, ia telah mengalahkan banyak orang, yang kemungkinan masih punya keinginan menggelegak untuk membalas dendam. Dan banyak lagi orang yang telah dibunuhnya, hingga keluarga atau kawan-kawan mereka barangkali berharap akan menuntut balas.

    Siapa pun yang menempuh Jalan Pedang, selamanya berada dalam bahaya dibunuh. Kalau ia lolos dari satu bencana maut, akan menyusul kemungkinan-kemungkinan baru. Dengan perbuatan itu, ia menciptakan musuh-musuh baru atau bencana baru. Bahaya merupakan batu gerinda yang dipakai pemain pedang untuk mengasah semangatnya. Musuh adalah guru yang menyamar.

    Belajar waspada terhadap bahaya, biarpun sedang tidur, belajar dari musuh sepanjang waktu, menggunakan pedang sebagai alat untuk membiarkan orang lain hidup, menguasai alam, mencapai pencerahan, berbagi kegembiraan hidup dengan orang lain-semua itu tak terpisahkan dari Jalan Pedang.

    Sementara meringkuk di bawah jembatan itu, situasi nyata memacu Musashi, dan kelesuannya pun lenyap. Ia bernapas pendek-pendek sekali, tanpa bunyi, dan membiarkan para penyerangnya mendekat. Gagal menemukan mayat, orang-orang itu memeriksa jalan yang sunyi dan ruang di bawah ujung jembatan.

    Mata Musashi terbuka lebar. Orang-orang itu mengenakan pakaian hitam seperti bandit, tapi mereka membawa pedang samurai, dan bersepatu rapi. Samurai di daerah itu hanyalah mereka yang mengabdi pada Keluarga Honda di Okazaki, dan Keluarga Tokugawa Owari di Nagoya. Ia tidak merasa mempunyai musuh di kedua perdikan itu.

    Satu orang menembus kegelapan dan mengambil kembali sumbu, kemudian menyalakan dan melambaikannya. Musashi jadi menduga bahwa di seberang jembatan terdapat lebih banyak orang. Ia tidak dapat bergerak, setidak-tidaknya sekarang. Kalau ia memperlihatkan diri, kemungkinan akan mengundang lebih banyak tembakan. Sekalipun ia dapat mencapai tepi seberang, bahaya yang menanti di sana barangkali lebih besar lagi. Tapi ia pun tak dapat tinggal lebih lama di situ. Karena orang-orang itu tahu ia belum menyeberang jembatan, mereka akan mengepungnya, dan barangkali akan berhasil menemukan tempat persembunyiannya.

    Mendadak ia mendapat akal. Akal itu tidak didasarkan pada teori-teori Seni Perang yang merupakan serabut intuisi seorang prajurit. Merancang cara menyerang merupakan proses yang lambat, yang sering mengakibatkan kekalahan dalam situasi yang menuntut kecepatan. Naluri seorang prajurit tidak boleh dikacaukan dengan naluri binatang. Seperti halnya reaksi anggota tubuh bagian dalam, naluri itu datang dari gabungan kebijaksanaan dan disiplin. Ia merupakan penalaran terakhir yang melebihi akal, ia adalah kemampuan untuk melakukan gerakan yang benar dalam sekejap mata, tanpa mesti melewati proses berpikir biasa.

    "Sia-sia kalian coba sembunyi!" pekiknya. "Kalau kalian mencariku, aku di sini!" Angin agak kencang waktu itu; ia tak yakin suaranya terdengar atau tidak.

    Pertanyaan itu dijawab oleh tembakan lain. Musashi tentu saja sudah tidak ada di sana lagi. Ketika peluru masih berada di udara, ia sudah melompat tiga meter ke arah ujung jembatan.

    Ia menyerbu ke tengah mereka. Mereka pun menyebar sedikit, dan menghadapinya dari tiga jurusan, namun sama sekali tanpa koordinasi. Ia tebas orang yang ada di tengah dengan pedang panjang, dan serentak dengan itu ia menyayat ke samping, dengan pedang pendek, ke arah orang di sebelah kirinya. Orang ketiga melarikan diri ke seberang jembatan, berlari, terjatuh, dan terlontar ke luar jembatan.

    Musashi mengikuti dengan langkah biasa di satu sisi saja, sekali-sekali berhenti untuk mendengarkan. Ketika tidak terjadi apa-apa lagi, ia pun pulang dan tidur.


    Paginya dua samurai datang ke rumahnya. Melihat jalan masuk penuh dengan sandal anak-anak, mereka menikung ke samping.

    "Anda Sensei Muka?" tanya salah seorang. "Kami dari Keluarga Honda." Musashi menengadah dari tulisannya, katanya "Ya, saya Muka."

    "Apa nama Anda sebenarnya Miyamoto Musashi? Kalau benar demikian, jangan Anda menyembunyikannya."

    "Saya Musashi."

    "Saya percaya Anda kenal Watari Shima."

    "Saya tidak merasa mengenalnya."

    "Dia bilang pernah hadir dalan dua-tiga pesta haiku, di mana Anda hadir juga."

    "Ya, sesudah Anda sebutkan itu, saya ingat dia sekarang. Kami bertemu di rumah teman kami berdua."

    "Nah, dia bertanya apakah Anda mau datang dan bermalam di rumahnya."

    "Kalau dia mencari orang yang akan diajaknya mengarang haiku, bukan saya orangnya. Memang benar, beberapa kali saya diundang ke pesta seperti itu, tapi saya orang sederhana yang hanya punya sedikit pengalaman dalam hal itu."

    "Saya pikir dia ingin membicarakan seni bela diri dengan Anda." Musashi membelalak gelisah ke arah kedua samurai itu. Beberapa waktu lamanya ia menatap mereka, kemudian katanya, "Kalau demikian, dengan senang hati saya akan datang ke rumahnya. Kapan?"

    "Apa Anda bisa datang malam ini?"

    "Baik."

    "Dia akan mengirimkan joli untuk Anda."

    "Bagus. Saya tunggu."

    Setelah mereka pergi, Musashi kembali menghadapi murid-muridnya. "Ayo," katanya. "Kalian tak boleh membiarkan diri kalian terlengah. Ayo kerja lagi. Lihat aku. Aku berlatih juga. Kalian mesti belajar memusatkan perhatian sepenuhnya, sampai kalian tidak mendengar orang berbicara atau jangkrik mengerik. Kalau kalian malas selagi muda, kalian akan jadi orang macam aku, dart mesti berlatih sesudah kalian dewasa." Ia tertawa dan menoleh ke sekeliling, ke arah wajah-wajah dan tangan-tangan yang berlepotan tinta itu.

    Senja hari ia sudah mengenakan hakama dan siap pergi. Ketika ia sedang meyakinkan istri penjual kuas yang hampir menangis, bahwa ia akan selamat tak kurang suatu apa, joli pun tiba—bukan joli anyaman sederhana seperti yang biasa kelihatan di seluruh kota itu, melainkan joli berpernis yang dikawal dua samurai dan tiga orang abdi.

    Para tetangga terpesona melihatnya, berkerumun dan berbisik-bisik. Anak-anak memanggil teman-temannya dan berceloteh dengan riuhnya.

    "Cuma orang besar naik joli macam itu."

    "Mestinya guru ini orang besar juga."

    "Ke mana dia pergi?"

    "Dia kembali atau tidak?"

    Kedua samurai menutup pintu joli, menyingkirkan orang banyak dari jalanan, dan berangkat.

    Musashi tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi ia menduga ada hubungan antara undangan itu dengan peristiwa di Jembatan Yahagi. Mungkin Shima akan menegurnya karena telah membunuh dua orang samurai Honda. Mungkin juga Shima orang yang berdiri di belakang usaha memata-matai dan melakukan serangan mendadak, dan sekarang siap menghadapi Musashi secara terbuka. Musashi tidak yakin pertemuan malam itu akan mendatangkan kebaikan, dan ia bertekad untuk menghadapi keadaan sulit. Berspekulasi tidak akan membawanya ke mana-mana. Seni Perang menuntutnya untuk menetapkan di mana ia berdiri, dan bertindak sesuai dengan itu.

    Joli berayun-ayun lembut, seperti perahu di laut. Mendengar angin yang mendesir di antara pohon pinus, ia menduga mereka berada di hutan dekat dinding benteng sebelah utara. Ia tidak kelihatan seperti orang yang sedang meneguhkan diri menghadapi serangan tak terduga. Dengan mata setengah tertutup, ia tampak seperti sedang tertidur.

    Sesudah gerbang benteng berkeriut membuka, langkah para pemikul menjadi lambat, sedangkan suara para samurai lebih ditekan. Mereka melewati lentera-lentera yang mengedip-ngedip, dan sampai di bangunan benteng. Musashi turun, dan para pembantu mempersilakannya masuk ke sebuah paviliun terbuka dengan pelan, tapi sopan. Karena kerai tergulung di keempat sisi ruangan, angin bertiup dalam gelombang yang menyenangkan. Lampu-lampu memudar dan menyala liar. Malam itu tidak mirip malam musim panas yang terik.

    "Saya Watari Shima," kata tuan rumah. Ia seorang samurai Mikawa yang khas—tegap, kuat, waspada, tapi tidak berpura-pura, dan tidak memperlihatkan tanda-tanda kelemahan.

    "Saya Miyatomo Musashi." Jawaban yang sama sederhananya itu diiringi bungkukan badan.

    Shima membalas bungkukan itu, katanya, "Anggaplah ini rumah sendiri," lalu langsung menuju persoalan, tanpa basa-basi lagi. "Saya mendapat laporan, Anda membunuh dua samurai kami tadi malam. Apa itu benar?"

    "Ya, benar," Musashi menatap mata Shima.

    "Saya mesti minta maaf," kata Shima murung. "Saya mendengar tentang peristiwa itu hari ini, ketika kematian dilaporkan. Tentu saja dilakukan penyelidikan. Sudah lama saya mengenal nama Anda, tapi baru sekarang saya tahu bahwa Anda tinggal di Okazaki.

    "Tentang serangan itu, saya mendapat laporan bahwa Anda ditembak oleh sekelompok orang kami, seorang di antaranya murid Miyake Gumbei, ahli bela diri Gaya Togun."

    Karena tidak merasakan ada dalih, Musashi menerima kata-kata Shima itu begitu saja, dan cerita pun berkembang selangkah demi selangkah. Murid Gumbei adalah salah seorang samurai Honda yang belajar pada Perguruan Yoshioka. Beberapa penghasut yang ada di tengah mereka sebelumnya telah berkumpul, dan memutuskan untuk membunuh orang yang telah mengakhiri kebesaran Perguruan Yoshioka itu.

    Musashi tahu, nama Yoshioka Kempo masih dipuja-puja di seluruh negeri. Di Jepang barat, terutama, sukar kiranya menemukan perdikan yang tidak menyimpan samurai yang pernah belajar di bawah pimpinannya. Musahi menyampaikan pada Shima bahwa ia dapat memahami dendam mereka terhadapnya, tapi ia menganggap hal itu sebagai dendam perseorangan, dan bukan sebagai alasan sah untuk melakukan balas dendam sesuai Seni Perang.

    Shima rupanya sependapat. "Saya sudah memanggil orang-orang yang selamat, dan memarahi mereka. Saya harap Anda memaafkan kami dan melupakan soal itu. Gumbei pun sangat tidak senang. Kalau Anda tidak keberatan, saya ingin memperkenalkannya pada Anda. Dia ingin menyampaikan permintaan maaf."

    "Ah, tak perlu. Apa yang telah terjadi itu adalah kejadian umum bagi siapa saja yang menempuh jalan seni bela diri."

    "Biar begitu..."

    "Nah, baiklah kita buang kata-kata permintaan maaf itu. Tapi kalau dia ingin bicara tentang Jalan, dengan senang hati saya akan menjumpainya. Nama itu saya kenal betul."

    Satu orang dikirim untuk mengundang Gumbei, dan ketika kata-kata perkenalan sudah lewat, pembicaraan pun beralih kepada pedang dan permainan pedang.

    Kata Musashi, "Saya ingin mendengar tentang Gaya Togun. Anda menciptakan gaya itu?"

    "Tidak," jawab Gumbei. "Saya mempelajarinya dari guru saya, Kawasaki Kaginosuke, dari Provinsi Echizen. Menurut kitab pegangan yang beliau berikan pada saya, beliau mengembangkannya semasa menjadi pertapa di Gunung Hakuun di Kozuke. Rupanya dia mengambil banyak teknik dari biarawan Tendai bernama Togumbo.... Tapi coba Anda ceritakan sedikit tentang diri Anda. Saya sudah mendengar nama Anda berkali-kali disebutkan orang. Tadinya saya mendapatkan kesan bahwa Anda lebih tua. Dan karena Anda ada di sini, saya ingin agar Anda sudi memberikan satu pelajaran pada saya." Nada kata-kata itu bersahabat, namun itu adalah ajakan bertarung.

    "Lain kali saja," jawab Musashi ringan. "Saya mesti pergi sekarang. Saya pun belum tahu jalan pulang."

    "Kalau Anda pulang nanti," kata Shima, "akan saya minta seseorang menemani Anda."

    "Waktu saya mendengar dua orang roboh," Gumbei melanjutkan, "saya datang menjenguk. Ternyata saya tak bisa memahami posisi tubuh dengan lukanya, karena itu saya tanya orang yang berhasil lolos. Menurut kesannya, Anda menggunakan dua pedang sekaligus. Apa itu benar?"

    Sambil tersenyum, Musashi mengatakan bahwa ia tidak pernah menggunakan cara itu secara sadar. Ia beranggapan, apa yang diperbuatnya hanyalah berkelahi dengan satu tubuh dan satu pedang.

    "Anda tak usah merendahkan diri," kata Gumbei. "Anda ceritakanlah tentang itu. Bagaimana Anda berlatih? Bagimana kita mesti meletakkan tekanan, agar kita dapat menggunakan dua pedang sekaligus dengan bebas?"

    Karena melihat bahwa ia takkan dapat meninggalkan tempat itu sebelum memberikan penjelasan, Musashi melayangkan pandang ke sekitar ruangan. Pandangan itu berhenti pada dua pucuk bedil di dalam ceruk kamar, dan ia minta dipinjami. Shima setuju, lalu Musashi pergi ke tengah ruangan, memegang kedua pucuk senjata itu pada larasnya, masing-masing tangan memegang satu bedil.

    Musashi mengangkat sebelah lututnya, dan katanya, "Dua pedang sama dengan satu pedang. Satu pedang seperti dua pedang. Kedua tangan kita ini terpisah satu dari yang lain, tapi keduanya milik tubuh yang sama. Dalam segala hal, penalaran terakhir bukan bersifat ganda, tapi bersifat tunggal. Demikian pula pada semua gaya dan percabangannya. Akan saya tunjukkan pada Anda."

    Kata-kata itu keluar dengan spontan, dan ketika selesai diucapkan, ia mengangkat satu tangan, katanya, "Maafkan." Kemudian ia mulai memutar kedua bedil itu. Kedua bedil berpilin seperti gulungan, menimbulkan angin pusaran kecil. Orang-orang yang hadir menjadi pucat.

    Musashi berhenti, dan menarik sikunya ke sisi. Ia berjalan ke ceruk kamar, dan mengembalikan kedua bedil. Sambil tertawa kecil, katanya, "Barangkali itu tadi dapat membantu Anda memahami." Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, ia membungkuk pada tuan rumah dan pergi. Karena terheran-heran, Shima lupa sama sekali meminta seseorang untuk menemaninya.

    Di luar gerbang, Musashi menoleh untuk terakhir kali, dan merasa lega telah lepas dart cengkeraman Watari Shima. Ia masih belum tahu maksud-maksud sebenarnya orang itu, tapi satu hal sudah jelas. Tidak hanya identitasnya sudah diketahui orang, tapi ia sudah terlibat dalam satu kejadian. Maka yang paling bijaksana baginya adalah meninggalkan Okazaki malam ini juga.

    Ia baru ingat akan janjinya kepada Matahachi untuk menantikan kembalinya Gudo, ketika cahaya Okazaki mulai terlihat, dan satu suara terdengar memanggilnya dari tempat suci kecil di pinggir jalan.

    "Musashi, ini aku, Matahachi. Kami kuatir dengan dirimu, karena itu kami pergi ke sini menanti."

    "Kuatir?" tanya Musashi.

    "Kami tadi pergi ke rumahmu. Perempuan tetanggamu bilang orang memata-mataimu belum lama ini."

    "Kami, katamu?"

    "Guru sudah kembali hari ini."

    Gudo duduk di beranda tempat suci itu. Ia orang yang berwajah luar biasa, kulitnya sehitam kulit jangkrik raksasa, dan matanya bersinar cemerlang di bawah alisnya yang tinggi. Ia tampak seperti orang yang berumur antara empat puluh dan lima puluh tahun, namun tak mungkin orang menebak orang seperti itu. Tubuhnya kurus kekar, dan suaranya mendentum.

    Musashi mendekat, berlutut dan bersujud ke tanah. Gudo memandangnya tanpa berkata-kata semenit-dua menit. "Lama sudah waktu berlalu," katanya.

    Sambil mengangkat kepala, kata Musashi tenang, "Ya, lama sekali." Gudo atau Takuan—Musashi sudah lama yakin bahwa hanya salah satu dari mereka dapat melepaskannya dari kebuntuan sekarang. Sesudah menanti setahun penuh, akhirnya kini Gudo ada di hadapannya. Ia pandang wajah pendeta itu, seolah memandang bulan di malam gelap.

    Secara tiba-tiba dan dengan penuh tenaga, serunya "Sensei."

    "Ada apa?" Gudo tak perlu lagi bertanya. Ia sudah tahu apa yang dikehendaki Musashi, dan ia sudah menduganya, seperti seorang ibu meramalkan kebutuhan anak-anaknya.

    Sambil bersujud ke tanah lagi, Musashi berkata, "Sudah hampir sepuluh tahun sejak saya belajar pada Bapak."

    "Apa sudah selama itu?"

    "Ya. Tapi biarpun sudah belajar selama itu, saya sangsi apakah kemajuan saya menempuh Jalan itu dapat diukur."

    "Bicaramu masih seperti kanak-kanak, ya? Kalau begitu, tak mungkin jauh jalanmu."

    "Banyak sekali yang saya sesali."

    "Betul?"

    "Latihan dasar dan disiplin diri saya begitu sedikit terlaksana."

    "Kau selalu bicara tentang hal-hal semacam itu. Selama kau masih berbuat begitu, itu sia-sia."

    "Apa yang akan terjadi, kalau saya tinggalkan ini?"

    "Kau akan terjerat simpul lain lagi. Kau akan menjadi sampah manusia yang lebih buruk daripada sebelumnya, ketika kau masih bodoh, tidak tahu apa-apa,"

    "Kalau saya tinggalkan Jalan ini, saya akan jatuh ke dalam jurang. Tapi, untuk mencoba mengejarnya sampai ke puncak, saya tak sanggup menghadapi tugas itu. Saya jadi berputar-putar dalam angin tanggung menuju ke atas. Saya tak ingin jadi pemain pedang atau manusia."

    "Ya, agaknya begitulah kesimpulannya."

    "Bapak tidak tahu, betapa putus asa saya selama ini. Apa yang mesti saya lakukan? Bapak, katakanlah! Bagaimana saya dapat membebaskan diri dari kemandekan dan kekacauan?"

    "Kenapa tanya padaku? Kau hanya dapat mengandalkan dirimu."

    "Izinkan saya duduk di kaki Bapak. Saya dan Matahachi. Atau hantam saya dengan tongkat Bapak itu, untuk membangunkan saya dari kekosongan gelap ini. Saya mohon, Sensei, tolonglah saya." Musashi tidak mengangkat kepalanya. Ia tidak meneteskan air mata, tapi suaranya tercekik.

    Tanpa tergerak oleh kata-kata Musashi sedikit pun, kata Gudo, "Ayo, Matahachi!" Kemudian bersama-sama mereka pergi meninggalkan tempat suci itu.

    Musashi berlari mengejar pendeta itu, mencengkeram lengan bajunya, meminta dan memohon.

    Pendeta itu menggelengkan kepala, tidak mengatakan sesuatu. Ketika Musashi berkeras juga, katanya, "Sama sekali tak ada!" Kemudian dengan marah, "Apa yang mesti kukatakan? Apa lagi yang mesti kuberikan? Hanya tinggal menghantam kepala itu." Ia mengayunkan tinjunya ke udara, tapi tidak memukul.

    Musashi melepaskan lengan baju si pendeta, dan hendak mengatakan yang lain lagi, tapi pendeta itu berjalan cepat menjauh, tanpa berhenti lagi untuk menoleh.

    Matahachi yang berada di sampingnya berkata, "Waktu kujumpai beliau di kuil, dan kusampaikan perasaan kita dan alasan kita ingin menjadi muridnya, beliau hampir tak mendengarkan. Dan waktu aku selesai bicara, beliau berkata, 'Oh?' dan mengatakan aku dapat mengikutinya dan melayaninya. Barangkali kalau kau mengikuti kami terus, nanti kalau suasana hati beliau sedang baik, kau dapat minta apa yang kauinginkan."

    Gudo menoleh dan memanggil Matahachi.

    "Baik, Pak!" kata Matahachi. "Lakukan anjuranku ini," nasihatnya pada Musashi, sambil berlari mengejar si pendeta.

    Karena menurut pendapatnya membiarkan Gudo lenyap lagi dari pandangan akan fatal baginya, Musashi memutuskan menuruti nasihat Matahachi. Di tengah aliran waktu alam semesta, hidup manusia yang enam atau tujuh puluh tahun itu hanya merupakan kilat. Kalau dalam jangka waktu singkat itu ia mendapat hak istimewa untuk menjumpai seorang Gudo, sungguh bodoh melepaskan kesempatan itu.

    "Ini kesempatan yang suci," pikir Musashi. Air mata panas mengambang di sudu't-sudut matanya. Ia harus mengikuti Gudo, sampai ujung dunia kalau perlu, dan mengejarnya sampai ia mendengar kata yang ingin didengarnya.

    Gudo pergi meninggalkan Bukit Hachijo. Agaknya ia tidak lagi tertarik akan kuil di sana. Hatinya sudah mulai mengalir bersama air dan awan. Sampai Tokaido, ia membelok ke barat, ke arah Kyoto.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Popular